Februari 10, 1993

PANTUN DIN YANG KEHILANGAN MAGIS

Serambi Indonesia / Selasa 9 februari 1993

Penyair Din Saja, Minggu (7/2) lalu membacakan 12 sajaknya yang tergabung dalam “buklet” Pantun Umpama, di “halaman sayap” Gedung Tertutup Taman Budaya Aceh. Sebagai pembicara tampil penyair yang juga cerpenis Aceh AR Nasution dari Sigli.

Sajak-sajak yang dibacakan Din Saja sebahagian besar hasil ciptaan pada tahun 1992. Selebihnya ada yang tercipta pada 1990.

Baca sajak Din Saja itu merupakan bagian dari kegiatan baca puisi bulanan yang digagahi sejak Oktober. Dan konon, kegiatan ini bakal terus melebar dengan menampilkan penyair-penyair luar daerah untuk “mempertaruhkan” karyanya di forum tersebut.

AR Nasution dalam makalahnya yang berjudul “Visi dan Isi 12 Puisi Din Saja” menyebutkan, sebagai penyair Din Saja memang tergolong sangat “pelit kata” dengan jumlah baris dan bait tak terikat. “Jelas hampir semua puisinya dibina dengan larik-larik singkat, yang adakalanya sangat pelit kata,” ujar AR Nasution yang kini menjabat Kepala SMEA Negeri Sigli itu.

Dia juga menyebut, kalau puisi-puisi lelaki kelahiran Banda Aceh 1956 itu menggunakan cara pengungkapan dengan frase-frase yang samar. “Jadilah puisi-puisinya termasuk yang sukar ditafsirkan,” terang Pak Nas—panggilan akrab AR Nasution.

Pak Nas juga menangkap adanya nuansa pantun dalam 12 puisi yang dibacakan Din Saja, masing-masing berjudul Pantun Umpama I dan Pantun Umpama 2. Namun oleh penyair yang baru saja menerbitkan antologi puisi Melalui Api itu, kedua sajak “pantun” tadi tidak murni seperti yang diisyaratkan oleh pantun sebelum Angkatan Pujangga Baru. Pada pantun lama, sampirannya jelas sekali. Juga tiap larik, umumnya terdiri dari 8 suku kata. “Tidak demikian dengan pantun Din, justru karena itu kurang terasa rimanya,” jelas Pak Nas.

Dia mengambil contoh pada Pantun Umpama I, yang ternyata sajak akhir dari kedua lariknya tak sama bunyi, seperti bait-bait berikutnya. Lagi pula, larik pertama tidak terasa persangkut-pautannya; lakum dinukum waliyadin/manusia tak dapat menolak takdir…//. Barangkali, lanjut AR Nasution, akan lebih terasa relevansi dari kedua larik tersebut sekiranya pada larik kedua berbunyi; tak hanya sekedar yakin. Karena itulah, dalam makalahnya AR Nasution menegaskan, membaca pantun ini, terasa rangkaian kata-katanya kehilangan pesona/magis.

Meski menurut AR Nasution puisi-puisi Din Saja tergolong samar dan agak sulit ditafsirkan, namun bila dilihat lebih jauh akan tampak benang merah yang menjiwai sajak-sajaknya. Seperti yang terungkap lewat judul “Catatan Sembilanpuluhdua” serta “Terminal” yang kata Pak Nas memiliki keterkaitan satu sama lainnya.

Satu sajak yang cukup mengundang diskusi panjang adalah yang berjudul “Cinta I” yang berisi; aku berpikir/karena tiada//. Sajak itu yang terdiri dari dua larik sebenarnya menyimpan makna banyak. Konon mengandung nilai-nilai filosofis yang tinggi. Dan menurut Din sendiri , sajak itu memang penentangannya terhadap filsafat rasionalis yang didengung-dengungkan oleh kalangan barat. Sajak ini pula yang melahirkan komentar panjang dari Darwis A Soelaiman, ketua Dewan Kesenian Aceh, yang tampak tekun ditengah peserta.

Selanjutnya, komentar lain datang dari doel CP Allisah, penanggap spontan. Katanya, dua sajak Din berjudul “kalau” dan “Dia” sangat terpengaruh dari puisi karya penyair Sutarji C Bachri.
(fikar w.eda)

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger