Oktober 17, 2011

TARMIZI DAN KOMUNITAS RUMAHITAM

Mandar.com/16 Oktober 2011, 06:45:36

KETIKA saya sedang suntuk membaca beberapa referensi di International Singapur Library (ISL), telpon seluler saya (HP) tiba-tiba berdering beberapa kali. Awalnya saya malas mengangkatnya, bahkan cenderung tidak menghiraukannya. Namun setelah kali kedua, saya tak tahan juga mendengarnya. Selain itu mengganggu konsentrasi saya sendiri, juga orang-orang yang sedang aksyik membaca referensi di kanan kiri saya.

Namun begitu saya lihat nampak di layar HP nama Bang Tarmizi timbul tenggelam, saya segera saja mengangkatnya. Saya tentu tidak kaget. Sebab beberapa bulan terakhir saya selalu berjanji padanya bahwa saya akan datang mengunjungi Rumahitam yang dipimpinnya. Dan inilah kali pertama saya akan berkunjung kesana, menyempatkan diri melihat salah satu Komunitas seniman di Pulau industry Batam, sepulang dari Thailand dan Kuala Lumpur.

Sejenak saya sempat berbicara dengannya. Dari balik loadspeker HP saya terdengar sangat jelas suara bariton Bang Tarmizi yang khas. Inti pembicaraannya, ia menginginkan agar saya memastikan untuk datang ke Komunitas yang telah banyak mewarnai kesenian di Batam itu. Dengan begitu saya tentu sangat antusias dan menyambut baik keinginan Bang Tarmizi. Saat itu sore, sekitar pukul 15.30 ketika kami berbincang secara serius lewat HP. Dan saya berjnji akan datang malam itu ke Batam, sehingga Bang tarmizi pun menyiapkan diri untuk menjemput saya sekitar pukul 22.00 malam nanti.

Secara umum, antara Komunitas Seni Rumahitam Batam dan Sosok Tarmizi bukan lagi sesuatu yang asing di Batam dan di wilayah Sekupang pada khususnya. Komunitas ini terlanjur menjadi salah satu ikon seni dan budaya di seputar Sekupang dan Batam.

Tarmizi bukanlah pemimpin sebuah sekte atau mengorganisasi kelompok eksklusif dengan ideologi tertentu. Simbol warna hitam sebagai ciri khas keberadaan komunitas yang ia kelola—termasuk pada sejumlah bangunan tempat tinggal, warung, dan rumah baca mereka yang juga dicat hitam—di kawasan Sekupang, Batam, hanyalah semacam penanda.

“Tak ada kaitan sama sekali dengan ideologi para anggota komunitas,” kata Tarmizi (35), lelaki kelahiran Rumbai, Riau, namun dibesarkan di kampung halaman ibunya (Nuraini) di Rao, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat. Adapun ayahnya, (almarhum) Saidul Nasution, berasal dari Sumatera Utara.
Rumahitam sebagai anak ideologis Tarmizi memang mengandung makna simbolik. Bagi Tarmizi, ”rumahitam” adalah sebuah sudut pandang tentang Batam yang kian tak ramah pada lingkungan sosial dan budaya lokal. Demikianlah salah satu harian nasional merilis profile Tarmizi dan Komunitas Seni Rumahitam Batam (Kompas; 21/04/08).

Menurut Bang Tarmizi, begituah ia akrab disapa sebagaimana yang juga tertuang di dalam blog dunia maya milik Komunitas seni Rumahitam; bahwa komunitas yang konstruk bangunannya serba hitam ini, resmi didirikan tanggal 21 April 2000 di Batuaji, Batam, Kepulauan Riau oleh penggagas utamanya, Tarmizi. Pada mulanya hanya sebuah gubuk kecil berukuran 4 x 6 meter tanpa balok dan papan, hanya menggunakan kayu-kayu bulat dari hutan Genta di areal awal komunitas ini (sekarang Yayasan Bina Ummah). Atap dan dinding gubuk tersebut menggunakan karet hitam. Dari gubuk itulah seorang Tarmizi kemudian lebih banyak meneropong Batam dengan segala kemajuan dan persoalannya, meneropong Indonesia dengan segala kejayaan dan kemundurannya, meneropong dunia dari segala tipu dayanya. Di gubuk itu, Tarmizi menulis alam, langit dan bumi menjadi sajak-sajak rumahitam.

Melalui sajak-sajak rumahitam, Tarmizi dan komunitasya melakukan perlawanan terhadap berbagi tindak ketidak adilan dalam dilektika sosial dan kesenian yang mandek di tengah atmosfer Batam yang sumpek. Hal ini telah dilakukan oleh Tarmizi dan Rumahitamnya, baik ketika mereka tinggal di gubuk berdinding tripleks di rumah liar—masyarakat Batam menyebutnya ”ruli”—yang ia huni di kawasan Batuaji maupun ketika mereka berpindah ke Sei Harapan Sekupang. Dari sinilah asal mula penamaan Rumahitam. ”Di Batam ini, kami memang hidup bagaikan di rumah yang hitam. Disini orang-orang cenderung mengikuti sesuatu yang buruk, gambaran sebuah lingkungan yang hitam dan kelam. Di rumah yang hitam itulah kami tinggal !” demikianlah kata Tarmizi saat kami berbincang di sekretariat Rumahitam, sambil menikmati ayam panggang raja-raja yang digoreng kering dan dihidangkan di atas piring berwarna serba hitam, sambil menyeruput kopi hitam di malam-malam Sekupang-Batam yang hitam.

Teater Panggung

Malam sekitar pukul 22.00 ketika Tarmizi Sang ‘Proklamtor’ Ruamhitam itu penjemput saya di Batam Centre, pasca penyebrangan satu jam dari Singapura. Dengan postur tubuh yang kecil dan gesit, Tarmizi segera saja mengarahkan saya ke dalam taksi yang dikemudikan seorang pemuda yang juga bagian dari Komunitas Seni Rumahitam. Dari Batam Centre kami melaju di tengah keriuhan kota Batam yang beranjak kian industrial. Namun lantaran malam kian larut dan saya pun telah lelah dikumur letih, akhirnya kami langsung saja menuju Sekupang dimana Komunitas Rumahitam berdiri di atas areal kurang lebih satu hektar dengan beberapa bangunan yang berdiri di atasnya berwarna serba hitam, mulai dari atap, dinding, ruangan hingga lantai. Di selah obrolan kami yang renyah di halaman Rumahitam, Tarmizi berkali-kali mengucap syukur dan bangga atas eksistensi Komunitas Rumah Hitam dan keseniannya. “Tan, komunitas ini berdiri benar-benar atas keajaiban dari tuhan. 


Kominitas ini benar-benar dibangun lillahi taala karena tuhan sayang kepada kami. Sehingga dalam perjalanannya, beberapa seniman besar telah berkunjung kemari. Semisal Sutardji Colzoum Bachri Presiden penyair Indonesia, Taufiq Ismail, Nano Riantiarno, Hamsad Rangkuti, Ratna Riantiarno dan lain-lain. Mereka semua bertandang kemari sambil membacakan puisi-puisinya. Sari Madzid dan Budi Ros pun pernah datang ke komunitas Rumah Hitam. Doel CP Allisah dari Aceh, Murdock dari Riau dan banyak lagi lainnya, termasuk Bustan sekarang yang datang dari jauh, Mandar-Sulawesi Barat meski tinggal lama di Yogyakarta..hahahaha…kata Tarmizi sambil tertawa renyah dengan suara ngebasnya yang khas.

Sementara itu untuk kawan-kawan Tarmizi yang berada di sekitar Batam dan Kepulauan Riau pada umumnya, beberapa kawan kerap main ke Ruamahitam. Seperti Penyair Hasan Aspahani, Ramon Damora, Samson Rambah Pasir-cerpenis yang acap membuat acara Kenduri Seni Melayu dan beberapa kawan lainnya yang dekat dengan Tarmizi. Sebab memang demikianlah Tarmizi, akrab dengan banyak kawan. Sebab Tarmizi sendiri adalah kawan yang sangat loyal terhadap kawan-kawannya dan senang berbagi dengan siapa pun. Bahkan acapkali Rumahitam menjadi rumah transit kawan-kawannya darimana saja di seluruh Indonesia, terutama yang ingin ke Singapur dan beberapa daerah lainnya di semenajung Melayu.
Dengan sikap percaya diri yang tinggi, Tarmizi selalu memperkenalkan sajak-sajak Rumahitamnya pada publik melalui berbagai pentas seni, baik di Batam, Bintan dan Pekan baru hingga ke Malaysia dan Singapur. Tidak berhenti sampai disitu, Tarmizi terus bermimpi untuk menjadikan Rumahitam sebagai satu komunitas seni yang mampu eksis dan memliki nafas panjang untuk terus mengerjakan kesenian dan kebudayaan. 


Namun tak berselang lama, akhirnya mimpi itu terwujud juga. Sejumlah pentas reportoar dihasilkan dan telah dipentaskan Rumahitam di berbagai daerah di Indonesia. Pementasan itu pernah ditampilkan Tarmizi dan Komunitas Seni Ruamahitam di sejumlah tempat, khususnya tari yang menjadi gebrakan awal Rumahitam. Antara lain “Galang” karya Faisal Amri di Palu Indonesia Dance Forum-Sulteng, 2001, “Rentak Zapin” di Bintan International Zapin Festival, 2001, “Kalam” di Festival Cak Duarasim di Surabaya, Konser Serambi Orcestra berkerjasama dengan STSI Padang, Menggelar Pasar Seni Batam dan Malam Rumahitam Award 2004, pentas teater “59 Tahun Indonesia” di Balroom Goodway Hotel, Batam, garapan naskah dan Sutradara Tarmizi dan lain-lain.

Teater Kehidupan Alam Raya

Atas dasar cara berpikir yang selalu melandaskan penghayatan hidupnya pada alam semesta, langit dan bumi, Tarmizi melihat, gerak teater yang sesungguhnya bukanlah di panggung. Tetapi yang lebih penting dan mutlak mendapat perhatian serta perenungan yang dalam, adalah teater kehidupan di alam raya ini. Bagi Tarmizi, Rumahitam ibarat alam semesta, tempat seluruh mahluk ciptaan Tuhan berhenti sejenak menjelang tiba ke alam kekal sesuai janji Sang Pencipta alam. Rumahitam adalah dunia, dunia yang sudah hitam dan perlu pencahayaan, dengan mengedepankan hati nurani dalam bersikap dan bertindak. Hati nurani inilah yang kian memudar dalam kekinian kita.

Dari filosofi teater alam kehidupan itulah, Tarmizi dan kawan-kawannya mewujudkan konsep-konsep itu lebih jauh dalam kehidupan sehari-hari. Itulah sebabnya, sehingga Tarmizi tidak hanya melakoni teater di panggung pertunjukan untuk memuaskan hasrat estetikanya, tetapi lebih jauh Tarmizi membangun berbagai jenis kegiatan di kompleks Rumahitam sebagai wujud dari teater kehidupan itu. Dengan segala usahanya kini Rumahitam telah memiliki sejumlah jenis fasilitas dan juga usaha ekonomi mikro. Seperti rumah makan (café), wisma tamu, panggung untuk latihan dan pementasan, rumah baca dan lain-lain semacamnya.

Dalam ukuran sebuah komunitas kesenian, Rumahitam sangat mandiri. Hal ini dapat dilihat dari adanya kegiatan berwirausaha dengan membuka warung makan. Lokasi komunitas itu sendiri sangat strategis di wilayah Sei Harapan-Batam, dimana terdapat beberapa perkantoran milik pemerintah dan perusahaan-perusahaan asing yang membuka pabrik. Suasana yang disuguhkan oleh tempat ini pun cukup berbeda dengan rumah makan kebanyakan. Dalam penataan tempatnya mereka mengusung konsep yang lebih alamiah. Hal ini didukung oleh suasana lingkungan sekitar yang memang nampak asri dan nyaman. 


Mengenai menu makanan yang disajikan, sebagian besar merupakan khas masakan padang yang rasanya tak perlu di ragukan lagi. Pelanggan juga dapat memesan berbagai aneka macam jus sampai es kelapa muda yang segar. Untuk mencari keberadaan tempat ini, siapapun tak perlu takut akan sulit menemukannya, karena letaknya persis di sudut jalan protokol di daerah Sei Harapan-Sekupang. Tulis Lola seorang pengunjung rumah makan Rumahitam di blog pribadinya.

Selain itu seorang pengunjung rumah makan Komunitas Seni Rumahitam-Batam lainnya, juga menuliskan di dalam blog pribadinya: “Pertama dapet info tentang rumah makan ini aku langsung penasaran. Pengen nyoba. Rumah Hitam...?!?! gue banget gitu looh... hehehehe.....sampe sana, ternyata suasananya..uhhh… asyik. Ada pilihan gazebo maupun tempat duduk dengang mejanya. Pilihan menunya juga cukup beragam dengan nama-nama yang unik dan cukup bikin geleng-geleng... misalnya aja: sate kambing kasmaran…hehehe… kayak gimana coba kambing kalo lagi kasmaran....?!?! Akhirnya aku cuma pesen nasi goreng ikan asin dan suamiku pesen ikan mas bumbu kuning (tau apa namanya....) buat minumnya tetep pilih teh es khas Batam. Apalagi kalo bukan Teh Obeng. hehehe….!!” (dieend18.multiply.com).

Para pengunjung, biasanya, selain berniat memanjakan lidah dengan berbagai hidangan Khas Rumahitam, sambil menunggu hidangan, mereka selalu meluangkan waktu melihat-lihat koleksi buku-buku yang disewakan atau berpose sambil memotret di berbagai sudut di Rumahitam yang unik eksotik. Lalu setelah tak berselang lama kemudian, pesanan para pengunjung akan segera disuguhkan dengan segala keunikan rasa dan bau masakan khas Rumahitam yang luar biasa yang tidak bakal ditemui oleh para pengunjung keculai di Rumahitam sendiri. Sebab hampir seluruh masakan yang ditawarkan di Ruamahitam adalah hasil eksplorasi Tarmizi dan beberapa anggota komunitas Rumahitam sendiri, hingga menemukan unikum-unikum tersendiri di dunia kuliner.

Bukan Komunitas Seni Rumah Hitam namanya kalau tidak unik. Sebagaimana sang pemimpinnya yang bernama lengkap Tarmizi A. Sultan yang lebih suka menuliskan namanya dengan hurup kecil. Namun apapun adanya person-person dan eksistensi komunitas ini, ia tetap merupakan salah satu komunitas alternatif di Batam dan di Indonesia pada umumnya. Baik dalam dialektika kesenian nusantara, maupun dalam konteks organisasi pemuda yang pruduktif konsisten. Sehingga patut kiranya oleh siapapun untuk memberi apresiasi yang tinggi bagi Komunitas Seni Rumahitam agar tetap jaya dan maju dengan berbagai alternatif kreatifitas yang ditawarkannya. Bang Tarmizi-Rumahitam, tetaplah melaju di tengah arus peradaban yang ganjil ini

Bustan Basir Maras :
Penyair, pekerja sosial budaya dan mahasiswa semester akhir Sekolah Pascasarjana, Antropologi UGM Yogyakarta.






Tidak ada komentar:

Powered By Blogger