Maret 26, 2009

LAGU KELU : SEJARAH PILU SEPANJANG ABAD

Oleh : HAMDANI MULYA, S.Pd

Judul Buku : Lagu Kelu

Editor : Doel CP Allisah dan Nani HS

Tahun terbit : 2005

Penerbit : ASA dan Japan – Aceh Net

Tebal buku : 280 halaman

Membaca antologi puisi yang merekam dan mencatat sejarah “Lagu Kelu” sepertinya kita terbawa dalam arus dahsyat gelombang Tsunami yang memporak-poranda Aceh pada 26 Desember 2004. Ternyata setelah kita membaca keseluruhan puisi-puisi yang terkumpul dalam buku Lagu Kelu salah satu puisi karya Doel CP Allisah (editor) yang menjadi judul sampul buku berwarna hijau kecoklatan ini. Tidak berkisah semata tentang tsunami. Melainkan dapat juga disebut sebagai antologi puisi yang mencatat sejarah sepanjang abad. Menginat puisi yang terkumpul dalam buku ini ada yang ditulis jauh hari sebelum Tsunami datang menyapu Aceh. Seperti puisi yang ditulis oleh T. Tjoet Soufjan berjudul Malam Takbir (1967) dan Pengaduan (1978). Isi kedua puisi tersebut tidak berkisah tentang tsunami. Saya sendiri sebagai penulis tahun tersebut belum lahir.

Jika kita membaca judul buku ini. Kita pasti terbayang akan kelunya perasaan korban Tsunami dan perasaan masyarakaat Aceh, masyarakat Indonesia, dan bahkan masyarakat dunia atas keprihatinan dan simpati terhadap saudara kita yang mendapat efek dari “Tsunama Tsunami”, demikianlah suara ke-prihati-nan Salman Yoga S lewat puisinya yang terbaca pada halaman 137. Namun, saat kita membaca pada halaman persembahan, halaman 2, pasti kita beranggapan bahwa isi buku ini seluruhnya berkisah tentang Smong, karena dibagian itu bertuliskan “Buku ini didedikasikan bagi warga Aceh khususnya, warga Indonesia dan Dunia umumnya. Ada banyak hal yang kita timba dimasa lalu, sekalipun ia berwujud bencana, tetap saja ada hikmahnya. Hikmah dari Nya. Mengenang bencana tsunami di Aceh”.

Walaupun disampul buku bertuliskan kumpulan penyair Aceh, tetapi buku ini dapat diberi nama yang lebih tinggi dan lebih luas ruang lingkupnya sebagai hadiah bagi perjuangan Doel CP Allisah. Seperti yang kita baca dalam catatan editor ”Pada Awalnya” bercerita tentang keluarganya yang hilang. Tetapi dalam kegalauan dan kegamangan Bang Doel panggilan akrab Doel CP Allisah masih ingat untuk menulis sebuah puisi lalu mengirimkannya puisi tersebut kepada Mustafa Ismail untuk dimuat dalam kumpulan puisi penyair Nusantara di Jakarta. Nama anak judul yang lebih istimewa buat Lagu Kelu tersebut adalah kumpulan puisi penyair Nusantara dari Aceh. Berdasarkan ihwal pertimbangan bahwa dalam buku ini tidak memuat puisi orang Aceh saja, tetapi juga ikut kumpul bersama penyair luar Aceh atau puisi penyair turunan Aceh, yang besar di luar Aceh Seperti Fikar W.Eda. Tercatat juga nama penyair Medan seperti Idris Pasaribu, dll. Demikian pun, jika berbicara dalam konteks dimana puisi itu ditulis. Mohd. Harun al Rasyid mengukir puisi yang begitu apik Sebuah Permohonan, di Jakarta dan puisi Suatu Hari di Pantai Rembang, di Rembang Pulau Jawa. Bahkan puisi dalam buku ini ada yang ditulis di Turki oleh Nurdin A. Rachman dengan goresan manis Malam-Malam di Istambul tahun 1986.

Dengan demikian kumpulan puisi yang berisikan 40 nama penyair ini tidak hanya merekam sejarah dalam hentak Tsunami saja. Melainkan kumpulan puisi yang mencatat sejarah sepanjang abad. Sejarah yang berkisar sejak tahun 1967-2005. Seperti yang tertera pada bagian bawah puisi. Apresiasi mengenai Lagu kelu memang sudah pernah ditulis oleh Medri Osno dalam esay sastra berjudul “Catatan Sederhana Lagu Kelu” di milis Gemasastrin, PBSID, Unsyiah. Dalam tulisan tersebut Medri Osno pengamat sastra dan pekerja Balai Bahasa Banda Aceh ini hanya membahas sekilas dari segi arti “pentingnya sebuah judul yang bagus” dan Medri lebih memfokuskan pembicaraan pada stuktur fisik dan stuktur batin puisi. Dalam kesempatan ini kita menyidik Lagu Kelu lewat kajian empiris dalam konteks puisi sebagai sebuah sejarah masa lalu dan sejarah masa depan.

Itulah antara lain kelebihan buku yang sangat patut dibaca oleh semua kalangan. Buku sebagai mesium sejarah. Bukan sejarah lalu membangun museum Tsunami. Keunggulan lain buku Lagu Kelu adalah disertai dengan cerita kepercayaan yang begitu tulus oleh salah seorang berkebangsaan Jepang untuk mengirimkan uang ke rekening Doel CP Allisah untuk mencetak buku. Beliau adalah Pak Seiichi Okawa dari yayasan Japan-Aceh Net. Padahal mereka belum kenal empat mata. Mereka hanya berkenalan lewat SMS dan email. Sungguh kepercayaan yang luar biasa.

Kumpulan puisi Lagu Kelu yang diterbitkan oleh Aliansi sastrawan Aceh (ASA) dan Japan-Aceh Net adalah sebuah antologi puisi penyair nasional. Bukan kumpulan penyair Aceh. Hal itu terbukti bahwa dalam kumpulan ini sebagian besar adalah memuat puisi karya penyair nasional selevel alm Hasyim KS, D. Kemalawati, M. Nurgani Asyik dll. Tidak hanya merekam Tsunami, penyair juga ukut mengkampanyekan reboisasi (penghijauan) jauh tahun sebelum Gubernur Aceh Drh. Irwandi Yusuf mencanangkan Aceh Green. Dalam lagu kelu juga terukir suara pena mengenai abrasi pantai, pencemaran lingkungan, kritik sosial, dan religius. Mengapa demikian ?. Seandaian Lagu Kelu itu disebut sebagai kumpulan puisi Tsunami kenapa di dalamnya ada puisi Malam-Malam di Istambul yang bercerita tentang pergaulan muda mudi di sebuah restoran atau Cafee di Istambul, Turki. Lain dari itu, fikar W.Eda menulis Taman Sari sebuah puisi berkisah tentang kehidupan malam yang liar. Anehnya dalam kumpulan puisi ini juga memuat puisi berjudul Pelacur Tua karya Ridwan Amran. Di luar dugaan saya ketika membaca judul buku ini. Itulah keunikan lain buku ini. Juga semakin unik dan antik, karena buku ini sangat susah untuk didapatkan. Seperti unik dan classic-nya “O, Amuk, Kapak” karya Sutardji Calzoum Bahcrie. Kita berharap buku ini juga akan masuk ke perpustakaan dan sekolah di seluruh Indonesia.

Resensi ini sebenarnya saya tulis secara unik. Bermula saat saya mengajar Bahasa Indonesia di MAN Lhokseumawe. Kebetulan hari itu materi pelajarannya adalah menulis resensi buku. Tiba-tiba seorang siswi yang bernama Wachidatul Chatimah memperkenalkan buku Lagu Kelu kepada saya yang akan diresensinya sebagai tugas latihan. Lalu bergetarlah hati saya. Teringat akan Bang Doel selaku editor. Saya katakan kepada siswi-siswi saya, “Inilah kumpulan puisi penyair Aceh yang sangat patut kita hargai sebagai pahlawan sastra kita”. Lalu saya melanjutkan pembicaraan “ Editornya, Doel CP Allisah adalah kawan Bapak (penulis)”. Saya sangat kenal dengan Bang Doel, walaupun Bang Doel tidak mengenal saya. Seperti seorang penggemar (fans) kenal dengan seorang artis. Saya mengenal Bang Doel tahun 2001, waktu itu beliau hadir sebagai dosen tamu dan narasumber pada acara kuliah Puisi di ruang Prodi Kesenian FKIP Universitas Syiah Kuala di kawasan Jalan. Inong Balee, Darussalam. Untuk selanjutnya saya mengenal Doel CP di jalanan, di Dewan Kesenian Aceh. Selebihnya tentang riwayat hidup Bang Doel saya baca di biografinya dalam buku-buku.

Buku ini juga disertai dengan beberapa gambar yang sesuai dengan isi buku. Saya mengacungkan jempol kepada kedua editor buku ini. Telah bersusah payah hingga buku ini sekarang ada ditangan pembaca. Demikian pun, editor masih mengingat dan berterimakasih kepada pihak yang telah ikut membatu dalam menerbitkan buku ini. Bahkan terimaksih yang tulus juga dipersembahkan kepada penyair yang telah almarhum seperti kepada Maskirbi dan Siti Ainsyah. Doel CP Allisah dan Nani HS adalah jelmaan “Chairil Anwar Aceh” yang bersungguh-sungguh memajukan kesusastraan Indonesia.

Awalnya resensi ini hampir tidak jadi saya tulis, karena provokasi seorang wartawan yang saya rahasiakan namanya. Katanya “kenapa harus meresensi buku lama, karena sekarang banyak buku baru, kiranya buku baru lebih layak untuk diresensi. Buku lama sudah pernah diresensi orang lain”. Saya jawab dalam hati saya “ kenapa tidak boleh?, bukankah puisi dalam buku ini sejarah sepanjang abad yang tercatat”. Akhirnya tetap saya tulis sebagai penghargaan dan hadiah dari saya kepada Doel CP Allisah dan penyair yang terkumpul dalam Lagu Kelu, karena baru sekarang buku ini sampai ketangan saya.

Berbeda dengan antologi sebelumnya “Keranda-Keranda” dan “ Dalam Beku Waktu” yang hanya berisikan puisi kritik sosial, kampanye perdamaian, yang merekam konflik Aceh semata. Sementara Lagu Kelu merekam ke-kelu-an dari semua sisi. Dalam ruang kurun waktu yang tidak terbatas. Itulah buku yang sangat menarik perhatian pembaca sastra di tanah air. Buku setebal 280 halaman yang disertai biografi penyair. Sebagian besar bercerita tentang Tsunami, namun tidak seelok namanya, karena luluhlantaknya mengerikan. Seperti judul puisi Damiri Mahmud “Tsunami Begitu Elok Namamu”. Selamat membaca. Semoga harapan berubah menjadi kenyataan. Orang Aceh tidak hanya pintar bicara saja, tetapi juga harus pintar membaca dan menulis.

Tentang Penulis :

HAMDANI MULYA, S.Pd adalah dosen STAIN Malikussaleh, guru MAN Lhokseumawe, penyair, dan Jurnalis di beberapa Surat kabar.



Tidak ada komentar:

Powered By Blogger