Februari 22, 2007

KUMPULAN PUISI NYANYIAN MIRIS, POTRET BURAM KEHIDUPAN : CATATAN PERSONAL DOEL CP ALLISAH

Harian Analisa

Oleh : Mukhlis A.Hamid,MS
Dosen FKIP Universitas Syiah Kuala



Membaca puisi-puisi Doel dalam rentang waktu 1979 - 2006 bagi saya seperti membaca catatan buram kehidupan saya dan masyarakat Aceh secara umum. Konflik yang panjang dan tragedi tsunami Desember 2004 memang membuat kita kehilangan segalanya. Cinta, kasih, harap menjadi sirna. Hari-hari yang tak pasti, malam-malam yang mencekam, dan tragedi demi tragedi dalam rentang waktu yang panjang tersebut telah buramkan kehidupan kita semua. Puisi menjadi ajang alternatif untuk curahkan semuanya. Apalagi bagi Doel yang sejak mahasiswa dulu memang gemar menulis puisi. Karena itu, menurut saya, wajar saja kalau tema-tema kepedihan mendominasi karya Doel sejak 1979. Puisi “Putroe Phang” (1979), “Dan Kaupun Sampailah ke Tujuan” (1980), “Sajak Buat Bapak” (1985), “Nyanyian Malam Lebaran” (1985), “Tentang Sahabatku Nurdin” (1998), “Dalam Fantasia Narathiwat (1999), “Bayang Biru” (2002) hingga “Ingatan 2” (2006) sangat kuat mengangkat dan melukiskan perasaan kehilangan dan kepedihan aku lirik terhadap realitas yang digambarkan dalam puisi-puisi tersebut. Kondisi ini mungkin menjadi latar lahirnya puisi-puisi bertema kepasrahan pada Tuhan dalam puisi-puisi Doel yang diciptakan tahun 1996-1997, seperti dalam “Tadarus Meunasah Papeun”, “Dalam Jamaah Jumat”, “Shalawat bagi Rasul”, dan “Menyusuri Tahura Bukit Barisan Satu Ketika”.

Pada titik ini kita mungkin bersepakat dengan para kritikus dan analis sastra bahwa karya sastra, apapun bentuknya, diciptakan oleh penulisnya untuk mengkomunikasikan ide, perasaan, harapan, pengalaman hidup, hasil pengamatan, bahkan hasil pengembaraan batinnya kepada pembaca. Untuk itu, setiap karya yang dihasilkan diharapkan (oleh penulisnya) untuk dapat dipahami oleh pembaca sehingga pembaca semakin bertambah pengetahuannya, wawasannya, pengalamannya, dan pada akhirnya semakin peka batinnya dalam mengartikan segala peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Dengan demikian, karya sastra mau tak mau harus dianggap sebagai salah satu sarana komunikasi, salah satu unsur semiotika, dalam kehidupan manusia berbudaya dengan segala konvensi dan keunikannya.

Puisi sebagai salah satu genre sastra idealnya juga harus diperlakukan sebagai salah satu sarana semiotika oleh penulis (dan pembacanya). Karena itu, sejak awal penulis harus menyadari betul bahwa karya yang akan diciptakan itu harus dapat berbicara dengan pembacanya sehingga ciptaan tersebut tidak sia-sia dan menjadi bahan pajangan di rak/lemari penulisnya. Memang tiap penulis punya gaya selingkung (style) sendiri dalam menata pikiran, harapan, dan pengalamannya melalui puisi sehingga selingkung tersebut menjadi ciri khas dan hak paten penulis tersebut sepanjang waktu. Chairil Anwar, WS.Rendra, Sutardji C.Bahri, dan penyair-penyair lain di Indonesia atau Aceh punya karakter dan keunikan tersendiri sehingga pembaca (yang akrab dengan karya karya mereka) akan tahu langsung puisi siapa yang dibaca/didengarnya, meski nama penulis tidak disebut dalam karya tersebut. Keunikan ini antara lain terlihat dalam kecenderungan memilih bentuk ungkap (lirik, epik, naratif, dsb), diksi (pilihan kata), sistem pemetaan di atas kertas (tipografi), pemilihan tema, dan lain-lain.

Namun, terlepas dari berbagai kepersonalan ragam dan pola ungkap seorang penyair, sebuah puisi khususnya puisi lirik memiliki tiga konvensi dasar (meminjam istilah Culler), yaitu theme dan Epiphany (tema dan perwujudannnya), distance & deixis (jarak dan deiksis), dan organic whole (keseluruhan yang organic). Tema dan perwujudannya dimaknakan sebagai sebuah kesadaran penulis dan pembaca bahwa puisi lirik yang pada hakikatnya personal dan cenderung insidental harus diberi makna universal dan manusiawi. Kecenderungan penyair mempermasalahkan dirinya sendiri sebagai manusia modern yang problematik, terasing, dan kehilangan pegangan harus diberi makna umum, universal dan mungkin juga dialami oleh pembaca atau orang lain di bumi Allah ini. Jarak dan deiksis harus dipahami sebagai adanya konvensi pada penulis lirik untuk menggunakan kata ganti orang dan keterangan lain aku, kau, di sini, kemarin, dsb, yang harus dibaca dan dipahami sesuai dengan konteks referensi yang lain, konteks dan referensi yang dibangun oleh pembaca, karena itu, aku dalam puisi lirik belum tentu aku penyair. Aku itu bisa berarti siapa saja, termasuk pembacanya. Selanjutnya, konsep keseluruhan yang organic dimaknakan sebagai ide penyair dalam puisi lirik idealnya ditulis/diungkapkan dalam satu kesatuan yang utuh, saling sambung (koheren), tidak meloncat-loncat, sehingga pembaca benar-benar larut dalam menyelami pemikiran dan pengalaman personal penyair sejak ia memulai hingga akhir pembacaan karya tersebut. Ketiga konvensi ini idealnya dimiliki dan benar-benar harus di perhitungkan oleh penulis (dan pembaca), sehingga apa yang terpikir oleh penulis saat menulis benar-benar dapat dipahami oleh pembaca saat membaca sesuai dengan berbagai kondisi yang melingkupinya pada saat menulis ataupun membaca karya tersebut.

Dari segi pola penyampaian/pengungkapan tema, Doel terlihat berhasil dalam beberapa puisi yang dipilih dalam kumpulan “Nyanyian Miris” ini. Keberhasilan itu secara khusus terlihat dalam puisi-puisi yang cenderung naratif dan prismatis, seperti “Nyanyian Malam Lebaran” (1985), “Sajak Buat Bapak” (1985), “Sigli, Kota Masa Kecilku Satu Ketika” (1996), “Tentang Sahabtku Nurdin” (1998), “Mengingatmu Saudaraku” (1998), “Tentang Nenekku Sitijam” (2006), “Kepada Puan Agustinne” (2005-2006), dan “Ingatan-2” (2006).

Dalam puisi-puisi di atas penyair berusaha memilih diksi yang lugas dan pelambang yang cenderung konkret sehingga timbul imaji-imaji (citraan) pada pembaca baik imaji visual, audio, ataupun imaji taktil. Penumbuhan imaji tersebut secara tidak langsung berpengaruh pada tumbuhnya kemampuan pembaca dalam memahami dan menyelami pemikiran/pengalaman penyair dalam puisi tersebut. Dalam “Nyanyian Malam Lebaran”, misalnya, aku lirik bercerita tentang kesepian dan kerinduannya pada kemeriahan dan kesyahduan bermalam lebaran dengan keluarga setelah berpuasa selama sebulan.Ada kegetiran memang, saat gemuruh takbir bergema, keinginan untuk bersama,keinginan untuk larut dalam tradisi, keinginan untuk kembali ke masa lalu di kampung, kian mengental sehingga membuat aku merasa sepi di tengah-tengah keramaian kota besar, kesepian dan keperihan itu semakin menjadi-jadi saat barisan takbir menghilang dan aku berjalan sendiri sambil menyusut air mata yang tak lagi bisa di bendung.

Ketika barisan takbir menyeruak sunyi malam

Menggemakan kebesaran Tuhan

Kita telah menangkan perang, adik

Bagaimana ibu di rumah

Dan kabar bapak yang diam

Sedih juga aku, ramadhan di perantauan

Jauh dari semua kenangan

Jauh dari kalian yang hangat, mengalirkan pengertian


Ketika barisan takbir menyeruak sunyi malam

Melantunkan Allahu Akbar, adik

Aku gabungkan jiwa raga

Dalam keramaian

Dalam persaudaraan

Kumenangkan perang itu

Lupakan kampung yang jauh

Lupakan dekki kecil kita yang menyalakan lilin-lilin di teras

Dengan teriakannya yang gaduh tentu

Ah, dekki manis

Bahkan kulupakan semua kenangan dan mengusungnya di pundak

Buat oleh-oleh dating padaNya

Dalam penyeraahan yang redam


Ketika barisan takbir menyeruak sunyi malam

Dan tinggalkan aku kembali, jalan ini jadi semati tugu

Membentuk garis silang, merah biru

Dan potret kalian satu-satu masuk dalam panca indra

Menyeretku dalam perih


Ketika barisan takbir hilang ditelan kelam

Aku langkahkan kaki dengan kesendirian di tangan

Menyusut airmata pada malam

Dan menulisnya buat kalian

Allahu Akbar Walillahilham !

(Nyanyian Malam Lebaran / Medan, 1985)

Sepintas puisi ini terasa cengeng dan mengada-ada. Tapi bila kita kaji lebih dalam, keterkaitan kita dengan tradisi yang menahun mau tak mau menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan hidup kita dari waktu kewaktu, apalagi saat kita berada jauh dari alam yang melahirkan tradisi itu. Pemakaian diksi yang cenderung denotatif dan pelambang yang konkret membuat puisi ini mampu berkomunikasi dengan pembacanya. Pembaca seakan barisan orang-orang yang bertakbir, mendengar gemuruh takbiran bersahut-sahutan, merasakan kesedihan aku lirik, melihat aku lirik larut dalam keramaian, melihat “dekki” kecil bermain lilin di teras rumah, dan membayangkan aku lirik berjalan sendiri sambil terpekur dan menghapus air mata kesedihannya. Hal ini diperkuat lagi dengan usaha penyair untuk merangkai penggalan-penggalan peristiwa dalam puisi ini secara kompak dan mengalir ke satu klimaks. Pembaca secara tidak sadar digiring untuk mengikuti perkembangan emosi aku lirik hingga sampai ke satu titik jenuh, kesendirian dan kepasrahan penyair dalam menerima kenyataan di negeri orang.

Hal sama juga di jumpai dalam puisi-puisi lain dalam kumpulan ini. Pemakaian kata dan frase yang merujuk pada benda, suara, atau suasana tertentu dalam puisi-puisi tersebut mampu menimbulkan berbagai imaji pada pembaca. Beberapa puisi dalam kelompok ini memang terasa simbolik dan penuh teka-teki. Dalam membaca puisi-puisi seperti ini pembaca harus berusaha menerjemahkan simbol-simbol itu terlebih dahulu sesuai dengan konvensi yang lazim dalam masyarakatnya.

Hal lain yang menurut saya mengganggu kelangsungan pemahaman puisi dalam kumpulan ini adalah penggunaan ungkapan lokal dan ketidakajegan peletakan/penulisan kata depan di/ke, pun dan tanda seru. Penggunaan ungkapan lokal sebenarnya bagus untuk memberi warna tertentu (local colour) dalam karya yang diciptakan sesuai dengan latar belakang daerah asal penyair. Namun, hal ini akan jadi masalah bila dibaca oleh orang lain yang tidak akrab dengan diksi atau ungkapan yang digunakan. Doel sepertinya menyadari juga hal itu. Penggunaan catatan kaki atau penjelasan tambahan di tiap puisi yang menggunakan ungkapan lokal menunjukkan adanya keinginan Doel membantu pembaca yang tidak akrab dengan ungkapan atau kata itu.

Soal penggunaan kata depan dan partikel, dalam bahasa Indonesia kata depan di dan ke secara konvensional ditulis terpisah dengan kata yang mengikutinya (lazimnya kata benda dan keterangan tempat). Dalam kumpulan puisi ini kata depan ini kadang ditulis bersambung dan kadang-kadang dirangkaikan dengan tanda hubung (-). Ketidakajegan pemakaian kata tersebut tampaknya terjadi dalam semua puisi yang terkumpul dalam kumpulan ini.

Demikianlah ulasan sepintas tentang kelebihan dan kekurangan puisi-puisi Doel dalam mengangkat berbagai persoalan personal dan masyarakat di Aceh dalam kurun waktu yang cukup panjang. Tiap kita memang punya pilihan untuk larut atau tidak larut dalam persoalan yang ada. Tiap kita juga boleh bersetuju atau tidak bersetuju dengan pendapat dan pandangan personal penulis terhadap persoalan yang mengemuka. Tapi, sebagaimana yang saya ungkapkan di bagian awal tulisan ini, penerimaan dan penafsiran terhadap isi teks puisi dalam kumpulan ini mestilah beda antarpembaca.

Akhirnya, saya menyadari benar bahwa banyak hal yang belum tersorot secara tuntas dan sorotan yang ada ini pun masih cukup dangkal dalam tulisan ini. Keterbatasan kemampuan, waktu, dan sebagainya merupakan kendala utama dalam hal ini.sebagai seorang pembaca awam, penulis menawarkan (itupun kalau boleh) agar sobat Doel tetap bertahan dan setia dengan pola ungkap lirik naratif. Soal diksi mana yang digunakan: yang prismatis (tembus pandang) atau yang diafan (pelambang) tentu saja sangat bergantung pada pertimbangan-pertimbangan tertentu. Bukankah //kesetiaan adalah: kamu yang di jiwaku/ dan kita saling memberi pengertian/makna cinta sebening embun pagi//

Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger