April 14, 2013

KENANGANKU BERSAMA HASYIM KS

www.atjeharts.com
Published on Saturday, 13 April 2013 01:26


Written by MYB

Dokumentasi Hasyim KS

SEKITAR awal tahun 1986 aku mulai bergabung dengan Teater Mata Banda Aceh Pimpinan almarhum Maskirbi. Hampir setiap kali kegiatan latihan---apalagi menjelang pementasan--- Teater Mata, selain anggota tetap Teater Mata yang umumnya seusia denganku (usiaku saat itu delapan belas tahun) juga sering dihadiri banyak orang usia dewasa , teman-teman dekat Maskirbi, yang kemudian aku tahu mereka adalah para Seniman Teater, Penyair, Penulis, Pelukis dan Wartawan. Diantaranya ada seorang laki-laki separuh baya berkulit hitam manis dan mirip orang India. Ternyata dia adalah putra asal Aceh Selatan yang dari turunan Ayahnya memang orang India. Dialah Hasyim KS, seorang Seniman Aceh (tokoh Teater, Penyair, Cerpenis, Penulis dan Wartawan).

Sejak mengenal Hasyim KS aku mulai sering duduk-duduk ngobrol dengannya, kadang ramai-ramai bersama teman-teman lain dan kadang-kadang hanya kami berdua, terutama di Taman Budaya. Obrolan kami tidak hanya seputar kesenian, tatapi juga tentang kehidupan secara luas. Ia selalu mendorong semangat kepada siapa saja , terutama kepada yang muda-muda di bawahnya, bila bertanya atau mengajaknya ngobrol. Tetapi tidak sedikit pula orang yang bertanya atau mengajaknya ngobrol kemudian tersinggung, terutama bagi yang tidak terlalu memahami cara Hasyim KS. Namun kemudian orang-orang tersebut kembali memaklumi, setelah mengerti dan dapat merasakan mamfaatnya. Kata-kata yang sering kudengar keluar dari mulutnya, hampir kepada setiap orang yang mengajaknya ngobrol tentang karya, “Jangan terlalu menggebu-gebu” , dan “ Kurangi ke-Aku-anmu”.

Hampir setiap kegiatan kesenian di Banda Aceh yang ada keterlibatan Hasyim KS, baik sebagai panitia maupun sebagai peserta, didalamnya juga terlibat aku. Bersama para Seniman lain, diantaranya Maskirbi dan Cut Soefyan, Hasyim KS ikut mencetus dan memprakarsai lahirnya Kemah Seniman Aceh (KSA) yang diselenggarakan pertama sekali di Taman Budaya –Banda Aceh (KSA I tahun 1989).

Kegiatan seni yang sangat monumental itu sempat diselenggarakan hingga tiga kali berturut-turut. Hampir setiap hari dan malam kami ngumpul di Wisma Seni Taman Budaya untuk mempersiapkan kegiatan tersebut. Para Seniman lain yang sangat antusias terlibat sebagai panitia dan selalu hadir saat itu diantaranya yang aku ingat; Sayed Adli, Doel Cp Allisah, AA Manggeng Putra, Eko Widarma, Round Kelana, Mahdy Abdullah, Yun Casalona, Junaidi Yacob. Aku yang saat itu sebagai ketua salah satu Clup Pecinta Alam di banda Aceh juga mengajak teman-teman Pecinta Alam untuk ikut terlibat dalam kepanitiaan Kemah Seniman Aceh tersebut. Dari situ aku juga melihat bahwa Hasyim KS dan para Seniman lain sangat terbuka bagi siapa saja, tidak saling curiga dan saling membahu membangun kesenian. Hasyim KS yang saat itu mulai bekerja sebagai Redaktur Budaya di salah satu Surat Kabar terkemuka yang baru terbit di Aceh juga sangat rajin menulis tentang apa saja kegiatan kesenian di Aceh.

Sekitar tahun 1991 Hasyim KS oleh pihak Surat Kabar tempatnya bekerja ditugaskan ke Tapak Tuan-Aceh Selatan. Namun hubungannya dengan para Seniman di Banda Aceh tak terputus. Hasyim KS selalu memantau aktivitas kesenian di Banda Aceh. Dalam tahun itu pula aku bersama Teater Mata, Teater Inprovisasi (Pimpinan Hasyim KS) dan Sanggar Krya Artitika Banda Aceh berkunjung ke Tapak Tuan dalam rangka Seniman Saweu Gampong. Aku bersama Teater Mata menampilkan Drama Malam Jahannam karya Motinggo Busye yang disutradarai oleh Maskirbi dan aku berperan sebagai tokoh Sulaiman. Kehadiran kami, oleh Hasyim KS sebagai Tuan rumah, disambut dengan ceria dan kehangatan. Hasyim KS dengan bangga memperkenalkan kami kepada teman-temannya dan semua anggota keluarganya.

Beberapa tahun kemudian , sekitar tahun 1993, Hasyim KS kembali lagi ke Banda Aceh. Sejak itu aku merasa hubungan dengan Hasyim KS semakin dekat. Ia sering menginap di tempat tinggalnya AA Manggeng Putra, di komplek rumah sakit jiwa. Dan akupun sering ngumpul di sana, termasuk Ichwan Manggeng dan beberapa teman lain. Hasyim KS juga hobbi dan pintar dalam soal memasak. Ia selalu membeli ikan dan masak sendiri. Suatu kali Hasyim KS kepingin sekali makan gulai ikan hiu. Ia beli dan masak sendiri di tempat AA.Manggeng putra. Ketika AA.Manggeng pulang ia mencium aroma masakan yang sangat mengundang selera. Ketika mau makan AA.Manggeng menanyakan kepada Hasyim KS, “ Bang. Ikan apa ini ? “. Hasyim KS dengan bangga menjawab, “Ikan hiu. Entah apa pula saya kegpingin sekali. Saya beli tadi di Peunayong”. Jawaban itu membuat AA.Manggeng mundur, tidak jadi makan. Hasyim KS bertanya heran, “ Kenapa,A ?’ Lalu AA.Manggeng menjawab, “ Saya Bang ada pantangan,tidak boleh makan ikan hiu”. Sebelum ia sendiri sempat makan, secara spontan Hasyim KS langsung membuang gulai ikan hiu itu ke belakang rumah. Aku tertawa akan hal itu. Tapi kemudian aku kecewa karena gulai itu dibuang, sementara aku juga ingin makan.

Atas dorongan Maskirbi dan Hasyim KS pula tahun 1993 aku ikut Lomba Baca Puisi Humur TK. Nasional di Jakarta dengan jumlah peserta sekitar 1200 orang dari seluruh Indonesia bahkan beberapa dari negeri tetangga , dan aku memperoleh Juara 3. Setahun kemudian aku juga ikut Lomba Baca Puisi Piala HB.Jassin Tk.Nasional juga di Jakarta, dan aku hanya masuk sebagai finalis. Dari itu lalu aku muncul ide untuk mengadakan Lomba Baca Puisi Piala Maja Se-Aceh yang juara I dan II kami kirim untuk mengikuti Lomba Baca Puisi Tk.Nasioanal Piala HB.Yassin di Jakrta. Kegiatan itu masih berlanjut hingga sekarang ( Sejak tahun 2002 sudah dihibahkan kepada Dewan Kesenian Banda Aceh). Dalam penyelenggaraan Lomba Baca Puisi Piala Maja Hasyim KS termasuk orang yang selalu mendampingi dan memberi semangat kepadaku.

Hasyim KS paling suka menempuh perjalanan jauh dengan dengan kereta (sepeda motor). Suatu kali, aku tidak ingat lagi tahunnya, dengan Vespa PX keluaran terbaru miliknya ia mengajakku ke Krueng Sabee (saat itu masih wilayah Aceh Barat), rumah tempat tinggal Cut An (Isterinya) yang bekerja sebagai Pegawai Negeri di Calang. Setahun kemudian, setelah Isterinya pindah ke rumah sendiri di Calang, ia juga mengajakku kesana. Sepanjan perjalanan dari Banda Aceh ke calang, ditempat-tempat tertentu ia mengajak berhenti. Sambil menikmati rokok putih kesukaanya ia sering menceritakan berbagai peristiwa Aceh yang pernah terjadi di tempat kami berhenti itu, misalnya tentang peristiwa Cot Jeumpa., Lhok Geulumpang dan lain-lain. Setiap giliran aku yang menyetir kenderaan ia selalu mengingatkan aku dengan kata-kata,”Yang paling membahayakan adalah saat-saat mau memulai peperangan dan mau berhentinya peperangan”. Mendengar kalimat itu perlahan-lahan aku menurunkan laju kecepatan kenderaan. Kalimat itu ia ucapkan bukan hanya saat kami dalam menempuh perjalanan, tetapi sering juga pada setiap kali aku mengadakan suatu kegiatan kesenian.

Hampir setiap obrolan, Hasyim KS tidak lupa menyelipkan kata-kata Hadih Maja (Salah satu bentuk sastra lisan Aceh yang isinya sarat dengan nasehat, teguran dan kritik sosial). Hadih maja tersebut kemudian oleh Hasyim KS dijadikan bahan utama dalam rubrik Apet Awe di Surat Kabar Karian tempat ia bekerja. Suatu saat, aku lupa tahunnya, Hasyim menyuruhku memerankan tokoh Pang dan Ichwan Manggeng sebagai tokoh Polem ( dua tokoh dalam rubrik Apit Awe) untuk dipentaskan di Gedung Sosial -Banda Aceh dalam rangka ulang tahun Surat Kabar Harian tersebut. Aku bangga memainkan peran tersebut, karena yang menonton malam itu kebanyakan tokoh-tokoh terkemuka di Aceh dan pejabat-pejabat teras, Termasuk Gubernur Aceh, Ibrahim Hasan. Aku melihat ketika di atas pentas aku mengucapkan kata-kata Hadih Maja “ Bangai-bangai ureung Lampoh Weng, meusineuk gasaeng na lam ija”, Ibrahim Hasan (kelahiran Lampoh Weng-Aceh Pidie) dan juga penonton lain berdiri dan tertawa terkekeh-kekeh. Sementara Hasyim KS (sebagai Sutradara dan penyusun skenario) sambil menahan tawa keluar dari ruangan untuk melepaskan tawanya. Semenjak itu pula Hasyim KS banyak mengajariku tentang Hadih Maja dan bagaimana cara menyelipkannya ke dalam bentuk tulisan, naskah atau obrolan apa saja.

Semakin lama pergaulanku dengan Hasyim KS terasa bukan lagi hanya sebatas teman, sahabat dan guru, tetapi juga kami menganggap adalah sebagai hubungan keluarga, antara adik dan abang. Kami saling mengungkapkan,saling mengadu bahkan kadang-kadang sampai hal-hal pribadi.Kami saling kunjung-mengunjung antara keluarga. Saat itu Hasyim KS tinggal di rumah kontrakannya, di Gampong Pie-Ulee Lheu Banda Aceh bersama dua orang anaknya ( Boy dan Bob). Sementara isterinya yang masih bertugas di Calang –Aceh Barat setiap sebulan sekali dan tiap lebaran pulang ke Gampong Pie. Pada suatu waktu , kalau tidak salah tahun 1997, dengan Vespa miliknya kami berangkat untuk lebaran Haji di Kampungku-di Aceh Utara sambil ia mau berobat ( saat itu ia sering mengeluh karena sakit persendian yang ia anggap sebaga sakit rematik) secara tradional pada salah seorang yang juga berada di kampung itu. Hasyim KS memang orang tidak suka dengan obat-obatan kimia. Dalam perjalanan itu kami sempat jalan-jalan ke beberapa tempat di Aceh Timur. Diantaranya mengunjungi Saudara Ibuku di Simpang Ulim-Aceh Timur, mengunjungi teman-teman lamanya (semasa ia bergabung dengan Grup Sandiwara Keliling) di Idi Rayeuk, rumah Syeh Lah Geunta (juga Idi Rayeuk ) dan rumah Abangku di Lhok Nibong. Empat tahun kemudian, dengan mobil butut milikku, Hasyim KS dan juga isterinya kembali lagi mengunjungi Kampungku dalam rangka Khanduri kawin adikku yang bungsu. Dalam perjalan pulang dari Kampungku di Krueng Batee Ileik (Saat itu masih wilayah Aceh Utara) kami berhenti untuk istiharat agak lama. Katanya ia ingin mengenang masa lalu yang indah bersama Cut An (isterinya).

Tahun 1999 Hasyim KS menjabat sebagai Ketua Komite Sastra di Dewan Kesenian Aceh, menggantikan Fikar W.Eda yang saat itu bertugas ke Jakarta. Aku dilibatkan menjabat sebagai Sekretaris. Atas nama Lembaga Dewan Kesenian Aceh kami dipercayakan sebagai pelaksana acara Temu Sastrawan Se-Sumatera. Hasyim KS, aku, Doel Cp.Allisah dan Muklis A.Hamid sebagai panitia inti. Aku sejak sebelumnya sering sedikit kecewa ketika teman-teman seniman Sastra bicara atau berbuat tentang sastra yang tersentuh hanya puisi, cerpen atau lainnya yang berbau modern. Maka dalam acara Temu Sastrawan Se-Sumatera itu aku menawarkan agar Hikayat, Meutuleh Lagee, Syeh dan Syahi Seudati dan Syeh Biola Aceh dilibatkan. Dan ternyata Hasyim KS juga teman-teman lain menerima usulan tersebut.

Hampir setiap malam kami menghabiskan waktu dengan ngobrol-ngobrol di rumah kontrakannya, di Gampong Pie. Suatu ketika Hasyim KS mengungkapkan kepadaku, apabila ia sudah pensiun dari tempatnya bekerja ia ingin menetap di Calang dan membuka usaha jasa informasi kebutuhan Turis yang akan berkunjung ke sana. Dan Hasyim KS juga sering mengungkapkan bahwa masa tuanya ia ingin tinggal di Lhok Pawoh-Aceh Selatan dan harapannya kalau meninggal ia mau di sana.

Dalam tahun 2003 Hsyim KS mulai sering masuk rumah sakit. Terakhir ia berobat inap beberapa lama di rumah sakit Kesdam Banda Aceh. Dalam pengobatan itu ia sering meminta kepada keluarganya agar ia berobat saja secara tradisionanl di Kampungnya, Lhok Pawoh-Aceh Selatan. Akhirnya permintaannya di penuhi oleh keluarganya. Sebelum pulang ke Aceh Selatan ia sempat mengungkapkan kepadaku dan Maskirbi, bahwa ia ada menyimpan pada keluarganya beberapa karya tulisnya yang belum sempat diterbitkan oleh siapapun. Hasyim KS menginginkan, bahwa karyanya tersebut boleh diterbitkan oleh siapapun yang serius.

Pada bulan Januari 2004 aku sedang mengadakan kegiatan Lomba Baca Puisi TK SMU dan Lomba Hiem Se-Aceh di Taman Budaya-Banda Aceh dalam rangka Kuta Radja Art Festival. Saat itu, Malam tanggal 13 Januari 2004 acara tersebut sedang berlangsung. Sekitar pukul 21.00 WIB aku menerima kabar melalui Hand Phon dari Bob (anak laki-laki HS yang nomor dua ) di Aceh Selatan yang isinya “ Om. Ini Bob. Bapak sudah pergi tadi sore, menjelang magrib”. Lama aku terdiam. Kemudian aku berucap “ Innalillahi Wainnailalihiraji`un”. Akhirnya dalam acara tersebut, dengan dipimpin oleh Seniman Aceh, Drs. Tgk.H. Ameer Hamzah, kami berdoa untuk Almarhum Hasyim KS.

Banda Aceh, 13 Januari 2005.

Oleh: M.Yusuf Bombang.



Tidak ada komentar:

Powered By Blogger