Januari 13, 2005

"MAHADUKA ACEH" DUA RATUS PENYAIR MENULIS SYAIR UNTUK ACEH


Jakarta, Sinar Harapan [12 Januari 2005]

Bila kain kafan/Yang kami kirimkan/Belum juga sampai/Oleh banyak hal/Termasuk kesulitan pengangkutan/Dan pendeknya waktu/Sedang tubuhmu/Harus segera/Mendiami rumah baru/Kami telah mengirim Alfatihah lebih dulu/Tenanglah tidurlah saudaraku/Nikmatilah pertemuan dengan Tuhanmu.
Bait ini dikutip dari petikan akhir puisi berjudul ”Kain Kafan” karya L.K. Ara, penyair Aceh. Bait-bait menyentuh ini akan menjadi bagian dari 200 puisi dari 200 penyair yang dikumpulkan dalam antologi puisi berjudul Mahaduka Aceh. Antlogi ini merupakan ungkapan simpati, refleksi, dan perenungan atas bencana tsunami yang melanda Aceh, termasuk sebagian Sumatera Utara.

Selain karya L.K. Ara yang pernah dilelang untuk amal di sebuah televisi swasta ini, antologi ini juga memuat karya penyair-penyair yang dikenal intens baik dengan bentuk estetika dan misi perjuangannya hingga ke penyair yang dalam proses. Doel CP Allisah, Fikar W. Eda, Rendra, Yudistira ANM Massardi, Ahmadun Yosi Herfanda, turut menyertakan karya mereka.
Ide, menurut Martin Aleida, anggota tim yang mengerjakan antologi ini, terjadi dalam dialog di Pusat Dokumentasi HB Yassin, pekan lalu. Dalam ajang yang dihadiri Fikar W. Eda, Wowok Esthi Prabowo, Binhad Nurrohmat, Sides Sudyarto DS, Arie MP Tamba, dan Slamet Widodo, muncul pertanyaan tentang yang bisa diperbuat para penyair, terutama berkaitan dengan karya seni yang telah digelutinya. Maka, muncullah pemikiran untuk menerbitkan sebuah antologi puisi.
”Penyelenggara adalah PDS HB Jassin, editornya adalah Endo Senggono (staf HB Jassin),” ujar Fikar W. Eda, sambil mengatakan bahwa nama-nama di atas diikutsertakan sebagai tim kerja.
Gayung pun bersambut. Para penyair memperlihatkan antusiasme yang luar biasa. Yudistira ANM Massardi langsung mengirim karya via e-mail setelah dikontak Martin Aleida. Rieke Dyah Pitaloka langsung menyetujui bila salah satu puisinya yang sempat diterbitkan di media massa disertakan dalam antologi ini.
Ikranegara bahkan memantau pengeditan sajaknya yang khawatir agak mengalami perubahan tipologi karena dikirim via milis, bukan dengan hubungan langsung antar-email. Ada berbagai cara penerimaan naskah, mulai dari pemberian naskah puisi langsung, faksimili yang dialamatkan ke PDS HB Jassin dan melalui email.
Antologi ini juga akan dibubuhi ilustrasi karya dari Lian Sahar, yang membuat gambar bercorak dekoratif dengan warna tua hitam dan kemerahan. Kecuali nama penyair yang dibubuhkan konvensional, judul dan tubuh puisi dari para penyair tetap dipertahankan untuk menjaga stilistika dan orisinalitas atau pun konsep puisi dari masing-masing penyair.
Kecil Namun Berarti
Dalam sebuah surat elektroniknya, sastrawan JJ Kusni yang tinggal di Prancis mengungkapkan simpatinya pada usaha membuat antologi ini. Dalam esainya, antologi puisi Aceh bisa dikatakan sebagai sikap sastra.
Tentu saja, diungkapkan JJ Kusni kalau hasil perolehan dari seluruh penjualan antologi ini, tak seberapa dibandingkan dengan dana solidaritas dan kepedulian dari sumber-sumber lain. ”Tapi masalah inti tidak terletak pada jumlah melainkan pada sikap kepedulian. Saya melihat kepedulian sastrawan pada kehidupan masyarakat dan lingkungannya…” tulisnya.
Respons dari tiap penyair di seluruh Indonesia (bahkan hingga luar Indonesia, misalnya dari Ben Abel dari Amerika, Saut Situmorang yang kebetulan saat ini berada di Jerman, Ikranegara dari Belanda), terhadap antologi berjudul ”Mahaduka Aceh” ini memang mengalir sehingga niatan yang termasuk spontan ini, dapat segera terwujudkan.
Tim kerja selain akan melakukan penjualan di tiap toko buku juga melalui distribusi lewat gerai Gramedia. Hasil penjualan ini diniati untuk membantu anak-anak korban Tsunami Aceh, termasuk anak-anak dari keluarga para seniman yang dikabarkan ikut menjadi korban di dalam gempa itu. ”Yang jelas, kita tekankan pada anak-anak, termasuk sokongan buat pendidikan mereka,” ujar Martin Aleida.
Belum dibicarakan bagaimana sistem peluncurannya, apakah akan ada penarikan dana amal dalam launch itu. ”Mekanisme ini akan dibicarakan, lalu hasilnya akan diserahkan sepenuhnya kepada Sajak (Perhimpunan Seniman Aceh se-Jabotabek) yang di dalamnya termasuk Fikar W. Eda,” papar Martin.
Organisasi Sajak yang pernah mementaskan ”The Art of Rampoe Aceh” mengangkat soal perjuangan rakyat Aceh di Taman Ismail Marzuki tahun lalu ini, sejak hari pertama pasca bencana Tsunami, sudah membuka posko di salah satu ruangan di areal Kafe Tenda Semanggi Jakarta. Misi mereka selain memberikan kiriman bantuan langsung berupa sandang, pangan kepada daerah yang terkena bencana, juga mengirimkan tim relawan. (srs)

Copyright © Sinar Harapan 2003

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger