Mei 08, 2007

SAJAK ACEH, SYAIR SEJARAH ACEH

Kompas, Senin, 07 Mei 2007

Sajak atau puisi dikenal oleh dunia mana pun sebagai ungkapan pikiran dan perasaan penulisnya berdasarkan pergulatan dalam hidupnya. Maka, sajak niscaya dianggap dapat merepresentasikan masyarakat pemiliknya, paling tidak mewakili pandangan si penyair.

Penulis dan pengamat sastra Faruk HT melihat bahwa seni atau sastra adalah sebuah pandangan. Sikap, aktivitas, dan kreativitasnya tidak dibangun atas dasar keperluan umum, kepentingan universal, dan tidak langsung, melainkan atas dasar persentuhan dengan kenyataan yang langsung, unik, dan partikular.

Maka, tidaklah berlebihan jika orang dapat melihat sejarah kehidupan sosial politik masyarakat Aceh melalui syair-syair yang dihasilkan penyair Aceh. Setidaknya, hal itu tercermin dalam beberapa karya sastra, seperti Seulawah (1995), LK Ara (ed); Aceh Mendesah dalam Nafasku (1999), Abdul Wahid; Lagu Kelu (2005), Doel CP Allisah (ed); Ziarah Ombak (2005), Kemalawati (ed); dan Nyanyian Manusia (2006), Harun Al Rasyid.

Secara sosiohistoris, Aceh memiliki latar belakang sejarah yang unik. Nenek moyang mereka adalah para pedagang yang berasal dari wilayah dengan kebudayaan yang kuat di dunia pada masanya, seperti China, India, dan Timur Tengah. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Aceh memiliki kebudayaan sastra yang cukup tinggi, salah satunya adalah dalam penciptaan sajak.

Dalam buku yang disunting Taufik Ismail, Antologi Sastra Aceh (1995), perkembangan sastra Aceh dibagi dalam khazanah lama dan khazanah baru. Khazanah lama adalah hikayat atau puisi panjang yang dihasilkan sejak abad ke-14 hingga abad ke-19 yang ditulis para sastrawan dan penyair masa lampau. Adapun khazanah baru adalah puisi yang dihasilkan para penyair Aceh sejak angkatan Pujangga Baru atau angkatan Balai Pustaka, seperti Ali Hasjmy, hingga masa kini.

Aceh memiliki sejarah perjuangan dan perlawanan terhadap penjajahan, yang sangat panjang dalam perkembangan kehidupan negeri Serambi Mekkah itu. Sejak abad ke-17, saat orang-orang Eropa mulai mulai menduduki wilayah paling barat Nusantara tersebut, hingga abad ke-19, resistensi masyarakat Aceh terus bergolak.

Pergolakan rakyat Aceh terhadap kolonialis di sana juga tampak pada syair-syair Aceh masa lampau. Syair yang paling terkenal adalah Hikayat Prang Sabi atau Hikayat Perang Sabil yang ditulis Teungku Chik Pantee Kulu dalam pelayaran pulang haji dari Jeddah ke Pulau Pinang yang kemudian diberikan kepada Teungku Chik Di Tiro di Sigli.

Demikian pula dengan puisi Prang Kompeni yang ditulis Abdul Karim atau dikenal dengan Do Karim, berisi semangat perjuangan melawan aneksasi bangsa Eropa. Bahkan, pada abad ke-14 saat Portugis menyerang wilayah Aceh, lahir Hikayat Prang Paringgi yang menyentuh perasaan dan mendorong semangat juang untuk berperang. Dalam hikayat itu disebutkan bahwa mati berperang adalah syahid, yang merupakan mas kawin untuk mendapatkan bidadari surga.

Perjuangan Aceh melawan kolonialis Belanda sangat panjang hingga saat kemerdekaan Indonesia, tetapi kedamaian itu tidak berlangsung lama karena terjadi konflik bersenjata akibat adanya tuntutan melepaskan diri dari Indonesia. Karena itu, pada sajak-sajak yang muncul kemudian, syair-syair itu dipenuhi oleh keresahan akan nasib masyarakat dan wilayah Aceh karena persoalan politik dan keamanan akibat pertikaian antara Tentara Nasional dan Gerakan Aceh Merdeka. Gambaran itu dapat dilihat pada kumpulan puisi Aceh Mendesah dalam Nafasku, Kitab Mimpi, Seulawah.

Demikian pula ketika pertikaian politik itu berlangsung sejak tahun 1975 hingga perjanjian damai tahun 2005, lahir puisi yang sarat kemarahan, pemberontakan, ketidakberdayaan, dan kepiluan akan nasib rakyat Aceh. Surat dari Negeri Tak Bertuan karya Kemalawati (2006) dan Rencong karya Fikar W Eda (2005) menyiratkan dengan jelas kepiluan itu.

Perseteruan antara pemerintah pusat dan GAM menimbulkan banyak korban, terutama masyarakat lokal Aceh yang dicurigai atau dituduh pendukung GAM. Maka, telah menjadi berita umum bahwa tentara pusat membunuh ataupun menculik masyarakat Aceh. Hal inilah yang menimbulkan kekecewaan pada banyak kalangan masyarakat Aceh.

Kepekaan akan penderitaan masyarakat, bahkan keluarga penyair sendiri, telah menimbulkan kemarahan dan pemberontakan terhadap pemerintah pusat yang dalam hal ini disimbolkan dengan Jakarta sebagai ibu kota negara. Hal itu diungkapkan oleh Fikar W Eda dalam puisi berjudul "Rencong", dari kumpulan puisi berjudul sama.

berbilah-bilah rencong

dengan sarung dan tangkai berkilap

tak lupa kami selipkan

pertanda martabat

dan keagungan

betapa pedih hati kami

dari Jakarta

kalian hujamkan mata rencong itu

tepat di jantung kami!

Selain kemarahan karena konflik yang berlangsung bertahun-tahun, para penyair Aceh dikejutkan pula oleh bencana tsunami yang meluluhlantakkan seluruh sendi kehidupan masyarakat. Kesedihan, kengerian, dan ketakutan akan bencana itu dituangkan dalam dua antologi puisi, yaitu Lagu Kelu yang disunting Doel CP Allisah dan Ziarah Ombak yang disunting Kemalawati.

Setelah hancur karena tsunami, aktivis muda Aceh justru bangkit menggali kultur, seperti yang dilakukan Komunitas Tikar Pandan dengan mengadakan sayembara menulis puisi. Sejumlah 1.242 naskah dari 358 pelajar dan mahasiswa dari semua wilayah Aceh masuk untuk diseleksi. Dari semua naskah yang diseleksi termuat 70 puisi yang diterbitkan dalam buku berjudul Kitab Mimpi (disunting Meutia, 2006), yang banyak berkisah tentang kepedihan akibat konflik sekaligus mempertanyakan masa depan Aceh pascarekonsiliasi GAM dan RI.

Perempuan dalam sajak Aceh

Tidak dapat dimungkiri, hampir dalam setiap peristiwa kekerasan massal, perempuanlah yang sering menjadi atau dijadikan korban oleh pihak-pihak yang bertikai. Perempuan yang oleh masyarakat dijadikan simbol kehormatan komunitas dan para lelaki justru rentan menjadi obyek kekerasan. Menghancurkan perempuan sama dengan menghancurkan mental laki-laki atau masyarakatnya, selain juga menjadi pelampiasan atas kegagalan dan putus asa.

Selalu ada alasan untuk membicarakan perempuan dalam masyarakat termasuk para penyair laki-laki. Namun, sayangnya, tidak banyak penyair yang memiliki kepekaan terhadap persoalan perempuan. Hal ini pun terjadi pada sajak-sajak karya penyair Aceh. Sangat sedikit sajak yang berkisah tentang perempuan dari ratusan sajak yang ditulis dalam tujuh buku yang dianalisis dalam artikel ini. Demikian pula halnya dengan proses perdamaian yang berjalan di Aceh, hingga munculnya qanun, dipandang tidak merepresentasikan kepentingan perempuan di sana.

Adalah D Kemalawati, seorang guru matematika yang sekaligus penyair, memiliki kepekaan yang cukup besar terhadap nasib perempuan di Aceh. Dia mengungkapkan penderitaan perempuan yang menjadi korban dari kedua belah pihak yang bertikai, pun setelah konflik berakhir. Kebijakan politik selanjutnya justru dapat memenjarakan perempuan tanpa alasan yang kuat. Simak salah satu puisi Kemalawati yang berjudul "Wanita-wanita dalam Lingkaran", dalam kumpulan puisinya, Surat dari Negeri Tak Bertuan:

Di negeri ini

di zaman penuh cinta

beribu wanita tak berdaya

trauma nuraninya

bahwa setiap ketimpangan

kebiadaban perpecahan

ketidakadilan

wanita dijadikan ajang pelampiasan

kepuasan

keputusasaan

Dari sedikit karya yang bercerita tentang nasib perempuan, ternyata ada dua sajak yang berkisah tentang perempuan malam. Ini merupakan terobosan dalam sastra Aceh karena keberadaan perempuan pekerja seks hampir-hampir tidak pernah dianggap ada di sana, apalagi hal ini sangat bertentangan dengan qanun di wilayah itu.

Dalam puisi karya Fikar W Eda berjudul "Lady’s Night" dan puisi karya Ridwan Amran berjudul "Pelacur Tua" diceritakan tentang pekerja seks komersial yang memang ada di antara mereka. Jika Ridwan menceritakan kepiluan nasib seorang pelacur tua yang dipuja pada masa muda dan kesepian pada hari tua, kisah Fikar lebih simpatik. Fikar mengungkapkan bahwa wanita malam itu ada dan mereka juga manusia yang punya sisi religius sendiri (singgah di masjid, membasuh muka), maka tidak seharusnyalah masyarakat berpaling muka dari mereka. Fikar ingin mengungkapkan bahwa keberadaan wanita malam adalah sebuah realitas yang hadir dalam kehidupan masyarakat.

(Umi Kulsum/ Litbang Kompas)

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger