Oleh : Hamdani Mulya
Ternyata sastra semakin anggun dan semakin di udara di hamparan Hamzah Fansuri. Demikian juga bagi komonitas Gelanggan Mahasiswa Sastra Indonesia (Gemasastrin) FKIP, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Gairah bersastra semakin antusias bagi warga Gemasastrin ini. Melalui majalah online lewat situs (web) karya-karya sastrawan muda berbakat sangat memikat hati dan mendapat perhatian khusus di hati para pembaca. Banyak orang kagum ketika membuka web (milis) Gemasastrin dan membaca beberapa karya anak muda yang patut di acungkan jempol. Diantaranya adalah Herman RN alumni warga Gemasastrin dan wartawan Harian Aceh menduduki posisi penting dalam ikon blantika sastra Indonesia di kota Banda Aceh. Untuk katagori puisi dan rubrik budaya. Selain Herman RN ada juga nama lain dalam ikon tulisan kreativ sastra dan opini pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah. Beliau adalah Drs Mukhlis A. Hamid, MS pakar Bahasa dan Sastra kondang dari Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah (PBSID), FKIP, Unsyiah. Selain artikel sastra dan budaya juga ada beberapa artikel bahasa yang ditulis oleh Azwardi, S.Pd., M.Hum dan Dra. Rostina Taib, M.Hum. Kiranya sangat layak untuk diberikan penghargaan.
Namun, yang menjadi catatan harian kita adalah untuk genre puisi yang sering disebut-sebut cuma penulis itu-itu saja. Misalnya Nyanyian Miris karya Doel CP Allisah. Padahal masih banyak antologi puisi lainnya yang kiranya layak ditulis dalam sebuah resensi buku. Bidang cerpen yang sering dibicarakan adalah karya sastrawan wajah lama seperti Musmarwan Abdullah, Fahrizal Sikumbang, Naharuddin, dll. Dalam resensi cerpen Sastra dalam lintas Sejarah Konflik Aceh oleh: Drs.Mukhlis A. Hamid, MS. Nama cerpenis yang terakhir disebutkan saya dengar kabar sudah meninggal alias almarhum. Tetapi, bukan karena tsunami yang telah menyapu Aceh. Bukan juga karena konfliks yang berkecamuk. Melainkan Naharuddin meninggal karena sakit. Kabar kepergian Naharuddin saya dengar dari kawan saya Subhayni dosen PBSID waktu saya berkunjung ke kantor Jurusan PBSID, FKIP, dan kabar dari Herman RN waktu saya datang ke redaksi Harian Aceh. Dalam rangka silaturrahmi alumni dan studi tour sastra pada awal Januari 2009. Dalam kesempatan ini saya mendapat hadiah 2 buah buku Menulis Ilmiah dan Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi dari 2 pengarang Aceh Azwardi, S.Pd., M.Hum dan Drs. Teuku Alamsyah, M.Pd. Mengenai meninggalnya cerpenis Naharuddin asal Aceh Selatan itu belum pasti kebenarannya, karena beritanya tidak akurat. Demikian pun belum ada media massa yang memberitakan kematian Naharuddin.
Kembali dalam pembicaraan resensi. Saya sebenarnya sangat rindu akan sebuah antologi yang entah dimana sekarang keberadaanya. Antologi buah hati saya Dalam Beku Waktu yang jarang mendapat perhatian pengamat sastra. Berisikan kumpulan puisi 23 penyair Aceh. Selebihnya adalah berisikan lukisan Mahdi Abdullah dan gambar pelukis Aceh lainnya. Saat peluncuran Dalam Beku Waktu pertengahan tahun 2003 sebelum Aceh diluluhlantakkan tsunami saya diberikan 3 buah Buku. Satu buah saya sumbangkan untuk pustaka Gemasastrin, satu buah buat kawan saya mahasiswa teknik Unsyiah, satu lagi buat pribadi saya. Namun, karena saat itu Aceh dilanda konflik GAM-RI, antologi puisi Dalam Beku Waktu saya titip kepada kawan saya satu cost di Kawasan Darussalam, Banda Aceh. Saya takut membawa pulang Dalam Beku Waktu ke Lhokseumawe, karena di dalam antologi ini memuat puisi protes penyair mewakili rakyat Aceh kepada pemerintah RI. Puisi yang paling saya takutkan dalam buku ini adalah Ode Buat Tgk Bantaqiah karya penyair Din Saja. Jadi sampai hari ini saya tidak pernah melihat lagi Dalam Beku Waktu, karena tidak ada arsip. Terkhir saya baca di Perpustakaan Daerah Aceh di Lamnyong. Untuk selanjutnya saya tidak tahu kabar. Mungkin saja telah di apresiasikan oleh tsunami mengingat Perpustakan Daerah bagian dari amuk stunami. Apakah karena alasan buku yang langka tersebut maka buku ini kurang mendapat perhatian pengamat dan kritikus sastra.
Pada awal pra cetak dalam Beku Waktu ingin diberi judul “Lolong Dalam Beku Waktu”. Kemudian penyair Hasbi Burman “Presiden Rex” protes, “Penyair bukan anjing yang melolong”, katanya. Lalu oleh Azhari sebagai editor judul buku tesebut di ralat. Jadilah Dalam Beku Waktu. Saat peluncuran puisi dalam antologi ini di bedah Oleh Drs. Mukhlis A. Hamid, MS. Juga dihadiri oleh redaktur Budaya Harian serambi Indonesia alm Hasyim KS, AA Manggeng “me-ngeong” membaca beberapa puisi, dan Hasbi Burman mengurui dengan puisinya dengan cirikhas membaca dan tertawa seperti orang becanda.
Dibalik kerinduan saya kepada Dalam Beku Waktu timbul sebuah pertanyaan adakah nepotisme dalam bersasrta ?. Kalau Azhari sudah jelas menolak mentah-mentah lobi dalam berkesenian dan sastra. Pada suatu ketika tahun 2005 saya pernah meminta Azhari untuk mencari lobi untuk menerbitkan kumpulan puisi saya yang berjudul Tsunami: Yang Pergi Bersama Bulan. “Tidak ada kata lobi dalam berkesenian dan bersastra bagi saya”, cetus Azhari. Kemudian niat menerbitkan kumpulan puisi saya tersebut gagal dan puisi tersebut hanya saya bacakan di radio Multi Swara, FM, Lhokseumawe dan beberapa buah puisi lainnya dipublikasikan di Serambi Indonesia, Waspada, surat Kabar Haba Rakyat, dan majalah Santunan Jadid. Kecurigaan adanya nepotisme muncul di benak saya saat membaca beberapa surat kabar terbitan Aceh. Mengingat penulis-penulis yang terpampang di rubrik budaya orang-orang yang akrab dengan redaktur. Seperti TA. Sakti, Mustafa Ismail Delima, Barlian AW, Teuku Dadek, D. Kemalawati, Fikar W Eda, sekali-kali Herman RN. Mengapa redaktur budaya tidak memberi kesempatan kepada penulis pemula untuk berkarya. Kebanyakan penulis yang karyanya dipublikasikan adalah penulis yang akrap dengan redaktur. Bukan karena kreatifitas menulis yang tumbuh secara alamiah. Mungkin kawan lama redaktur, kawan satu jurusan waktu kuliah, atau minimal satu komonitas. Jika demikian benar perihal itu, artinya sastra bernuansa nepotisme. Dalam kasus “pencabulan” terhadap karya sastra ini sifatnya hanya berupa dugaan sementara atau hipotesis. Saya harap kawan-kawan yang merasa terpojok jangan tersingung, karena bukannya tujuan saya menggurui. Melainkan hanya sebuah bertanyaan tentang kebebasan dalam bersastra, atau sastra yang freedom.
Dalam acara bedah puisi di rangkang balai sastra Taman Budaya Aceh (TBA) yang diselenggarakan Gemasastrin tahun 2003 silam. Barlian AW mewakili redaktur Serambi Indonesia dan Tabloid kontras. Menjawab pertanyaan dari salah seorang peserta. Mengapa tidak semua karya tulis yang dikirim oleh koresponden dimuat di Serambi Indonesia. Barlian AW dengan kalimat yang sangat gampang menjawab. “ Jika serambi Indonesia di ibaratkan sebuah perahu, maka perahu tersebut akan berlayar ke mana arah kemudi yang di inginkan oleh nahkoda, redaktur”, jelas Barlian. Jika hasil seleksi “nahkoda” redaksi layak dimuat akan dimuat. Jika tidak dimuat berati karya seseorang di tolak karena redaktur kurang selera terhadap karya tersebut, walaupun lumayan bagus. Prolema semacam itu dalam bersastra kiranya perlu dihilangkan.
Pada tahun yang sama 2003, Saya juga teringat pertanyaan dosen FKIP, Drs Abdullah Faridan dan Drs. Mukhlis A. Hamid, MS. Ketika saya mengajukan judul skripsi .“Kenapa Anda meneliti metafora dalam cerpen karya Naharuddin. Apa karena Naharuddin kawan Anda?”. Dosen penguji dalam seminar judul skripsi saya “Metafora dalam Cerpen-Cerpen Karya Naharuddin” mencurigai saya bahwa ada unsur nepotisme dalam memilih judul skripsi. Perihal ini dikarenakan hampir tiap hari saya jalan bersama dan satu ruang kuliah dengan Cerpenis Aceh Naharuddin ini. Saya menjawab “ saya mengalisis metofora dalam cerpen Naharuddin bukan karena karya kawan saya, teapi mengingat saat itu banyak karya cerpenis Aceh lahir. Tetapi kurang mendapat perhatian dari kritikus sastra. karya Naharuddin belum pernah dibicarakan dalam pengadilan seni lainnya”, dan itulah judul skripsi saya yang akhirnya diterima dengan nilai sangat memuaskan hingga meraih gelar Sarjana Pendidikan .
Demikian ulasan singkat ini. Saya sangat merindukan kawan saya penyair yang terkumpul Dalam Beku Waktu. Jika masih ada kirimkan saya satu buah antologi dambaan saya tersebut sebagai kenang-kenangan. Kepada komonitas pecinta sastra selamat berkarya. Melanjutkan perjuangan Hamzah Fansuri, Ali Hasyimi, dan seribu pujanga lainnya.
Ternyata sastra semakin anggun dan semakin di udara di hamparan Hamzah Fansuri. Demikian juga bagi komonitas Gelanggan Mahasiswa Sastra Indonesia (Gemasastrin) FKIP, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Gairah bersastra semakin antusias bagi warga Gemasastrin ini. Melalui majalah online lewat situs (web) karya-karya sastrawan muda berbakat sangat memikat hati dan mendapat perhatian khusus di hati para pembaca. Banyak orang kagum ketika membuka web (milis) Gemasastrin dan membaca beberapa karya anak muda yang patut di acungkan jempol. Diantaranya adalah Herman RN alumni warga Gemasastrin dan wartawan Harian Aceh menduduki posisi penting dalam ikon blantika sastra Indonesia di kota Banda Aceh. Untuk katagori puisi dan rubrik budaya. Selain Herman RN ada juga nama lain dalam ikon tulisan kreativ sastra dan opini pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah. Beliau adalah Drs Mukhlis A. Hamid, MS pakar Bahasa dan Sastra kondang dari Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah (PBSID), FKIP, Unsyiah. Selain artikel sastra dan budaya juga ada beberapa artikel bahasa yang ditulis oleh Azwardi, S.Pd., M.Hum dan Dra. Rostina Taib, M.Hum. Kiranya sangat layak untuk diberikan penghargaan.
Namun, yang menjadi catatan harian kita adalah untuk genre puisi yang sering disebut-sebut cuma penulis itu-itu saja. Misalnya Nyanyian Miris karya Doel CP Allisah. Padahal masih banyak antologi puisi lainnya yang kiranya layak ditulis dalam sebuah resensi buku. Bidang cerpen yang sering dibicarakan adalah karya sastrawan wajah lama seperti Musmarwan Abdullah, Fahrizal Sikumbang, Naharuddin, dll. Dalam resensi cerpen Sastra dalam lintas Sejarah Konflik Aceh oleh: Drs.Mukhlis A. Hamid, MS. Nama cerpenis yang terakhir disebutkan saya dengar kabar sudah meninggal alias almarhum. Tetapi, bukan karena tsunami yang telah menyapu Aceh. Bukan juga karena konfliks yang berkecamuk. Melainkan Naharuddin meninggal karena sakit. Kabar kepergian Naharuddin saya dengar dari kawan saya Subhayni dosen PBSID waktu saya berkunjung ke kantor Jurusan PBSID, FKIP, dan kabar dari Herman RN waktu saya datang ke redaksi Harian Aceh. Dalam rangka silaturrahmi alumni dan studi tour sastra pada awal Januari 2009. Dalam kesempatan ini saya mendapat hadiah 2 buah buku Menulis Ilmiah dan Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi dari 2 pengarang Aceh Azwardi, S.Pd., M.Hum dan Drs. Teuku Alamsyah, M.Pd. Mengenai meninggalnya cerpenis Naharuddin asal Aceh Selatan itu belum pasti kebenarannya, karena beritanya tidak akurat. Demikian pun belum ada media massa yang memberitakan kematian Naharuddin.
Kembali dalam pembicaraan resensi. Saya sebenarnya sangat rindu akan sebuah antologi yang entah dimana sekarang keberadaanya. Antologi buah hati saya Dalam Beku Waktu yang jarang mendapat perhatian pengamat sastra. Berisikan kumpulan puisi 23 penyair Aceh. Selebihnya adalah berisikan lukisan Mahdi Abdullah dan gambar pelukis Aceh lainnya. Saat peluncuran Dalam Beku Waktu pertengahan tahun 2003 sebelum Aceh diluluhlantakkan tsunami saya diberikan 3 buah Buku. Satu buah saya sumbangkan untuk pustaka Gemasastrin, satu buah buat kawan saya mahasiswa teknik Unsyiah, satu lagi buat pribadi saya. Namun, karena saat itu Aceh dilanda konflik GAM-RI, antologi puisi Dalam Beku Waktu saya titip kepada kawan saya satu cost di Kawasan Darussalam, Banda Aceh. Saya takut membawa pulang Dalam Beku Waktu ke Lhokseumawe, karena di dalam antologi ini memuat puisi protes penyair mewakili rakyat Aceh kepada pemerintah RI. Puisi yang paling saya takutkan dalam buku ini adalah Ode Buat Tgk Bantaqiah karya penyair Din Saja. Jadi sampai hari ini saya tidak pernah melihat lagi Dalam Beku Waktu, karena tidak ada arsip. Terkhir saya baca di Perpustakaan Daerah Aceh di Lamnyong. Untuk selanjutnya saya tidak tahu kabar. Mungkin saja telah di apresiasikan oleh tsunami mengingat Perpustakan Daerah bagian dari amuk stunami. Apakah karena alasan buku yang langka tersebut maka buku ini kurang mendapat perhatian pengamat dan kritikus sastra.
Pada awal pra cetak dalam Beku Waktu ingin diberi judul “Lolong Dalam Beku Waktu”. Kemudian penyair Hasbi Burman “Presiden Rex” protes, “Penyair bukan anjing yang melolong”, katanya. Lalu oleh Azhari sebagai editor judul buku tesebut di ralat. Jadilah Dalam Beku Waktu. Saat peluncuran puisi dalam antologi ini di bedah Oleh Drs. Mukhlis A. Hamid, MS. Juga dihadiri oleh redaktur Budaya Harian serambi Indonesia alm Hasyim KS, AA Manggeng “me-ngeong” membaca beberapa puisi, dan Hasbi Burman mengurui dengan puisinya dengan cirikhas membaca dan tertawa seperti orang becanda.
Dibalik kerinduan saya kepada Dalam Beku Waktu timbul sebuah pertanyaan adakah nepotisme dalam bersasrta ?. Kalau Azhari sudah jelas menolak mentah-mentah lobi dalam berkesenian dan sastra. Pada suatu ketika tahun 2005 saya pernah meminta Azhari untuk mencari lobi untuk menerbitkan kumpulan puisi saya yang berjudul Tsunami: Yang Pergi Bersama Bulan. “Tidak ada kata lobi dalam berkesenian dan bersastra bagi saya”, cetus Azhari. Kemudian niat menerbitkan kumpulan puisi saya tersebut gagal dan puisi tersebut hanya saya bacakan di radio Multi Swara, FM, Lhokseumawe dan beberapa buah puisi lainnya dipublikasikan di Serambi Indonesia, Waspada, surat Kabar Haba Rakyat, dan majalah Santunan Jadid. Kecurigaan adanya nepotisme muncul di benak saya saat membaca beberapa surat kabar terbitan Aceh. Mengingat penulis-penulis yang terpampang di rubrik budaya orang-orang yang akrab dengan redaktur. Seperti TA. Sakti, Mustafa Ismail Delima, Barlian AW, Teuku Dadek, D. Kemalawati, Fikar W Eda, sekali-kali Herman RN. Mengapa redaktur budaya tidak memberi kesempatan kepada penulis pemula untuk berkarya. Kebanyakan penulis yang karyanya dipublikasikan adalah penulis yang akrap dengan redaktur. Bukan karena kreatifitas menulis yang tumbuh secara alamiah. Mungkin kawan lama redaktur, kawan satu jurusan waktu kuliah, atau minimal satu komonitas. Jika demikian benar perihal itu, artinya sastra bernuansa nepotisme. Dalam kasus “pencabulan” terhadap karya sastra ini sifatnya hanya berupa dugaan sementara atau hipotesis. Saya harap kawan-kawan yang merasa terpojok jangan tersingung, karena bukannya tujuan saya menggurui. Melainkan hanya sebuah bertanyaan tentang kebebasan dalam bersastra, atau sastra yang freedom.
Dalam acara bedah puisi di rangkang balai sastra Taman Budaya Aceh (TBA) yang diselenggarakan Gemasastrin tahun 2003 silam. Barlian AW mewakili redaktur Serambi Indonesia dan Tabloid kontras. Menjawab pertanyaan dari salah seorang peserta. Mengapa tidak semua karya tulis yang dikirim oleh koresponden dimuat di Serambi Indonesia. Barlian AW dengan kalimat yang sangat gampang menjawab. “ Jika serambi Indonesia di ibaratkan sebuah perahu, maka perahu tersebut akan berlayar ke mana arah kemudi yang di inginkan oleh nahkoda, redaktur”, jelas Barlian. Jika hasil seleksi “nahkoda” redaksi layak dimuat akan dimuat. Jika tidak dimuat berati karya seseorang di tolak karena redaktur kurang selera terhadap karya tersebut, walaupun lumayan bagus. Prolema semacam itu dalam bersastra kiranya perlu dihilangkan.
Pada tahun yang sama 2003, Saya juga teringat pertanyaan dosen FKIP, Drs Abdullah Faridan dan Drs. Mukhlis A. Hamid, MS. Ketika saya mengajukan judul skripsi .“Kenapa Anda meneliti metafora dalam cerpen karya Naharuddin. Apa karena Naharuddin kawan Anda?”. Dosen penguji dalam seminar judul skripsi saya “Metafora dalam Cerpen-Cerpen Karya Naharuddin” mencurigai saya bahwa ada unsur nepotisme dalam memilih judul skripsi. Perihal ini dikarenakan hampir tiap hari saya jalan bersama dan satu ruang kuliah dengan Cerpenis Aceh Naharuddin ini. Saya menjawab “ saya mengalisis metofora dalam cerpen Naharuddin bukan karena karya kawan saya, teapi mengingat saat itu banyak karya cerpenis Aceh lahir. Tetapi kurang mendapat perhatian dari kritikus sastra. karya Naharuddin belum pernah dibicarakan dalam pengadilan seni lainnya”, dan itulah judul skripsi saya yang akhirnya diterima dengan nilai sangat memuaskan hingga meraih gelar Sarjana Pendidikan .
Demikian ulasan singkat ini. Saya sangat merindukan kawan saya penyair yang terkumpul Dalam Beku Waktu. Jika masih ada kirimkan saya satu buah antologi dambaan saya tersebut sebagai kenang-kenangan. Kepada komonitas pecinta sastra selamat berkarya. Melanjutkan perjuangan Hamzah Fansuri, Ali Hasyimi, dan seribu pujanga lainnya.
(Hamdani Mulya, S.Pd adalah dosen STAIN Malikussaleh, guru MAN Lhokseumawe, dan jurnalis di beberapa surat kabar)
Alamat Penulis: Jln Samudera, Lr. Pelangi, Kampung Jawa, MAN Lhokseumawe, NAD.
Alamat Penulis: Jln Samudera, Lr. Pelangi, Kampung Jawa, MAN Lhokseumawe, NAD.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar