0leh: Hamdani, S.Pd* dan Sri Wahyuni, A.Ma**
Menurut Horatius karya sastra bersifat ducle et utile; menyenang dan bermanfaat. Demikian juga puisi sebagai salah satu genre sastra menarik untuk ditulis, dibaca, dan dikaji, karena di dalamnya sarat dengan pesan moral. Puisi sebagai artefak dengan sendirinya juga ikut berbicara mewakili orang pertama (penyair). Dengan puisi penyair mengajarkan pembaca serta menuangkan berbagai pesan moral untuk menjadi pengalaman dalam mengarungi hidup.
Konflik Aceh dalam Puisi
Aceh sebagai salah satu zona Konflik GAM-RI merupakan sejarah penting yang menjadi perhatian penyair sebagai ladang imajinasi dalam menggores puisi. Menggugah penyair untuk menjelajah daerah-daerah sensitif dan menuangkan tragedi-tragedi yang memilukan dan memalukan tersebut dalam puisi-puisi mereka. Aceh sebagai salah satu daerah yang sering bergejolak oleh konflik telah menjadi inspirasi bagi banyak penyair. Seperti yang dituangkan oleh penyair nasional Agus R. Sarjono dalam puisinya “Wisata Pembantain”, yang tersusun dalam larik-larik indah, namun tak seindah isinya. “Datanglah ke Ambon, Aceh, di sana anda akan melihat pemandangan mengerikan ,wisata pembantaian”, itulah inti puisi Agus R. Sarjono. Puisi tersebut terkumpul dalam antologi Kitap Puisi 1 yang diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia. Merupakan bagian dari ikon sastra berbasis genre puisi sejarah. Seperti halnya prosa liris hikayat Raja-Raja Pasai, hikayat Malem Dewa yang berkembang dalam masyarakat Aceh, dan sastra yang selevelnya.
Demikian juga penyair Fikar W. Eda yang telah berteriak menuntut keadilan pemerintah untuk memihak kepada kaum marginal, kaum tertindas. Kiranya semua orang paham akan keterwakilan Fikar W. Eda lewat cerobong puisi yang direkam lewat puisi “Seperti Belanda” dalam (Keranda-Keranda). Misalnya terdapat dalam larik berikut: …mereka suguhi kami anggur/ hingga kami mendengkur/ lalu dengan leluasa/ menggeruk perut kami/ gas alam, minyak, emas/ sampai akar rumput bumi …. . Berbeda dengan Harry AV (Azhari) dalam puisinya “Sopran, Lenguhan 1.20 Pagi” dalam (Keranda-keranda) yang membela kaum hawa dan anak-anak. Bahkan Azhari dapat mewakili roh-roh anak Aceh dalam membela mamanya serta membela perempuan dan anak-anak di Palestina dan Bosnia. Konflik adalah raksasa menakutkan bagi semua orang. Puisi “Sopran, Lenguhan 1.20 Pagi” yang pernah dibedah oleh Hamdani Mulya dalam tulisan esay berjudul “Sopran, Lenguhan 1.20 Pagi Puisi Karya Anak Mama” (Tabloid Kutaradja: 2001) Azhari mengkhususkan jiwa ego-nya untuk membela kaum mama. Hal itu tergambar jelas dalam larik: ia lagi menyusui/ ia ibu empat anak/ gerutu malam menahan kantuk/ sekarang ia mati/ malam tidur lalu sepi.
Ada nama penyair lain yang sering menyuarakan suara perempuan dan perdamain lewat puisi yaitu Hamdani Mulya melalui cerobong puisi “Keluh Kesah” (Dalam Beku Waktu). Seperti dalam kutipan puisi yang digoresnya pada tahun 2002 berikut:Seuntai kata damai/ mendengus lara /dari dada seorang perempuan/ ingin bebas dari selingkuhan tikai/ porak-poranda persaudaraan/ hancurkan kasih sayang/ jangan ada lagi… . Wajah Aceh dalam sejarah konflik juga dilukiskan oleh Hamdani Mulya lewat puisi “Monumen Luka”, (Serambi Indonesia: 2002). Lain dari itu sebuah pertanyaan tentang damai disenandungkan lewat puisi “Adakah Kedamaian?”, (Waspada: 2001).
Selain penyair-penyair di atas Rosni Idham membela Aceh dengan puisinya “Negeri Terluka”,(majalah Tingkap DKA: 2003): … nanah mengalir di setiap rongga jiwa/ darah dan nanah/ mewarnai air dan tanah/… .Rosni Idham juga menyuarakan aspirasi anak Indonesia dengan puisi “Doa Anak Bangsa” di majalah yang sama. Selain itu Doel CP Allisah menuntut keadilan, kejujuran , dan keikhlasan yang begitu tulus kepada siapapun lewat goresan apiknya “Ritual Addo”, (Serambi Indonesia: 2002), dan Din Saja menulis sejarah merah Aceh lewat Puisi “Ode Buat Tgk Bantaqiah”, (Dalam Beku Waktu). Itulah beberapa penyair yang patut mendapat penghargaan atas jasanya menulis sejarah lewat puisi. Dengan suara pena penyair berteriak lebih lantang dari suara senjata meminjam istilah Herman RN. Meneriaki perdamaian, berteriak menuntut keadilan, dan suara-suara indah lainnya.
Tsunami dalam Puisi
Setelah Aceh dilanda konflik berkepanjangan antara GAM-RI dan berakhir dengan Memorandum of Understanding (MoU) pada Agustus 2005. Tragedi lain menimpa Aceh adalah Tsunami yang menyapu dan meluluhlantakkan hamparan Hamzah Fansuri pada 26 Desember 2004. Tragedi memilukan yang menarik perhatian dunia ini juga tak luput dari perhatian para penyair. Fikar W. Eda memulainya dengan judul puisi “Nyeri Aceh” dengan untaian kata; …nyeri laut menggulung pantai/ lumatlah rumah, remuklah pohon/…/ tanah serambi mekkah, nyeri kami/ nyeri tulang dan daging kami/. Doel CP Allisah merekam lewat puisi bertajuk “Ingatan”; apa yang tersisa dari semua kenangan/ selain air mata dan doa kami… .
Kemudian “Kita Tak Belajar Membaca Tanda-Tanda” karya D.Kemalawati, menuangkan tragedi kemanusian tsunami dalam puisi yang menggugah hati nurani semua orang. Ketiga puisi penyair di atas merupakan puisi yang diperlombakan dalam lomba baca puisi Pekan Olah Raga dan Seni (Porseni) Depertemen Agama tahun 2005 di Banda Aceh. Selain itu penyair muda berbakat Hamdani Mulya dari kota belahan sungai Lhokseumawe mencatat keganasan tsunami lewat puisi “Sepanjang luka-luka”, (Haba Rakyat). Seperti terdapat dalam larik; sepanjang luka-luka/ sepanjang luka-luka ayah kami/ sepanjang luka-luka ibu kami/ sepanjang luka-luka Abang kami/ sepanjang luka-luka tanah Aceh. Selain itu Hamdani Mulya juga mengenang tsunami dengan puisi “Laut Terbakar”, (Santunan Jadid:2008) dan dengan puisi “Bebek Menangis”, dibacakan di radio Citra Multi Swara, Lhokseumawe. Demikianlah puisi menjadi sejarah bagi anak cucu kita.
Tidak ketinggalan penyair Herman RN menulis Puisi “Laut Berzikir”, (majalah online Gemasastrin PBSID) dengan larik-larik yang tersusun rapi penuh makna. Herman RN berkisah tentang tsunami sebagai suatu teguran buat masyarakat Aceh dan masyarakat dunia bahwa Allah masih sangat sayang ke pada hamba-Nya dengan peringatan. Tsunami adalah pelajaran yang sangat berharga bagi siapapun. Taufiq Ismail menulis puisi “Membaca Tanda-Tanda” jauh hari sebelum tsunami datang. Kemudian Hamdani Mulya menyadurnya lalu memberi judul “Mengeja Alamat”, (dibaca di Radio Multi Swara, Lhokseumawe).
Demikianlah harga sebuah puisi. Tidak bisa diukur dengan mata uang rupiah. Mata uang sering berubah seiring perkembangan zaman. Namun, puisi yang ditulis oleh sang penyair abadi dalam dekapan zaman dan selalu diingat oleh semua orang di setiap pelukan masa yang selalu berganti. Menurut peredaran waktu menuntun kalender. Itulah sejarah puisi dalam bingkai konflik Aceh dan tsunami. Hanya sebagian saja yang tercatat dan terukir dalam tulisan ini. Ada ratusan bahkan ribuan penyair lainnya, tak ketinggalan penyair dunia mencatan sejarah kelam Aceh dalam puisi. Seperti yang diabadikan AA. Manggeng “Yang Pergi di Musim Badai”. Maaf jika ada nama penyair yang tidak disinggung dalam suara pena ini. Nama Anda tetap abadi dan dikenang oleh dunia. Seharum karya yang Anda gores melalui tinta emas. Sebagai monumen konflik Aceh dan tsunami. Penyair tidak membangun museium konflik Aceh maupun museum tsunami, tetapi karya sang penyair yang menulis sejarah Aceh lebih mahal dari harga sebuah mesium. Puisi sang penyair tertata rapi dalam mesium, perpustakaan, dan rak-rak buku. Demikian pun puisi abadi dan terpacang dalam bingkai pada dinding museum dunia.
Tentang Penulis:
*Hamdani, S.Pd adalah Pengamat sastra dan budaya, ketua Biro Konsultan Sastra dan Pengadilan Seni Lhokseumawe.
**Sri Wahyuni, A.Ma adalah peminat, pengamat sastra, dan guru Madrasah Aliyah Nibong, Aceh Utara.
Menurut Horatius karya sastra bersifat ducle et utile; menyenang dan bermanfaat. Demikian juga puisi sebagai salah satu genre sastra menarik untuk ditulis, dibaca, dan dikaji, karena di dalamnya sarat dengan pesan moral. Puisi sebagai artefak dengan sendirinya juga ikut berbicara mewakili orang pertama (penyair). Dengan puisi penyair mengajarkan pembaca serta menuangkan berbagai pesan moral untuk menjadi pengalaman dalam mengarungi hidup.
Konflik Aceh dalam Puisi
Aceh sebagai salah satu zona Konflik GAM-RI merupakan sejarah penting yang menjadi perhatian penyair sebagai ladang imajinasi dalam menggores puisi. Menggugah penyair untuk menjelajah daerah-daerah sensitif dan menuangkan tragedi-tragedi yang memilukan dan memalukan tersebut dalam puisi-puisi mereka. Aceh sebagai salah satu daerah yang sering bergejolak oleh konflik telah menjadi inspirasi bagi banyak penyair. Seperti yang dituangkan oleh penyair nasional Agus R. Sarjono dalam puisinya “Wisata Pembantain”, yang tersusun dalam larik-larik indah, namun tak seindah isinya. “Datanglah ke Ambon, Aceh, di sana anda akan melihat pemandangan mengerikan ,wisata pembantaian”, itulah inti puisi Agus R. Sarjono. Puisi tersebut terkumpul dalam antologi Kitap Puisi 1 yang diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia. Merupakan bagian dari ikon sastra berbasis genre puisi sejarah. Seperti halnya prosa liris hikayat Raja-Raja Pasai, hikayat Malem Dewa yang berkembang dalam masyarakat Aceh, dan sastra yang selevelnya.
Demikian juga penyair Fikar W. Eda yang telah berteriak menuntut keadilan pemerintah untuk memihak kepada kaum marginal, kaum tertindas. Kiranya semua orang paham akan keterwakilan Fikar W. Eda lewat cerobong puisi yang direkam lewat puisi “Seperti Belanda” dalam (Keranda-Keranda). Misalnya terdapat dalam larik berikut: …mereka suguhi kami anggur/ hingga kami mendengkur/ lalu dengan leluasa/ menggeruk perut kami/ gas alam, minyak, emas/ sampai akar rumput bumi …. . Berbeda dengan Harry AV (Azhari) dalam puisinya “Sopran, Lenguhan 1.20 Pagi” dalam (Keranda-keranda) yang membela kaum hawa dan anak-anak. Bahkan Azhari dapat mewakili roh-roh anak Aceh dalam membela mamanya serta membela perempuan dan anak-anak di Palestina dan Bosnia. Konflik adalah raksasa menakutkan bagi semua orang. Puisi “Sopran, Lenguhan 1.20 Pagi” yang pernah dibedah oleh Hamdani Mulya dalam tulisan esay berjudul “Sopran, Lenguhan 1.20 Pagi Puisi Karya Anak Mama” (Tabloid Kutaradja: 2001) Azhari mengkhususkan jiwa ego-nya untuk membela kaum mama. Hal itu tergambar jelas dalam larik: ia lagi menyusui/ ia ibu empat anak/ gerutu malam menahan kantuk/ sekarang ia mati/ malam tidur lalu sepi.
Ada nama penyair lain yang sering menyuarakan suara perempuan dan perdamain lewat puisi yaitu Hamdani Mulya melalui cerobong puisi “Keluh Kesah” (Dalam Beku Waktu). Seperti dalam kutipan puisi yang digoresnya pada tahun 2002 berikut:Seuntai kata damai/ mendengus lara /dari dada seorang perempuan/ ingin bebas dari selingkuhan tikai/ porak-poranda persaudaraan/ hancurkan kasih sayang/ jangan ada lagi… . Wajah Aceh dalam sejarah konflik juga dilukiskan oleh Hamdani Mulya lewat puisi “Monumen Luka”, (Serambi Indonesia: 2002). Lain dari itu sebuah pertanyaan tentang damai disenandungkan lewat puisi “Adakah Kedamaian?”, (Waspada: 2001).
Selain penyair-penyair di atas Rosni Idham membela Aceh dengan puisinya “Negeri Terluka”,(majalah Tingkap DKA: 2003): … nanah mengalir di setiap rongga jiwa/ darah dan nanah/ mewarnai air dan tanah/… .Rosni Idham juga menyuarakan aspirasi anak Indonesia dengan puisi “Doa Anak Bangsa” di majalah yang sama. Selain itu Doel CP Allisah menuntut keadilan, kejujuran , dan keikhlasan yang begitu tulus kepada siapapun lewat goresan apiknya “Ritual Addo”, (Serambi Indonesia: 2002), dan Din Saja menulis sejarah merah Aceh lewat Puisi “Ode Buat Tgk Bantaqiah”, (Dalam Beku Waktu). Itulah beberapa penyair yang patut mendapat penghargaan atas jasanya menulis sejarah lewat puisi. Dengan suara pena penyair berteriak lebih lantang dari suara senjata meminjam istilah Herman RN. Meneriaki perdamaian, berteriak menuntut keadilan, dan suara-suara indah lainnya.
Tsunami dalam Puisi
Setelah Aceh dilanda konflik berkepanjangan antara GAM-RI dan berakhir dengan Memorandum of Understanding (MoU) pada Agustus 2005. Tragedi lain menimpa Aceh adalah Tsunami yang menyapu dan meluluhlantakkan hamparan Hamzah Fansuri pada 26 Desember 2004. Tragedi memilukan yang menarik perhatian dunia ini juga tak luput dari perhatian para penyair. Fikar W. Eda memulainya dengan judul puisi “Nyeri Aceh” dengan untaian kata; …nyeri laut menggulung pantai/ lumatlah rumah, remuklah pohon/…/ tanah serambi mekkah, nyeri kami/ nyeri tulang dan daging kami/. Doel CP Allisah merekam lewat puisi bertajuk “Ingatan”; apa yang tersisa dari semua kenangan/ selain air mata dan doa kami… .
Kemudian “Kita Tak Belajar Membaca Tanda-Tanda” karya D.Kemalawati, menuangkan tragedi kemanusian tsunami dalam puisi yang menggugah hati nurani semua orang. Ketiga puisi penyair di atas merupakan puisi yang diperlombakan dalam lomba baca puisi Pekan Olah Raga dan Seni (Porseni) Depertemen Agama tahun 2005 di Banda Aceh. Selain itu penyair muda berbakat Hamdani Mulya dari kota belahan sungai Lhokseumawe mencatat keganasan tsunami lewat puisi “Sepanjang luka-luka”, (Haba Rakyat). Seperti terdapat dalam larik; sepanjang luka-luka/ sepanjang luka-luka ayah kami/ sepanjang luka-luka ibu kami/ sepanjang luka-luka Abang kami/ sepanjang luka-luka tanah Aceh. Selain itu Hamdani Mulya juga mengenang tsunami dengan puisi “Laut Terbakar”, (Santunan Jadid:2008) dan dengan puisi “Bebek Menangis”, dibacakan di radio Citra Multi Swara, Lhokseumawe. Demikianlah puisi menjadi sejarah bagi anak cucu kita.
Tidak ketinggalan penyair Herman RN menulis Puisi “Laut Berzikir”, (majalah online Gemasastrin PBSID) dengan larik-larik yang tersusun rapi penuh makna. Herman RN berkisah tentang tsunami sebagai suatu teguran buat masyarakat Aceh dan masyarakat dunia bahwa Allah masih sangat sayang ke pada hamba-Nya dengan peringatan. Tsunami adalah pelajaran yang sangat berharga bagi siapapun. Taufiq Ismail menulis puisi “Membaca Tanda-Tanda” jauh hari sebelum tsunami datang. Kemudian Hamdani Mulya menyadurnya lalu memberi judul “Mengeja Alamat”, (dibaca di Radio Multi Swara, Lhokseumawe).
Demikianlah harga sebuah puisi. Tidak bisa diukur dengan mata uang rupiah. Mata uang sering berubah seiring perkembangan zaman. Namun, puisi yang ditulis oleh sang penyair abadi dalam dekapan zaman dan selalu diingat oleh semua orang di setiap pelukan masa yang selalu berganti. Menurut peredaran waktu menuntun kalender. Itulah sejarah puisi dalam bingkai konflik Aceh dan tsunami. Hanya sebagian saja yang tercatat dan terukir dalam tulisan ini. Ada ratusan bahkan ribuan penyair lainnya, tak ketinggalan penyair dunia mencatan sejarah kelam Aceh dalam puisi. Seperti yang diabadikan AA. Manggeng “Yang Pergi di Musim Badai”. Maaf jika ada nama penyair yang tidak disinggung dalam suara pena ini. Nama Anda tetap abadi dan dikenang oleh dunia. Seharum karya yang Anda gores melalui tinta emas. Sebagai monumen konflik Aceh dan tsunami. Penyair tidak membangun museium konflik Aceh maupun museum tsunami, tetapi karya sang penyair yang menulis sejarah Aceh lebih mahal dari harga sebuah mesium. Puisi sang penyair tertata rapi dalam mesium, perpustakaan, dan rak-rak buku. Demikian pun puisi abadi dan terpacang dalam bingkai pada dinding museum dunia.
Tentang Penulis:
*Hamdani, S.Pd adalah Pengamat sastra dan budaya, ketua Biro Konsultan Sastra dan Pengadilan Seni Lhokseumawe.
**Sri Wahyuni, A.Ma adalah peminat, pengamat sastra, dan guru Madrasah Aliyah Nibong, Aceh Utara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar