Januari 12, 2009

KUTARAJA - BANDA ACEH, SEBUAH ANTOLOGI

HARIAN ANALISA / 11 Januari 2009

Oleh : Ris Pasha

Judul : Kutaraja Banda Aceh

Tahun Terbit : I, Desember 2008

Tebal : i/xiv + 238 halaman

Ukuran buku : 13,5 x 21 Cm

Bahasa : Indonesia-Inggris

Penerbit : Aliansi Sastrawan Aceh bekerja sama dengan Pemko Banda Aceh


UNTUK, kesekian kalinya, Aliansi Sastrawan Aceh Menerbit buku. Setelah buku antologi memperingati tSunami dan beberapa buku lainnya, kali ini, Aliansi Sastrawan Aceh (ASA) yang dimotori oleh Doel CP Allisah dan Nani HS ini menerbitkan pula sebuah buku antologi puisi. Buku itu bernama Kutaraja Banda Aceh. 

Dalam buku ini beberapa penyair dari seluruh Indonesia, selain penyair NAD sendiri, juga ada karya beberapa penyair Aceh yang sudah almarhum. Mereka adalah para penyair yang pernah membawa nama Aceh harus di tingkat Nasional. Melihat judulnya Kutaraja, penerbit (pemrakarsa terbitnya buku ini) ingin menyampaikan banyak pesan tentang Banda Aceh pada masa lalu, ketika tSunami dan masa sekarang. Jika ini yang ingin disampaikan, kenapa harus bernama Kutaraja? Kalau masa lalau, pada masa lalu mana? Bukankah Kutaraja itu adalah Kuta Radja? Pada ejaan lama bukan Kutara Raja atau kutaraja, tapi Kuta Radja, sebuah daerah swatantra tingkat-II (Daswati-II) di Provinsi Aceh, sebelum NAD. 

Seperti apa yang dikatakan oleh Walikota Banda Aceh Ir. Mawardy NBurdin, M. Eng. Sc., ketika itu, Kuta Radja, adalah sebuah kota metropolis dimana para saudagar daripenjuru dunia berbondong-bondong datang ke sana dengan aktivitas bisnis. Hiruk-pikuknya kota metropolitan itu. Puncak kejayaannya, menukilkan sebuah catatan sejarah, kalau Kuta Radja itu memiliki peradaban yang cukup dikagumi orang luar. Kota yang berusia 803 tahun itu, ingin dicatatkan kembali keberadaannya oleh para seniman. Di kuta (kota) yang dimukimi oleh Radja, tersebutlah kota itu kota tempat kediaman radja, hinga menjadi Kuta Radja. Apalah arti sebuah spelling dalam kata Kutaraja atau Kuta Radja. Toh bendanya itu juga dan sejarah yang dilahirkannya itu juga. 

Seniman adalah saksi zaman. Seniman akan tetap memberikan kesaksian pada zamannya dengan tulis, ikhlas dan jujur. Itulah sebabnya di negara-negara maju yang sangat menghargai seniman ketimbang wartawan, karena seniman selalu jujur dalam berkarya. Karean itu, seniman dikatakan saksi zaman, karean ketulusan, keikhlasan dan kejujurannya dalam memberikan kesaksiannya. Mungkin itu pula sebabnya, kenapa walikota Banda Aceh Mawardy Nurdin langsung menyambut baik ide dari ASA untuk menerbitkan sebuah buku antologi puisi tentang Kutaraja. Walikota Banda Aceh sadar, kalau karya seniman tidak pernah bohong dalam menyampaikan apa yang dia saksikan, apa yang diketahui dan dirasakannya, lalu menuliskannya dalam estetika. Seniman tidak sedang memberikan kesaksian di pengadilan yang kebenarannya dipertimbangkan oleh hakim. 

Seniman memberikan kesaksian kepada masyarakat luas yang hdiup sekarang atau pun masyarakat yang akan datang dalam sebuah buku. Bahkan dia memberikan kesaksian kepada dirinya sendiri, juga kepada sang Khalik-nya. Untuk itu dia harus jujur dan tulus. 33 Penyair Dari ratusan penyair yang mengirimkan karya-karya mereka, menurut seleksi editor, hanya ada 33 penyair yang karya mereka lolos untuk ikut diterbitkan dalam buku antologi ini. 

Penyair itu menurut abjat A. Rahim Qahhar dengan dua puisinya berjudul Tuhan Ada di Baiturrahman dan Ketemukan Cut Yan di Gunongan. A. A. Manggeng puisinya Jembatan Pantee Pirak dan Terminal-terminal. Alimudin, Tanah Ibuku dan Kota Ini. Arafat Nur, Banda Aceh di Bawah Gerimis. As. Atmadi, Datanglah dan Rinduku Banda Aceh. Azhari, 26 Juli 1999 Larut Malam dan Ulee Lheue, Landskapo Terakhir. D. Kemalawati, Bulan Sabit di Kampong Pie. Debra H Yatim, Kepada Keturan Abdullah dan Potret-Potret Dusun. Dahta Gautama, Lelaki Penyair di Banda Aceh dan Surat. Kemudian penyair Damiri Mahmud, Bait Al-Rahman dan Menonton sebuah Perahu dalam Ruang Konservasi atau Sisa Tsunami. Din Saja, Taman Sari. Dinullah Rayes, Tamasya di Bawah Matahari BandaAceh dan Ketika Menggadai Mimpi di Banda Aceh. Doeasl CP Allisah, Banda Aceh Pagi Ini dan Putroe Phang. Edy Samudera Kertagama, Episode Banda Aceh dan Purnama Banda Aceh. Fikar W Eda, Dari Balik Kaca Sebuah Menara. Hasan Aspahani, Hari Ini tak ada Laporan dari Kutaraja. Hasbi Burman, Keudah dan Satu Malam di Rex. Heri Maja Kelana, Aurora Alue Naga dan Akar Malam Blang Padang. Herman RN, Baiturrahman dan Dalam kandungan Kutaraja. Idris Pasaribu, Kutaraja dan Rex. Kardi Syaid, Gunongan dan Taman Sari. L. K. Ara, Banda Aceh. MH. Agam Fawirsa, monolog di Kota Tua. Mustafa Ismail, Ulee Lheue. Nurdin H Jones, Kerkhoff. Syaiful Bahri, Legei Lara Kampung dan Tembang Serba Jadi. Salman Yoga S, Di Teras Baiturrahman dan Jembatan Peunayong. Sulaiman Juned, Orkestra Kota Banda Aceh dan Ulee Lheue. Sulaiman Tripa, Kisah Suatu Senja di Tengah Kota dan Titi Peunayong. Sutan Iwan Soekri Munaf, Tentang Banda Aceh dan Tentang Peunayong. Viddy Ad Daery, Kota yang Jauh tapi Dekat dan Mengenang Almarhum Sahabat. Wiratma Dinata, Elegi buat Baiturrahman. Zoelfikar Sawang, Melewati Taman Sari. 

Selain nama-nama penyair dan karya-karya mereka yang tertulis di atas, masih ada empat penyair Aceh yang nama mereka sudah dikenal di kancah dunia sastra nasional. Ke empat penyair ini, telah allayarham. Karya-karya mereka. Walau mereka telah tiada karena disapu oleh ganasnya gelombang tSunami, namun karya-karya mereka tentang Banda Aceh (Kutaraja) tetap abadi dengan segala kejujuran mereka memberikan kesaksiannya, ketika mereka masih hidup. 

Ini sebuah pertanda, kalau karya seorang sastrawan itu akan abadi untuk berpuluh bahkan ratusan tahun ke depan. Jika ingin mengetahui sesuatu yang terjadi pada zamannya, selain membaca karya ahli sejarah, (bahkan ahli sejarah sendiri pun) harus membaca karya sastrawan. Mereka itu adalah alm. Baharudoeddin Yahya, Banda Aceh. Alm. Achmad Rivai Nasution, Di Kota Iskandar Muda. Alm. Hasyim KS, Kutaraja – Banda Aceh dan Ketika Memandang Bulan di Pantee Pirak. Alm. Maskirbi, Krueng Aceh dan Ulee Lheue. 

Buku ini, selain dihiasi oleh anggunnya Masjid Baiturrahman, juga dihiasi beberapa buah foto tentang Bada Aceh, sebagai sebuah kesaksian yang jujur dan bisa dijadikan sebagai refrensi pada masa puluhan tahun mendatang. Patut dibanggakan, kalau ASA sudah menerbitkan belasan buku dalam waktu singkat ini. Ini sebuah kesadaran terhadap betapa pentingnya sebuah buku untuk dijadikan refrensi pada masa mendatang, untuk generasi berikut. 

Seperti apa yang dikatakan oleh Walikota Banda Aceh, kalau kota Tua yang terus diremajakan itu akan dijadikan sebagai sebuah banda wisata, tentu sangat tepat. Sebuah antologi yang sangat perlu dibaca untuk mengetahui Kutaraja pada masa dulu dan Banda Aceh pada masa sekarang.



Tidak ada komentar:

Powered By Blogger