November 27, 2009

LEKSIKON SASTRA ACEH, HANYA UPAYA SELINTAS

Judul Buku : Leksikon Sastra Aceh
Editor : Mukhlis A. Hamid dan Medri Osno
Tebal Buku : 344 + xiv
Penerbit : Dewan Kesenian Banda Aceh
Cetakan : Desember 2007

Sebuah kepatutan mendokumentasikan sejumlah nama sastrawan Aceh dan karyanya setelah gelumbang raya meluluhlantakkan tanah serambi ini. Banyak buku dan dokumen serta sejumlah data hilang bersama laot raya, sastrawan Aceh pun ada yang ikut bersama air laut surut. Sejumlah data sastra Aceh yang tersebar-sebar juga menjadi alasan mengapa harus ada sebuah dokumentasi tentang sastra dan sastrawan Aceh, salah satunya melaui buku.

Tak ada orang yang ingin karya atau miliknya ditabalkan menjadi milik orang lain. Apalagi, menjadi milik bangsa lain. Sehingga, penting mendukomentasikan yang sudah menjadi hak paten kita agar tidak “dijamah” jadi milik orang atau bangsa luar. Karenanya, upaya mendokumentasikan kembali sastrawan Aceh dan sejumlah karyanya adalah sebuah kepatutan. Itulah yang dilakukan oleh DKB lewat Leksikon Sastra Aceh (LSA). Tentunya tak terlepas dari jerih dan kerja susah sang dua editor, yang terus-menerus mengumpulkan data hingga jadilah sebuah buku.

Upaya mencatat kembali nama-nama sastrawan Aceh sebelumnya telah dilakukan oleh Lapena—sebuah lembaga kebudayaan di Banda Aceh. Hanya saja, seperti judul yang ditulis di buku seukuran majalah itu, “Selayang Pandang Sastrawan Aceh”, maka Lapena hanya membuat beberapa catatan kecil tentang biografi sastrawan Aceh dan hanya beberapa nama yang dipublis. Maka itu, barangkali Mukhlis, Medri, dan kawan-kawan di DKB merasa perlu mendokumentasikan sastra dan sastrawan Aceh dalam bentuk lebih lengkap sehingga diberi nama “Leksikon”.

Leksikon tidak jauh bergeser dari maksud kata “Leksikal”. Sederhananya dapat kita sebut sebagai kamus. Dalam sebuah leksikon dicatat sejumlah kata berdasarkan abjad lalu diberi pengertiannnya. Karena itu, makna leksikal disebut dengan makna yang sesuai dengan kamus. Artinya, leksikon adalah daftar istilah dalam suatu bidang disusun menurut abjad dan dilengkapi dengan keterangannya (KBBI, 2005).
Dapat disimpulkan bahwa LSA memuat sejumlah kosa kata dalam sastra Aceh atau sederhananya jenis-jenis sastra dan sastrawan Aceh. Sebagai sebuah leksikon, tentunya ia memuat dengan lengkap tentang jenis sastra dan satrawan Aceh sehingga dapat dijadikan sebagai lahan rujukan oleh orang lain. Pertanyaannya, apakah itu yang ada pada LSA?

Sebuah leksikon memang tidak terbatas ruang dan waktu, tetapi kumpulan leksikon dalam LSA mesti diberi penegasan bahwa yang dapat dirangkum hanya sebatas atau setingkat apa. Saya katakan demikian, sebab saya menemukan ada beberapa catatan tentang sastra dan sastrawan Aceh yang tidak dimasukkan dalam LSA. Saya tidak tahu, apa alasannya. Yang jelas, catatan tentang sastra dan sastrawan Aceh dalam LSA tercantum sejak periode sastra tahun 1660-an (misal: Abdurrauf Singkel) hingga periode satra Aceh pascatsunami (misal: Seulusoh, novel terbitan 2007).

Melihat upaya pengumpulan data kesastraan Aceh dalam LSA, yang tercatat sejak abad penjajahan hingga pascastunami didokumentasikan dalam LSA, patut kita beri acungan jempol kepada editor. Tentunya upaya dan usaha pengumpulan itu mengalami jalan panjang. Mesti membolak-balik data yang pernah ada dan mesti mencari lagi dari mulut ke mulut. Sepengetahuan saya, upaya pencarian itu sampai disebarkan ke milis-milis dan email beberapa orang seniman/ sastrawan Aceh untuk diminta biodatanya. Karena itu, data terbaru (terbitan 2007) masih dapat didokumenkan dalam LSA.

Sayangnya, LSA terkesan mengambil data terbaru hanya pada satu lembaga. Coba perhatikan: Seulusoh (2007), Dandelion (2007), Luka Poma (2007), Nyanyian Manusia (2006), Surat Dari Negeri Tak Bertuan (2006), Pada Tikungan Berikutnya (2006). Semua buku-buku itu adalah terbitan terbaru yang sebagian besar diterbitkan oleh sebuah lembaga kebudayaan di Banda Aceh. Artinya, LSA berupaya menyajikan data terbaru kesastraan Aceh, tapi hanya bersumber pada satu lembaga. Anehnya, Luka Poma (LP) disebutkan dalam LSA, sementara 10 buku lainnya yang sekalian diterbitkan dengan LP tidak masuk. Kemana disisipkan Nyanyian Miris (puisi Doel CP), Haba Angen Pot (syair Maskirbi) dan yang lainnya, yang diterbitkan sekaligus dengan Luka Poma? Jika memang data-data terbaru (tahun 2007) mampu didapatkan, mengapa tidak ada pembaruan data yang sudah ada? Tak perlu banyak contoh, Mustafa A. Glanggang salah satunya. Data yang ada dalam LSA tentang Glanggang masih data lama. Di sana disebutkan Glangang masih sebagai Bupati Bireuen. Padahal, dia setahun lebih menjadi mantan bupati. Terkesan sangat LSA menjalin kedekatan ‘intim’ dengan sebuah lembaga atau sekelompok orang semata sehingga ada beberapa teman dekat terlewatkan dari database LSA.

Keanehan selanjutnya, ketika penulis pascatunami seperti Ferhat terdapat di sana, kemana pula teman-teman sejawatnya seperti Fardelin Hacky Irawani dan Alimuddin yang sampai sekarang masih produktif menulis di berbagai media cetak? Yang paling amat disayangkan adalah ketika ada sastrawan Aceh angkatan 1990-an juga tidak diikutsertakan dalam LSA. Apakah dia dieliminiasi? (Seperti buku pemenang lomba saja). Sebut saja salah satunya Hilmi Hasballah yang saat ini tercatat sebagai wartawan Serambi Indonesia biro Meulaboh. Tahun 2007, karya Hilmi diterbitkan oleh ASA. Namun, baik karya maupun nama dia sebagai salah satu penyair Aceh tidak dicantumkan dalam LSA. Padahal, Hilmi juga tercatat sebagai salah seorang penerima award kebudayaan Aceh tahun 2007 lalu, bersama Mohd. Harun, D.Kemalawati, dan lainnya. Sungguh sayang, sebuah leksikon harus ditemukan fakta seperti ini.

Karena itu, alangkah baiknya leksikon itu diperbaharui atau diterbitkan dalam edisi berikutnya dengan memperbaharui data yang sudah ada. Penting memperbaharui data yang sudah ada, sebab saya amati LSA hanya memuat data-data lama. Terkesan ‘dikopi-paste’ dari data zaman 2000-2004 semata sehingga ada data yang baru (pascatsunami), tapi tidak disebutkan, kecuali beberapa buku di atas.

Selanjutnya, sebagai sebuah leksikon sastra yang kesenian juga termasuk di dalamnya, penting memuat jenis-jenis alat musik tradisional Aceh, seperti rapa-i, seurunee kalé, dan lain-lain. Jangan sampai milik-milik Aceh ini dicap menjadi milik bangsa luar. Pasalnya, dalam LSA saya amati ada seudati dan didong sebagai kesenian Aceh. Sayangnya, jenis kesenian seperti ranub lampuan, likok pulo, rapa-i daboh, rapa-i geleng, dan sejenisnya tidak ada, padahal saman disebutkan. Yang terkahir, patut ditanyakan, mengapa biodata editornya tidak ikut ditulis, sedangkan ia membeberkan biodata orang lain. Apakah editornya termasuk dari sekian yang dieliminasi dari leksikon sastra Aceh, seperti beberapa orang tadi?

Terlepas dari semua itu, LSA sebagai upaya pendokumentasian sastra dan sastrawan Aceh patut diberi acungan jempol. Anggap saja ini upaya memulai dan menjaga milik Aceh. Sembari berharap ada perbaikan ke depan, mari memilikinya, untuk pustaka umum atau pribadi, simpan di tempat yang tinggi agar tak terjangkau lagi oleh tsunami.

Diulas oleh: Herman RN, penulis dan peminat sastra

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger