April 11, 1994

PENCITRAAN VISUAL DALAM SAJAK DOEL CP ALLISAH

Serambi Indonesia / Minggu, 10 April 1994

Lebih dari sepuluh tahun membaca sajak-sajak Doel CP Allisah, segenap waktu pula menawarkan kenikmatan dan ketidaknikmatan sebagai menelusuri bahkan menjabarkannya dari hasil reproduksi mental si penyair. Misalnya akan ingatan masalalu yang bersifat indrawi dialbumkan dalam pustaka kata-kata yang dilahirkan dalam bentuk sajak. Sejauh mana Doel mampu mereproduksikan masalalunya, ini masih bertaut erat dengan kenikmatan dan ketidaknikmatan kita membaca sajak-sajaknya. Sebab Doel amat setia dengan ruang kontemplatif yang tenang dan hanyut.

Dalam ruang inilah ketakjuban mengalir, sarat dengan simbol-simbol dan kelana imajinatif penyair merunut sesuatu yang tampak dibanding-rasakan kedalam baris sajak.

Simak sajaknya ”Teunom” (yang bertanggal tahun 1987 di bawah judul ada titipan buat Hasyim KS dan Renggalita):

mungkin ini kali yang terakhir kita menyeberangi rakit/ yang telah menghubungkan waktu dan harapan bertahun-tahun/ atau esoknya kita kembali dalam mimpi/ tapi tidak dengan air matamu yang sakit tentunya.

Kontras sekali warna pencitraan visual dalam sajak ”Teunom” dimana simbol ’rakit’ yang mengkomunikasikan waktu dan harapan bagi penyair dalam melihat sesuatu yang meng-objek (kepada yang diperuntukkan) dengan sajak ini. Walaupun secara realita, pencitraan oleh si penyair berakhir dengan perjalanan waktu yang cukup panjang. Namun simbol tadi tidak semata dimaknakan pertemuan dan hubungan antara anak manusia, namun lenih mengalir ke ruang kontemplasi penyair dalam sebentuk ”kenangan”. Boleh jadi ada yang mensejarahkan peristiwa masalampau seperti Doel yang merekam objek tersebut dan menyimpan dalam album sajaknya. Sentuhan imaji penyair inilah, melahirkan kembali visualisasi emosi pembaca dalam bentuk pencitraan yang tenang dan menghanyutkan. Apalgi gaya Doel dalam sajak-sajaknya tampak memang tenang dengan diksi yang tidak rumit. Pembaca tidak dipersukar dengan pemilihan kata-kata, namun bukan pula cenderung ke arah puisi terang-benderang alias semacam reportase, laporan pandangan mata. Barangkala ”gumam” pun kita dalam sajaknya, masih beruntun bait-bait lain dalam benak kita sehingga mengalir tanpa terasa kita telah ber-visi sendiri kealam reproduksi penyairnya.

Coba kita berakraban kedalam sajak Doel lainnya, ”Nyanyian Angin”. Tampak yang dalam istilah persajakan Canso (cansone) nyanyian tentang keindahan dan cinta. Menghanyutkan dalam alir sajak panjang yang ditulis di Saree April 1985:

Apakah yang kau simak dari suara derai pinus/ dari sulur-sulur gelagah kering/ yang tak hentinya bergesekan….., dst….., dst.

Pada bait pertama kita diajak melihat, merasakan dan merindukan nuansa pencitraan visual penyair tentang kesepian diri yang abadi. Sebuah kesimpulan yang bersifat indrawi dan berdasarkan persepsi dan tidak selalu dimunculkan oleh penglihatan.

Oleh karenanya Doel tidak pernah luput merelevansi dirinya dengan suasana hati dalam sajak-sajaknya, meskipun dengan ekspresi emosi yang tenang sebentuk nada dalam irama degup jantung. Secara psikologi repoduksi mental dalam karya-karya Doel CP Allisah menggambarkan hal-hal imajinatif, dimana kita ketahui sajak merupakan emosi kekaguman yang bersatu dengan pikiran. Ingatan masalalu yang di ”citra” kan pada sajak ”Nyanyian Angin” misalnya, memberi kapasitas perasaan yang membuat emosi jadi sejoli dengan situasi yang digambarkan oleh penyairnya.

Kita teruskan bait sajak tersebut: apakah yang kau rasakan ketika membaca luka ini/ atau kau ingat aku yang kumal?.

Dalam bait ini kita melihat pencitraan sebagai perwujudan kembali pada indrawi sebagai tirai imajinasi yang menyeret pembaca dengan mengandalkan ingatan sensibilitas. Berhasil tidaknya penyair mengukuhkan pencitraan visual dalam karyanya, sangat tergantung pada kejeliannya dalam mengamplifikasikan situasi. Bukankah Doel sangat rajin dan ’patuh’ meromansa-kan situasi?.

Untuk membuktikan hal ini, kita diajak sibuk membaca kembali sajak-sajaknya di seputar tahun 1985, sementara sajak-sajaknya akhir-akhir ini seperti mengeluh pada keterbatasan pencitraan, namun masih dengan irama degup jantung penyairnya masih bernyanyi dalam emosi yang tenang dan menghanyutkan, sajak terakhir yang dimuat di Serambi Indonesia, ruang Budaya Minggu 27/3: (judul?-Red)

alangkah sulitnya memahami gerak dan keterbatasan waktu/ yang hilang dalam gerai senyummu/ sedang kita harus tuntaskan pergulatan/ antara dua kepentingan/ antara dua jalan bersimpang.

Layaklah kiranya keterbatasan itu kini dikeluhkan, sebab terlalu banyak yang hilang (kumal, senyum, kelana, pergulatan) makna kata yang akrab kedalam sajak-sajaknya kini jadi terasa radikal.

Keluh yang tenang dan menghanyutkan itu tampak dari lanjutan sajak tersebut: /alangkah sulitnya keadaan/ bila sekian kebijakanpun sia-sia/ sebab kecurigaan adalah kabut yang tiba-tiba siap mengapungkan kita dalam kematian musim.

Pada bait diatas seperti Doel ingin menjawab namun tersekat oleh kesadaran akan vitalitas emosi yang dipunyainya, menjadi remang dan sangat rahasia dengan kata ”kabut” simbol dari pencitraan yang tak jelas oleh indrawi mata, sehingga teraba-rasakan dengan rasa cemas.

/alangkah sulitnya/ ketika nurani larut dalam percikan ribuan warna/ dan kita lalu terkepung di dalamnya.

Dalam ruang kontemplatif yang tenang. Doel memproses keterkurungan yang melarutkan nuraninya pada pencitraan ingatan masalalu dengan berbagai ragam perasaan. Detail-detail emosi seakan lantunkan dengan nyanyian ”gumam”:

…/ seperti pengembara tak pernah berpikir/ singgah dilepau ketika senja/ tentang cinta begitu saja berlalu/… (petikan ”Sajak Nyanyian Perpisahan” dari kumpulan puisi ”Banda Aceh”).

AA.Manggeng

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger