Januari 28, 2007

SASTRAWAN PERLU "PROSES MENJADI" [tergelitik kecemasan Herman RN]

27/01/2007 08:43 WIB
Harian Serambi Indonesia


[ penulis: Mustafa Ismail | topik: Entertainment ]

Saya agak tergelitik membaca tulisan Herman RN (Serambi Indonesia, 14/1/2007) berjudul “Mencerdasi Kegamangan Mustafa Ismail”. Benarkah saya gamang? Rasanya, tidak. Tulisan saya, “Menggali Potensi Sastra Kita” (Serambi Indonesia, Minggu 7/1/2007), adalah catatan hasil amatan saya terhadap geliat sastra di Aceh pada 2006. Dari amatan itu, saya menemukan fakta-fakta seperti saya ungkapkan dalam tulisan itu. Pertama, sangat sedikit sastrawan Aceh yang mempublikasikan karya-karyanya di koran nasional pada rentang tahun itu.

Dalam tulisan itu, saya juga menyebutkan, sebetulnya potensi sastra di Aceh banyak. Saya mencontohkan animo peserta pelatihan sastra yang diadakan AMUK Community (kini karya-karya peserta pelatihan itu sedang saya “rapikan” bersama Ahmadun Yosi Herfanda untuk dibukukan), antusiasme siswa terhadap program Sastrawan Masuk Sekolah yang diadakan Lapena, juga membludaknya peserta lomba menulis yang diadakan Komunitas Tikar Pandan (Do Karim). Semua itu, tentulah potensi sastra.

Lalu, setelah tulisan itu dimuat, Tabrani Yunis, seorang pengamat pendidikan yang juga penggiat LSM di Aceh, mengirim email dan SMS kepada saya: apakah kaum perempuan yang sedang dibina oleh lembaganya termasuk potensi sastra Aceh? Saya jawab: ya. Itu semua potensi sastra. Mereka mesti terus didorong untuk menulis dan mempublikasikan karya-karyanya ke publik lebih luas.

Sayangnya, seperti juga saya ungkapkan dalam tulisan itu, tak banyak lagi koran di Aceh yang memiliki rubrik budaya, termasuk Serambi, sehingga tempat mereka mempublikasi karya jadi sempit. Sebab, saya sadar benar, buat para pemula sangat susah menembus koran nasional. Mereka mestilah dulu berproses di daerah, seperti pula saya dan teman-teman lain dulu, mematangkan diri di Aceh, sambil terus menembus koran nasional.

Apakah potensi itu bisa dikatakan sebagai sastrawan? Tentu tidak semudah itu. Tanpa berproses dengan baik, ketekunan dan keseriusan menulis, belajar dan terus berlatih, mereka hanya akan menjadi calon-calon sastrawan. Kita tidak bisa serta merta menyebut mereka sastrawan. Saya sendiri pun tidak berani mengklaim diri sebagai sastrawan. Bagi saya, tidak penting istilah itu. Yang penting adalah terus berkarya, sambil terus belajar dari banyak sumber dan referensi.

Lalu, saya ingin bertanya, siapa saja nama baru yang muncul di koran nasional seperti disebutkan Herman? Sayang ia tidak menunjukkan fakta itu. Ia hanya menyorongkan nama Alimuddin, yang memang telah saya ketahui dari seorang redaktur sastra sebuah koran, karena ia rajin mengirim ke sana. Tapi lagi-lagi, dimuatnya dua-tiga karya di koran nasional, bukan berarti kita bisa langsung menyebut mereka sebagai sastrawan. Saya sendiri lebih sepakat menyebut mereka sebagai potensi sastra, calon sastrawan, sebelum mereka menunjukkan ketekunan, kualitas karya, dan eksistensi diri dengan perjalanan kreativitas yang panjang.

Saya menyebut nama Doel CP Allisah dan Saiful Bahri, sebagai contoh, dalam tulisan terdahulu, karena saya tahu betul perjalanan kreativitas mereka yang panjang. Saya pun, dulu, ketika baru-baru menulis diam-diam “berguru” pada puisi-puisi Doel dan cerpen-cerpen karya Saiful Bahri, disamping “berguru” pada karya Aceh lainya, sastrawan nasional dan sastrawan dunia.

Benar seperti dikatakan Herman, saya memang menggunakan kaca mata koran. Tapi itu tidak terkait dengan profesi saya sebagai jurnalis pada sebuah koran. Buat saya, dan banyak pengamat (coba buka-buka lagi kliping perdebatan sastra koran, antara lain pernah dimuat di Kompas), tidak bisa dihindari koran menjadi salah satu acuan untuk melihat perkembangan sastra.

Bagaimana pun, saat ini koranlah salah satu ruang publikasi karya sastra. Lebih khusus lagi, koran nasional, di mana sistem seleksi karya sastra sudah berjalan sangat baik dengan standar yang, setidaknya, diakui banyak pengamat dan sastrawan. Buat saya, tidak penting jika, misalnya, Herman tidak mengakui standar kualitas koran-koran nasional itu.

Bagi penulis, termasuk penulis sastra, seperti juga saya katakan dalam tulisan terdahulu, koran adalah tempat kompetisi paling riil. Karya seorang penulis sastra akan bersaing dengan puluhan bahkan ratusan karya lain untuk dapat tampil di halaman koran. Hanya mereka yang punya nyali pantang menyerah, dengan semangat belajar dan “berguru” tak henti, yang akan terus berusaha menembus kompetisi koran.

Tapi tentu koran bukan satu-satunya rujukan yang saya pakai. Di samping itu ada buku, meskipun sistem seleksi karya-karya yang masuk buku kadang tidak memenuhi standar tertentu. Saya sendiri mengalami itu ketika menjadi editor beberapa buku sastra, sering saya harus kompromi dengan diri saya sendiri untuk meloloskan karya yang kurang memenuhi kriteria, dengan berbagai macam pertimbangan.

Di koran nasional, kompromi semacam itu nyaris tidak berlaku. Bahkan, ada koran nasional, yang menetapkan cara seleksi dengan sistem penjurian. Karya-karya yang masuk dinilai oleh beberapa orang sekaligus, lalu masing-masing mereka memilih karya paling layak untuk dimuat, selanjutkan dibicarakan bahkan didebatkan kelayakan karya itu bersama-sama.

Saya memang menemukan buku-buku fiksi pop sejumlah penulis muda dari Aceh di toko-toko buku di Jakarta, tapi dalam konteks ini kita tidak sedang membicarakan karya-karya pop. Sebab, karya-karya itu segmentasinya sangat terbatas yakni remaja. Sementara yang kita bicarakan di sini adalah karya-karya sastra yang segmentasinya luas. Jika ingin membicarakan karya-karya fiksi populer, apakah pop kosmopolitan atau pop islami, bisa dalam lain kesempatan.

Mendukung

Sebetulnya, dalam isi tulisan Herman itu tidak ada hal yang baru. Sebagian isi tulisan itu mengulang lagi apa yang pernah saya sampaikan dalam tulisan saya “Menggali Potensi Sastra Kita” itu, juga dari surat pembaca yang pernah saya kirimkan ke Serambi untuk menggugah koran ini menghidupkan kembali ruang budaya.

Bahkan, jika dilihat secara jernih, tanpa meledak-ledak seperti halnya Herman, sebagian besar isi tulisan Herman mendukung tulisan saya. Misalnya, soal tak ada ruang budaya itu, soal kegemaran menulis anak muda di Aceh (dalam tulisan saya, saya menyebutnya sebagai potensi sastra), sulitnya menembus koran nasional, dan seterusnya.

Meski begitu, ada juga hal yang mestinya lebih dijelaskan dari tulisan Herman ini: “Kita tahu tidak sembarang orang dapat dimuat langsung karyanya di koran. Redaktur pasti ingin mengenal dahulu siapa penulisnya. Andai penulis itu sudah duluan terkenal, pasti langsung dimuat.”

Saya tidak tahu, apakah yang dimuksud bahwa redaktur sastra mesti kenal dulu secara pribadi dengan penulisnya. Jika itu yang dimaksud, asumsi Herman keliru. Memang, kenal secara pribadi, pernah ketemu dan sebagainya, itu penting. Tapi itu bukan jaminan sebuah karya akan dimuat. Orientasi utama para redaktur, termasuk redaktur sastra, adalah kualitas tulisan. Meskipun memang, sering tidak bisa dielakkan, nama besar juga jadi pertimbangan.

Tapi seorang penulis pemula bisa saja langsung dimuat di koran, bila memang karyanya layak dan pantas untuk dimuat, dalam arti kualitasnya bagus. Pemula pun bukan berarti ia baru sekali itu menulis langsung dimuat. Yang dimaksud adalah penulis yang belum lama menjalani kiprahnya dan belum dikenal. Jika pun ada seorang penulis baru sekali menulis langsung dimuat, itu tentulah barang langka.

Tapi sebelum tulisan para pemula itu dimuat, biasanya redaktur itu akan memverifikasi kepada penulis bersangkutan apakah benar itu karyanya, bukan jiplakan, dan jika dirasa perlu memintanya mengirim beberapa karya lain untuk menguatkan bahwa ia memang berbakat. Maka, nomor telepon dan alamat email yang bisa dihubungi menjadi sangat penting dicantumkan ketika mengirim karya ke koran.

Sebaliknya, tak jarang pula, karya penulis ternama ditolak oleh redaktur sastra koran, karena memang yang dikirimkan itu kualitasnya belum memenuhi standar yang ditetapkan oleh redaktur itu. Saya tidak perlu menyebut nama-nama koran itu di sini, namun jika ingin tahu, bisa mengontak saya secara pribadi, bahkan bisa saya tunjukkan karya siapa saja.

Proses menjadi

Saya juga tergelitik dengan pernyataan Herman lainnya: “...tidak semua penulis pemula menulis jelek. Tidak percaya, coba amati kembali beberapa hasil lomba yang diadakan di Banda Aceh.”

Menurut saya, kriteria bagus itu harus diperjelas: menurut standar atau ukuran apa, kriteria apa yang dipakai untuk menilai, terus bagus menurut siapa, untuk lingkungan apa (lokal atau nasional), dibandingkan dengan siapa, dan seterusnya?

Jangan lupa, seseorang itu lahir dari “proses menjadi”, yakni dengan semangat terus-menerus belajar, bukan “sim salabim”. Jadi, dalam kondisi yang normal, segalanya memulai dari bawah. Kalau mula-mula menulis pastilah kualitasnya rendah, lalu dengan “proses menjadi” itu, kualitas itu pelan-pelan meningkat, dan terus meningkat.

Kalau awal-awal menulis, hanya dimuat di majalah dinding sekolah, terus meningkat di buletin terbatas, lalu meningkat lagi dimuat di koran lokal, kemudian pelan-pelan merambah ke publik yang lebih luas ke media-media nasional, sampai media-media asing. Itu semua tentu membutuhkan ketekunan kerja keras. Jangan lupa; impian. Impian bahwa karya saya harus muncul di koran-koran besar.

Semua pengarang besar melalui proses itu. Mereka tidak langsung jadi, tak langsung karyanya bagus-bagus begitu menulis. Mereka lahir dan tidak langsung terkenal.

*) Penulis adalah penyair, dan penulis cerpen asal Aceh, tinggal di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger