November 22, 2009

MEMBACA PUISI MEMBACA SENI MEMBUKA JENDELA HATI NURANI

WWW.ESASTERAWAN.NET

Dato’ Dr Ahmad Kamal Abdullah - Kemala Sarjana Tamu Universiti Putra Malaysia dato_kemala@yahoo.com

1
Membaca puisi yang dapat menyentuh hati nurani itu, seolah memperoleh Cinta sahih yang membahagiakan. Ia menjadi sahabat seakrab Rumi dengan Shams at-Tabrizi. Atau seperti Hafez yang menantikan bayangan kekasihnya muncul di hadapan jendela menyambut roti yang dipesan.

Semenjak empat dekad yang lalu, inilah yang membuat saya bahagia dengan segugus puisi Rumi, Hafez, Amir Hamzah, Iqbal, Tagore, T.S. Eliot, Pablo Neruda, Chairil Anwar dan Usman Awang. Kebahagiaan itu muncul walaupun dalam saat-saat saya luka dan merintih dalam percintaan.

Tuhan memberikan anugerah yang besar kepada hamba-Nya sang penyair itu, menjadi penyair (dan bukan sebagai presiden) mampu menggilap kata demi kata, menyusun metafora demi metafora menyempurnakan keajaiban imaginasi sehingga mengharmonis dalam stanza demi stanza lalu menimbulkan amsal-amsal yang mekar.

Ungkapan dalam jalinan yang puitis itu kadang waktu dapat menitiskan air mataku atau melonjakkan semacam kegembiraan batiniah. Hal yang sama kemudiannya bukan tidak selalu, dialami secara peribadi apabila sesudah menghasilkan atau sedang menuliskan baris demi baris puisi. Saya mengalami ini waktu menuliskan Meditasi (1972), ‘Ayn (1983), Pelabuhan Putih (1989), Titir Zikir (1995), MIM (1999) dan Ziarah Tanah Kudup (2006).

II
Tentulah bukan hanya kerana bakat berbahasa sahaja yang dipunyai oleh Rumi, Hafez dan Tagore. Keluarbiasaan momentum yang mereka alami secara lahiri dan batini . Apa yang dapat dilihat oleh “kebistarian” kepenyairan mereka di sebalik sana yang memang menjadi hadiah dari Ilahi. Sebagai penyair atau pujangga ataupun sufi besar tazkiyyah an-nafs mereka tentu mengalami peringkat yang tinggi. Apalagi makam kepasrahan mereka kepada al-Khaliq sudah menggenggam makam Sabar, Faqir, Tawakal, Cinta dan Redho. Keindahan puisi atau qasidah atau masnawinya terjalin bagus bagai anyaman lagu qasidah yang ikut dinyanyikan oleh para pengikutnya yang setia. Rumi menukilkan: Karamlah aku di dalam rindu Mencari Dia, mendekati Dia Dan telah tenggelam pula Nenekku dulu; dan yang kemudian Mengikut pula. - Kalau kukatakan bibirnya Itulah ibarat dari bibir pantai lautan Yang luas tak tentu tepinya Dan jika aku katakana LAA Tujuku ilah ILLA “Aku bukan tertarik oleh huruf Dan oleh suarapun bukan; makin Jauh di belakang dari yang didengar Dan difaham Apa huruf, apa suara Apa guna kau fikirkan itu Itu hanya duri, yang menyangkut kakimu Di pintu gerbang Taman indah itu Kuhapuskan kata, dan huruf dan suara Dan aku langsung menuju Engkau” (‘Ishq) Hafiz al-Shirazi menulis memujuk hatinya agar sedar akan cinta agung al-Khaliq, betapa pun dia dirundung putus percintaan degan kekasihnya, tetapi Kekasih Abadi tetap hadir: Tuhanlah yang tahu, betapa penderitaan kita lantaran Mencintai Dia. Penderitaan dan Kerinduan, lama terpisah dari Dia; Janganlah berduka. Ayuhai hatiku; jika besar gelombang menderu dalam lautanmu, Akan datanglah perahu Nabi Nuh menjemput engkau; Janganlah berduka. Tempat ini memang menakutkan, Dan tanah daratan masih jauh. Tetapi itu takkan lama, sebentar alampun cerah; Janganlah berduka. Hafiz! Meskipun kau ini miskin, Dan malammu gelap gulita semata. Selama engkau masih menyeru Nama-Nya, Dan Quran di tanganmu; Janganlah berduka. (Perjumpaan Semalam) Jika Rumi menulis ‘Ishq, Hamzah Fansuri juga menyentuh detik merindui Ilahi ini dalam syairnya yang berikut: Jika kau sungguh asyik mabuk Memakai candi pergi menjaluk Ku dalam pagar supaya kau masuk Barang ghairallah sekaliannya amuk Tiada kau tahu akan agamamu Terlalu ghurur dengan hartamu Nafsu dan shahwat daim sertamu Asyik dan mabuk bukan kerjamu Hamzah miskin hina dan karam Bermain mata dengan Rabbul Alam Selamanya sangat terlalu dalam Seperti mayat sudah tertanam. Hempaskan akan dan rasamu Lenyapkan badan dan nyawamu Pejamkan hendak dua matamu Di sana lihat peri rupamu. Hamzah miskin orang Uryani Seperti Ismail jadi qurbani Bukannya ‘ajam dan ‘arabi Nantiasa wasil dengan yang baqi (Ruba’i Hamzah Fansuri) Muhammad Iqbal menautkan masalah sains duniawi dengan persoalan rohaniah, masyarakat Islam di zaman mutakhir. Antara tawhid dan ibadah dan berlumba-lumba mengisi dada dengan ilmu pengetahuan adalah menjadi tuntutan ad-din, dan apabila semuanya sirna, namun Allah wujud Abadi: Apakah organisasi sosial, adat dan undang-undang? Apakah rahsia keganjilan sains? Kehendak yang menimbulkan dirinya dengan kekuatannya sendiri Dan meluru keluar dari hati dan mengadakan rupanya. Hidung, tangan, otak, mata dan telinga Begitu juga khayalan, perasaan, ingatan dan fahaman, Semua itu adalah senjata disediakan oleh Hidup untuk memelihara diri. Dalam perjuangannya tanpa henti-henti Matlamat sains dan kesenian bukanlah ilmu, Matlamat taman bukanlah kuntum dan bunganya, Sains adalah alat untuk memelihara Hidup. Sains adalah alat untuk menggegarkan diri, Sains dan kesenian adalah hamba Hidup. Hamba yang lahir dan beranak-pinak dalam rumahnya. Bangun, wahai anda yang tidak tahu rahsia hidup, Bangun mabuk dengan serbat cita-cita (ideal) Cita-cita bersinar seperti fajar sidik, Api yang membakar kepada semua yang lain dari Allah. (Menunjukkan Bahawa Hidup Diri Itu Datang Dari Pembentukan Cita-cita dan Menzahirkannya)

111 
Dalam perkembangan puisi Nusantara mutakhir, penyair besarnya tidak lepas daripada menghirup suasana yang relijius , membawa suara batiniah yang murni memberikan sentuhan seni yang murni dengan membukakan jendela hati nurani. Amir Hamzah, Chairil Anwar, Usman Awang, Masuri S.N, Yahya M.S, Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damaono, Taufiq Ismail dan Abdul Hadi W.M (sebagai contoh): Amir Hamzah menyatakan C (c)inta kepada Yang Esa tak berbelah-bahagi. Ungkap Amir: 
CINTA Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita kekasihku? Dengan senja sepoi, pada masa purnama meningkat naik, Setelah menghalaukan panas payah terik. Angin malam mengembus lemah, menyejuk badani, melambung R(r)asa, menayang pikir,membawa angan ke bawah kursimu. Hatiku terang, menerima katamu, bagai bintang memasang Lilinnya. Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap malam menyirak kelopak. Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku Dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu! Hubungan yang horizontal dan vertikal bagi insan cuba dihayati Usman Awang melalui ibadah gadis buta yang asyik mengalunkan ayat-ayat suci di majlis Khatamul Qur’an. Jika Amir merasakan melalui pengalaman peribadinya, tetapi Usman dengan inderanya merasa situasi yang khusyuk itu melalui ayat-ayat suci yang dialunkan oleh gadis buta. Dari sudut kemanusiaan atau keinsanan pun kita boleh merasakan suasana yang relijius (religi) itu, kata Usman: Semakin malam lagu Tuhan dari bibir sorga (Gadis buta melanjutkan khatam bulan puasa) Membawa para malaikat menjengah dada manusia Hidup yang damai dari keyakinan dan cinta Berdetiklah di hati, meski manusia paling ganas sekali. Suara yang manis dalam bisik daun-daun Gadis cacat dan ayat suci beralun Meski tidak melihat, malah itulah pula Kesuciannya sorga hidup perdamaian manusia Berdetiklah di hati, meski manusia paling ganas sekali. (Gelombang 1961:80-81) Amir Hamzah mengungkapkan dengan syahdunya “dengan apakah kubandingkan pertemuan kita kekasihku?” Sedangkan Usman membayangkan “semakin malam lagu Tuhan dari syurga”. Amir sudah berkomunikasi dengan Tuhannya apabila merasakan “Kalbuku terbuka menunggu kasihmu bagai sedap malam menyirak kelopak” Usman menghubungkan kepada fungsi kemanusiaan yang luas “Kesuciannya sorga hidup perdamaian manusia” walaupun “berdetiklah di hati, meski manusia paling ganas sekali.” Apakah fungsi seni kepada kehidupan? Tokoh seperti Usman dan Masuri S.N komponennya dalam Angkatan Sasterawan 50, selalu mempunyai kesedaran itu. Seni sastera (wajar) dapat dimanfaatkan untuk masyarakat terbanyak. Kita dapat melihat esensi daripada “Ini Nasi yang Ku Suap” Masuri S.N: 
INI NASI YANG KUSUAP Ini nasi yang kusuap pernah sekali menjadi padi harap, melentok dipuput angin pokoknya kerap tenang berisi tunduk menatap. Ini butir nasi yang kukunyah, Sedang kutelan melalui tekak basah, Jadi dari darah mengalir Dalam badan gerak berahir. Angin kencang mentari khatulistiwa Membakar raga petani di sawah Panas hujan dan tenaga masuk kira Dan nasi yang kusuap campuran dari semua. Ini budi yang kusambut Pemberian lumrah beranting dan bertaut, Ini nasi hasil dari kerja Kembali pada siapa yang patut menerima. Jadi yang kumakan bukan berasal dari nasi Tapi peluh, darah dalam isi mengalir pasti, Jadi yang kutelan bukan berasal dari padi Tapi dari urat dari nadi seluruh pak tani. (Puisi Baharu Melayu 1966:22) Seni Untuk Masyarakat, Seni Untuk Kemanusiaan, Seni yang Universal Humanisme dan Seni Untuk Ta’abudi kepada Ilahi selalu hadir dalam puisi di Nusantara. Puisi-puisi Chairil Anwar bicara tentang kemanusiaan menyentuh tentang dirinya, Tuti Artic, Diponegoro, Kepada Pelukis Affandi, Kepada Angkatanku, Mirat, Basuki Resobowo, Gadis Rasyid, Nyonya N, Buat K, Buat Sri Ayati, Kepada Penyair Bohang, walaupun secara psikiknya itu pengalaman Chairil, namun sentuhannya adalah sentuhan kemanusiaan untuk renungan kehidupan yang ada hubungannya dengan masalah horizontal dan vertikal. Puisi berikut menjadi contoh pencarian yang ditemui penyair, menemukan suara nuraninya yang terlindung selama ini: DOA -Kepada Pemeluk teguh Tuhanku Dalam termangu Aku masih menyebut namaMu. Biar susah sungguh Mengingat Kau penuh seluruh CayaMu panas suci Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi Tuhanku Aku hilang bentuk Remuk Tuhanku Aku mengembara di negeri asing Tuhanku Di pintuMu aku mengetuk Aku tidak bisa berpaling. (The Complete Poems of Chairil Anwar 1974:67) 
DALAM KERETA Dalam kereta. Hujan menebal jendela. Semarang, Solo.....makin dekat saja Menangkup senja. Menguak purnama, Caya menyayat mulut dan mata. Menjengking kereta. Menjengking jiwa. Sayatan terus ke dada. (Ibid. 69) Daya ekonomik Chairil dilanjutkan Rendra dalam “Stanza”, mulai simbolis dan memberikan kita teka-teki yang indah. Puisi tidak hanya polos, misterinya juga bagai misteri kejadian alam Tuhan sendiri. Planetnya yang sentiasa menarik para saintis dan penyair untuk meneliti dan menyairkannya, Rendra merakam: 
STANZA Ada burung dua, jantan dan betina Hinggap di dahan Ada daun dua, tidak jantan tidak betina Gugur di dahan. Ada angin dan kapuk, dua-dua sudah tua Pergi ke selatan. Ada burung,daun,kapuk,angin dan mungkin juga debu Mengendap dalam nyanyiku 
(ANTOLOGIA DE POETICAS, 2008:218) Taufiq Ismail seolah memberikan makna puisi kepada kepenyairannya, dengan amat komunikatif sekali. Nah, beliau juga menyebutkan hubungannya dengan yang di vertikal itu “Keabadian Yang Akan Datang”. Hati Nuraninya sudah siap-sedia untuk masuk ke alam ghaib itu. Di dunia puisinya mewarnai fungsi untuk kemanusiaan dan tamadun, tetapi hidup di alam akhirat juga ditata: 
DENGAN PUISI, AKU Dengan puisi aku bernyanyi Sampai senja umurku nanti Dengan puisi aku bercinta Berbatas cakrawala Dengan puisi aku mengenang Keabadian Yang Akan Datang Dengan puisi aku menangis Jarum waktu bila kejam mengiris Dengan puisi aku mengutuk Nafas zaman yang busuk Dengan puisi aku berdoa Perkenankanlah kiranya. (Ibid.216) Isyarat untuk tidak berlebih-lebihan dalam pengucapan atau ekspresi itu tetapi berjaya diajukan oleh Sapardi Djoko Damono dalam “Aku Ingin”: aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada (Ibid., 223) Sehubungan itu, Abdul Hadi W.M. dengan relijius membawakan “Doa”, kenyataan yang real tetapi ada kaitannya dengan Kuasa di Alam Ghaib itu sendiri, the Supreme Power, the elmighty: 
DOA Kalau ada yang mengulurkan kenyang dari perut nasi Hingga enyah lapar ini, Kaulah tangan itu Kalau ada kenyang yang meliputi nasi hingga tergerak tangan Ini membukanya, Kaulah kenyang itu Kalau ada nasi yang kembali jiwa lapar hingga Bangkit kekuatan tangan ini, Kaulah nasi itu. Tapi kalau ada lapar yang bergerak menggeliat merebut nasi Untuk sekedar kenyang hingga tergoncang seluruh bumi Kaulah air mata ini. Amin. (Ibid. 230) Rasa tawaduk Abdul Hadi WM tentang “nasi” dan kehidupan, sudah dimulai oleh Masuri S.N dalam “Ini Nasi Yang Kusuap”. Bezanya Masuri terus bercakap tentang hutang budi dan sanjungannya kepada para petani yang berjasa, keringat dan air mata (air mata) tetapi Abdul Hadi meresapkan kuasa di sebalik sana, kuasa al-Kamal Ilahiah secara mistikal dengan menghemat kata dan menipiskan ekspresi yang polos dengan amsal-amsal dalam bait. Hal ini bukanlah mudah. Ini akan dapat diungkapkan HANYA melalui pengalaman panjang dan dengan sedikit kesabaran. Samalah juga halnya seperti kesedaran tradisi “Mantera” Sutardji menjelmakan kesedaran relijius apabila dia mengungkapkan dengan mesra: Lima percik mawar Tujuh sayap merpati Sesayat langit perih Dicabik puncak gunung Sebelas duri sepi Dalam dupa rupa Tiga menyan luka Mengasapi duka Puah! Kau jadi Kau! Kasihku. (Ibid.302) Pada hemat saya ada percubaan-percubaan yang meyakinkan sudah wujud dalam puisi penyair Nusantara mutakhir. Ini saya dasarkan pada dua buku 

ANTOLOGIA DE POETICAS (ADP) (2008) dan Antologi Musibah Gempa Padang (2009). Antologi pertama memuatkan puisi-puisi penyair Indonesia dan Malaysia dengan terjemahan dalam bahasa Portugis. Manakala antologi MGP memuatkan puisi penyair Indonesia, Malaysia dan Singapura. Selain puisi A.Samad Said, Usman Awang, Taufiq Ismail, Kemala, Sapardi Djoko Damono, Muhammad Haji Salleh, Baha Zain, Abdul Hadi WM dan Sutardji Calzoum Bachri ADP diterbitkan juga puisi dari penyair generasi baru seperti Acep Zamzam Noor, Sony Farid Maulana, Fatin Hamama, Rieke Dyah Pitaloka, Amien Wingsatalaja, Moh. Wan Anwar, Jamal D. Rahman, Aslan Abidin, Cecep Syamsul Hari, Fikar W. Eda, D. Kemalawati, Gus TF Sakai, Dorothea Rosa Herliany, manakala Malaysia muncul penyair generasi baru seperti Moehctar Awang, Siti Zainon Ismail, Lim Swee Tin, Marsli N.O., Zaen Kasturi, Hasyuda Abadi dan Rahimidin Zahari. Antologi MGP menembungkan A Rahim Qahhar, Asep Sambodja, Rini Asmoro, Ahmad Najiullah Thaib, Kardy Syaid, Budhi Setyawan, Yo Sugianto, Kirana Kejora, Yayan Triyansayah, Sarah Sarena, Jack Efendi, A. Rahman elHakim, Abdullah Khusairi, Badrul Munir Chair, Rama Prabu, Viddy AD Daery, Sepri Handayani, Amien Wangsitalaja, Doel CP Allisah, Harsandi Nugraha, Kartika Kusworatri, Putri Pratama, Emmy Marthala, Silfi Hanani, Fitri Susila,Mokhtar Rahman, ratnaputri2, Benny Tjundawan, Indah ip, Muhammad Subhan, Pringadi Abdi Surya, Maulina Muzirwan, Happy Muslim, Zera, Jun An Nizami, Mimin, Anugrah Roby Syahputra, Fitriani Um Salva, Dwi Mita Yulianti, Zainal aka, Zahrul Bawady M.Daud (Indonesia). Malaysia diwakili Kemala, Akmal Jiwa, Airiel Uzayr, Hasyuda Abadi, Ramlan Abdul Wahab, Haizir Othman, Raja Rajeswari, Nilamsuri, Eziz Shukman, Kerisakti, Ahkarim, abdullahjones, Zek Marman, Ms. Mokhtar, Hasimah Haron, N. Faizal, Musalmah Mesra, Mohd Dahri Zakaria, AzmiRahman, Kalamutiara, Mokhtar Rahman, Yajuk, Lim Swee Tin, Haniff Romainoor, Teratakerapung, Wan Nur-Iliyani Wan Abu Bakar, An Bakri, Haimi Yahya & Fairuz Sulaiman, HMS Abu Bakar, dan Irwan Abu Bakar. Oleh sebab deretan penyairnya panjang, saya ingin memetik ungkapan mereka yang pada hemat saya istimewa, puitis dan asli di samping pengucapan mereka yang bersahaja tetapi meninggalkan kesan yang Indah dengan lapis makna yang dalam – yakni percubaan mengungkap rasa dari hati nurani mereka yang setulusnya. Saya memungut secara spontan: Siapa bilang cintaku putih? Mungkin abu Atau mungkin segelap hidupku (Moh. Wan Anwar) Kau menggali lukaku Sedalam sungai kenangan (Amien Wangsitalaja) Menanam intifada dalam gemuruh luka Semakin kutekan, semakin membisik (Fatin Hamama) Kisah negeri terjal: Bunga di atas batu Lakon lembah kekal Dibuai waktu (Sitor Situmorang) Laut talam emas Bergegas Menyampaikan kabar pada kerabat Bahwa Isteriku sudah berani mandi di tepian pantai Vinaroz. (Ramadhan KH) Semua orang memetik mawar Biar aku saja memetik senyummu yang ramah (Fakhrunnas ma Jabbar) Seperti kita tak pernah paham bahwa membakar Kemarau tak akan melahirkan bara, melainkan Bola-bola salju. (Jamal D. Rahman) Di sisiku kau berdiri dalam terik matahari sesudah Fajar – di kakimu, nasib. Di kepalamu, takdir. Di lubuk sukmamu, bermukim karang Dari tujuh samudera... (Zaen Kasturi) Hidungnya di pinggul Matanya di dada Telinganya di pusar Mulutnya diperut Dan otaknya dilutut. (Marsli NO) Tetapi akulah rumput bumi yang tumbuh Antara semerbak mawar dan desis ular. (Rahimidin Zahari) Di malam ini kita gigil bersama Dan jutaan jarum tajam turun dari langit (Baha Zain) Aku mahu jejenang tingkapku Dilalui angin lembah Kayu tiangnya semegah cengal di hutan (Muhammad Haji Salleh) Pertanyaan menggenang menjadi laut, dan Nelayan mengailnya satu satu; di mana daratan dan mana Dataran, akupun menari; menarikan langit (Radhar Panca Dahana) IV Daripada antologi Musibah Gempa Padang saya perturunkan beberapa puisi yang saya kira mewakili para penyair di dalamnya: 
SEPERTI SUNYI...SEPERTI KELABU KAIN KAFANMU Seperti kelmarin , ketika pedati melewati kota kita kau ingin sekali menaikinya “aku ingin berkelana ke surga” katamu Seperti saat ini, saat aku menatap bangkaimu, yang remuk tertimpa batu lalu aku tersuruk seperti sunyi di barzahmu Badrul Munir Chair 
AKU ADA DI LANTAI TIGA Goncangan hebat itu aku lalap di lantai tiga dengan khidmat Segala kepasrahan lunas tak kurang dari tiga menit Setelah kenyang aku berkemas sebab angka kematian merambat keluar Izazul zilatil ardu zil zalaha semua telah berguncang di lantai tiga aku retak Abdullah Khusairi Gelegak 7, 6 Bumi bergegar, melenggang, mengguncang laut mabuk mencambuk karang tajam manusia terketar kaku, kelu terdiam gelap pekat merundung ranah Minangku.. Merak kuncup sayap “angkara apa ini?” sarang ranap dalam badai gelas arak bersepai gelinding menghentak dinding berlian, mutiara, wang dan keangkuhan sekedip mata ditelan bumi. Emmy Marthala Pariaman Inikah tanda-tandamu, yang lupa kami baca? afala ta’qilun, afala tatafakkarun kami dhoif, sombong dan lupa diri kembalikan roh kami ke harkatnya nyalakan ikhlas di hati hidupkan taqwa yg terlalai! hanya padanya kita berserah diri. Kardy Syaid 
MEMBACA BAHASA SEMESTA Duka memanjang dari telanjang padang memanjangkan akal insani. Air mata meluruh dari hampa melimpah meluruhkan angkuh batini. Harapan meruntuh dari tubuh luluh meruntuhkan gelojoh naluri. Hayat terangkat dari musibah singkat mengangkatkan kesumat duniawi. Aku memetik muhasabah menjadi basah dan pasrah dalam singgah sebuah musibah merah! Raja Rajeswari Seetha Raman 
GEGAR GEMPA, DERITA DUGA, LUKA LAKNAT Aku berdiri di padang lapang luas terbentang di depan tuhan musibah di padang jelas terpampang di daulah pinjaman ada derita tuhan menduga, ada luka tuhan melaknat ini takdir buat hambanya, dal;am rencana-nya pasrahlah tuan. Irwan Abu Bakar 
TERSEBAB OLEH KAF DAN NUN Tersebab oleh kaf dan nun orang-orang mencatat luka sejarah terayun-ayun. Jalan raya terbelah dua longsor mengubur desa rumah leluhur terkubur lumpur gedung bertingkat runtuh berlipat ninikmamak ngucap tergamak padusi terhimpit tulang besi murid tengah belajar terjepit santri sedang berzikir terjungkir hewan ternak mati tegak. Seribu jiwa meregang sibirin tulang hangus terpanggang ulat-ulat menggeliat nyelinap di kantung mayat. Jangan terka ini musibah purba atau teka-teki alam semata ini rekayasa dia tersebab oleh kaf dan nun jadilah: kun! Tersebab oleh kun orang mencatat duka berkurun-kurun A Rahim Qahhar 
NISAN BENTANG MASA DEPAN Nisan tua mungkin esok atau lusa kita kan berdamping mesra karena pupus masti ada hak dan Tuhan membukti adil di tarikan nafas kehidupan tak ada yang lewat dari batas pusara di sana, di sana masa depan diretas tetas Rama Prabu K e s i m p u l a n Nusantara melahirkan tiga ikon Chairil (Indonesia) Usman Awang (Malaysia) dan Masuri di Singapura. Selepasnya penyair berbobot lahir. Generasi baru belajar dari tradisi yang sudah dimantapkan oleh mereka. Antara tradisi dan moden bertemu seperti pertemuan gelora lahiriah sosio-ekonomi-politik membuak dengan globalisasi namun direduptenangkan oleh akar akidah dan rohaniah. Mereka mendengar suara halus rohaniah, kadang waktu suara mereka menyongsong ribut dan taufan seperti “1943” Chairil Anwar, membahana bagai “Paman Doblang” Rendra, dan kadang kali mereka seredup Sapardi dalam “Aku Ingin” atau sesufistik Abdul Hadi WM dalam “Tuhan, Kita Begitu Dekat” tetapi nyatalah mereka sedar bahawa yang mereka nukil adalah suara dalaman kalbu yang penuh berseni, marahnya sudah ditapis, mimpinya sudah menemukan diksi-diksi yang berlambang, personifikasinya segar asli, metaforanya memancarkan keindahan yang Nusantara. Di manakah sesungguhnya mereka berdiri dalam tazkiyah al-nafsnya itu? Bagi saya sekurang-kurangnya mereka berdiri di takah antara mulhamah dan muthmainnah, dengan begitu adalah upayanya membisik halus dan mengangkat doa kepada al-Khaliq: 
TUHANKU, CUKUPLAH. Benarkah ini untuk kami ibu, ayah di mana kalian... dalam debu dan runtuhan kami menunggu dalam sedusedan Tuhanku, cukuplah. Kami bayi-bayi suci, putih bersih guncangan kiamat ini cukuplah, tak kuat kami menanggung derita siang kemarau, malam membeku tubuh kami membiru. Tuhanku, cukuplah, cukuplah. Maulina Muzirwan

RUJUKAN AHMAD KAMAL ABDULLAH. 2000. ‘SIMBOLISME DALAM PUISI ISLAM DI MALAYSIA 1970- 1990”, disertasi doktor falsafah, jabatan persuratan melayu, ukm, bangi selangor, darul ehsan. ahmad kamal abdullah, 2009. ed. musibah gempa padang. kuala lumpur: Masjid abdul rahman bin auf. IRMLER, MARIA EMILIA & Danny susanto, ed. 2008. antologia de poetica.. Jakarta: Gramedia. disampaikan pada pertemuan penyair nusantara 2009, anjuran persatuan pen ulis nasional malaysia (pena), dewan bahasa dan pustaka pada 20-22 november 2009, kuala lumpur malaysia

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger