Oktober 30, 2008

SELAMATKAN KARYA ACEH, TOLAK EKSPLOITASI SEKS

WASPADA ONLINE / 29 Oktober 2008


KERESAHAN Doel CP Allisah selama berpuluh-puluh tahun sekarang melega, manakala dia sudah menyelesaikan sebagian tugas besar yang diembannya untuk menyelamatkan karya-karya anak Aceh yang berserakan tak menentu.

Doel merupakan salah seorang sastrawan yang cukup peduli dengan karya-karya sastrawan lainnya, sehingga dalam tiga tahun terakhir dia begitu getol mengumpulkan karya-karya sastra dari puisi, cerpen, dan novel untuk didokumentasikan.

Untuk kebutuhan itu, pada tahun 1993, Doel mendirikan Aliansi Sastrawan Aceh (ASA) di Jalan Geulumpang Meunasah Papeun No.6 Lamnyong Banda Aceh, yang juga sebagai tempat tinggalnya. “Saya hanya mengharapkan karya-karya itu tidak hilang karena selama ini bertebaran tak menentu, dan banyak yang sudah lenyap, sebagian disapu gelombang laut,” ungkapnya kepada Waspada, tadi pagi.

Dalam membukukan karya-karya itu, Doel memang kesusahan mencari dana yang seringkali pas-pasan untuk biaya produksi. Namun dia sudah cukup bahagia bisa membantu sejumlah penulis dan sastrawan yang karyanya belum pernah diterbitkan. Usahanya itu adalah bentuk lain dari perhatian besar yang dia curahkan.

Dia merupakan salah satu sastrawan angkatan ‘lama’ Aceh yang masih terus berkibar, dan namanya tercatat dalam buku Pintar, sering menghadiri undangan-undangan di negara-negara jiran, mengikuti berbagai seminar internasional, tapi tetap berkiprah di Aceh sampai sekarang, di mana banyak sastrawan lalai dengan uang bantuan.

Penyair yang kumpulan puisinya Nyanyian Miris yang diterbitkan dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris ini tidak pernah berhenti berkarya, dan memiliki nafas yang panjang, serta begitu setia pada dunia kepenyairan Aceh, di mana orang-orangnya sudah banyak berganti, datang dan pergi.

Doel berteman akrab dengan sastrawan nasional dan sastrawan negeri jiran. Hampir tidak pernah absen dalam pertemuan sastrawan nasional. Beberapa bulan lalu, dia baru saja mengikuti temu sastrawan di Bandung, ode kampung dua. “Saya salah satu sastrawan yang mendeklarasikan penolakan eksploitasi seks dalam sastra,” ucapnya.

Menurutnya, perkembangan Aceh memiliki ruang sastra yang sempit, selain ruang di media lokal yang sedikit, hampir tak ada ruang lain untuk mengisi karya-karya penulis. Maka dokumentasi melalui buku sebuah alternatif lain yang juga harus selektif. Katanya, orang sudah melupakan kekayaan budaya yang ada di Aceh.

Doel terus mengembangkan budaya Aceh melalui sajak dan puisinya. Mendokumentasikan karya budayawan-budayawan Aceh, walau terkadang harus merogoh kocek pribadi pengurusnya. Banyak karya-karya sastrawan Aceh sejak tahun 70-an yang terkumpul tapi masih kurang sarana untuk pendokumentasian.

Bergiat dan berusaha menjalin kerja sama di dalam dan luar negeri. Tak lain untuk menerbitkan buku-buku karya sastrawan Aceh. Begitulah Doel yang terus berjuang demi dunia sastrawan untuk terus eksis dan berkembang, agar budaya dan karya sastra di Aceh tidak dilupakan.

- ARAFAT NUR

(wir)



Tidak ada komentar:

Powered By Blogger