Februari 08, 2005

LUKA RAKYAT ACEH DALAM BUKU SASTERA

Utusan Malaysia
7 Februari 2005
ms 07
Rencana


Oleh SHAHAROM TM SULAIMAN

Sastera di Aceh dalam 20 tahun terakhir tidak terlepas daripada persoalan konflik kerana selama ini hal-hal persengketaan konflik tidak pernah berhenti di Aceh. Orang Aceh selalu dicengkam ketakutan, didera kegelisahan bahkan juga tangisan. Dari hari ke hari, luka-luka masyarakat Aceh bukan makin sembuh, justeru makin melebar dan menyayat hati. Bencana tsunami melanjutkan kelukaan tersebut

Semasa dalam daerah operasi militer atau ketenteraan (DOM), Aceh menjadi tempat bersemayam korban-korban operasi tersebut akibat konflik berpanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Tentera Nasional Indonesia (TNI). Mayat-mayat kemudiannya bergelimpangan di jalan-jalan. Aktiviti warga menjadi terdesak,termasuk untuk mencari `makan', kerana bimbang dengan keselamatan diri. Awal tahun 1990-an seolah-olah menjadi titik `mati' bagi berbagai ragam aktiviti mayarakat, termasuk aktiviti kesenian, dan kebudayaan. Banyak karya seni di Aceh yang lahir dalam tempoh ini, baik teater, seni rupa, mahupun sastera, yang menukilkan persoalan-persoalan yang menjadi keresahan masyarakat. Sasterawan Hasyim K.S., misalnya, menulis cerpen Bingung.

Cerpen yang termuat dalam buku antologi sastera Putroe Phang terbitan Dewan Kesenian Aceh pada tahun 2002 itu bercerita tentang kebingungan malaikat menghadapi banyaknya orang mati dari berbagai daerah konflik di Aceh. Bukan saja kerana banyak kematian tetapi kematian mereka belum waktunya. Sehingga malaikat pun bingung menyediakan tempat kepada mereka, sebab tempat sudah `diplotkan' bagi yang mati sesuai dengan jadual kematiannya.

Ada juga cerpen yang menceritakan tentang orang Aceh yang berpindah-randah atau `pengungsi'. Cerpen Naharuddin yang bertajuk Eksodus, dalam antologi kumpulan cerpen Remuk, terbitan Dewan Kesenian Aceh menggambarkan sebuah ironi: Tempat pengungsian yang tidak pernah aman. Seorang warga yang mengungsi telah tertembak. Cerpen ini ingin menegaskan tidak ada tempat yang `baru' yang benar-benar selamat. Memang cerpen ini hanya rekaan atau fiksyen semata-mata tetapi ia bukan direka tanpa bukti yang sebenar. Ia tetap berangkat daripada konflik masyarakatnya.

Konflik yang terjadi di Aceh tidak hanya konflik antara satu kelompok dengan pemerintah, dalam diam-diam konflik juga terjadi secara horizontal yakni antara masyarakat sendiri. Misalnya, ia terjadi dengan munculnya orang-orang tertentu yang menjadi `mata-mata', atau dalam bahasa Aceh disebut cuak, pihak tentera. Dalam bahasa militernya kerap disebut TPO, tenaga pembantu operasi. Dalam sejumlah kes di Aceh, keberadaan cuak atau TPO ini cukup meresahkan warga Aceh. Masyarakat merasa segala pergerakannya diintip bahkan tindakan TPO sampai membunuh.

Naharuddin dalam cerpennya yang lain bertajuk Nyaklam, menceritakan seorang pemuda yang menjadi cuak. Ketika reformasi berlaku di Indonesia, orang-orang desa beramai-ramai ``mengganyang'' Nyaklam, yakni bunuh sampai mati. Persoalan cuak, juga ditulis oleh Ayi Jufridar, seorang cerpenis yang tinggal di Lhokseumawe, yang termuat dalam buku antologi cerpen Remuk, dengan tajuk Cuak. Ia menceritakan kemarahan masyarakat terhadap cuak dan sanggup membunuh sesiapa saja yang dituduh menjadi cuak. Cerpen ini berlatar di zaman pasca reformasi atau ketika DOM telah dimansuhkan, yang menyebabkan para cuak hidup dalam ketakutan.

Cerpenis lain yang konsisten menulis tentang Aceh adalah Azhari. Dalam buku kumpulan cerpennya bertajuk Perempuan Pala, terbitan Akademi Kebudayaan Yogyakarta, cerpenis kelahiran Aceh ini menulis segala hal tentang Aceh, terutama berkaitan dengan konflik, termasuk peristiwa dan legenda masa lalu. Di bidang kepenyairan pula, tidak kurang juga para penyair Aceh yang mengungkapkan kegelisahan, kesedihan, kemarahan dan kritik tentang situasi di Aceh. Pada awal 1990-an, misalnya, A.A. Manggeng Putra menulis Sajak yang Hilang di Musim Badaiyang termuat dalam buku antologi sastera Aceh, Seulawah. Sajak itu menceritakan banyak warga Aceh yang hilang secara `mendadak'.

A.A. Manggeng menulis: ``Aku cari engkau saudaraku yang sudah lama tidak kembali/ apakah musim badai tanah rencong ini/ telah mendekapmu di penjara-penjara rahsia?/. Begitu salah satu petikan baitnya, petikan kegelisahan A.A. Manggeng Putra. Penyair Doel C.P. Allisah pula dalam buku antologi puisi Keranda Keranda, menulis sebuah puisi dengan rasa pedih bercampur marah. Dalam salah satu bait puisi berjudul Mengingatmu Saudaraku, Doel menulis: ``Mengingatmu saudaraku yang kubayangkan adalah tawa para iblis/ yang mengurai isi perut orang-orang kalah/ atau derita ibu kita yang terpaksa merelakan tubuhnya/ digagahi pasukan hantu/ yang kita lahirkan dengan wang dan darah tanah air kita.''

Suasana kacau, yang juga dibalut kemarahan dengan keadaan di Aceh akibat konflik, juga terlihat dalam puisi Rosni Idham yang bertajuk Begitu Lelapkah Tidurmu. Sajak yang dimuat dalam buku Aceh dalam Puisi, terbitan Syaamil Cipta Media, Bandung menulis: Beribu lelaki tidak pernah kembali? Engkau tidak tahu siapa yang membawa pergi/ beribu anak tidak suka jadi yatim/ perempuan tak rela menyandang janda/ engkau tidak jelas siapa penyebabnya.'' Atau lihat pula pada sajak Din Saja dalam buku antologi puisi Dalam Beku Waktu terbitan NGO HAM Aceh. Sajak berjudul Mengapa Aku Angkat Senjata, Din menulis: ``Tahukah kau mengapa aku angkat senjata/ kerana kalian telah tuli dan pelupa/ untuk mendengarkan bencana yang kami derita.'' Din seolah-olah cuba menterjemahkan tentang situasi di Aceh

Boleh dikatakan buku-buku sastera yang memuatkan karya-karya sastrawan Aceh pada masa DOM dan pasca-DOM tidak terlepas daripada kegelisahan dan kepedihan pada konflik yang terjadi di daerah itu. Dan, barangkali dalam masa terdekat pula kita akan menyaksikan karya-karya sastera yang bersumber kesedihan warga Aceh ekoran bencana tsunami yang melanda Aceh. Di sisi lain pula, kegelisahan di Aceh juga menjadi perhatian sasterawan Indonesia di luar Aceh. Misalnya, buku Aceh Mendesak Dalam Nafasku, yang disunting oleh Fikar W. Eda menghimpun puisi-puisi penyair seperti Taufiq Ismail yang menulis sajak Pengungsi, S. Zazawi Imron dengan puisi Teringat Aceh, Hamid Jabbar dengan Dom Dom Domo Doomsday. Begitu juga Monttinggo Busye yang menulis cerpen Dua Tengkorak Kepala, Hamsad Rangkuti menulis Rencong dan Seno Gumira Ajidarma dengan cerpen Telepon dari Aceh.

Aceh memang telah menjadi sumber inspirasi bagi sejumlah sasterawan Indonesia. Sebuah inspirasi yang menggambarkan kegelisahan, kepedihan dan `kelukaan' yang berterusan. Namun, sejarah juga membuktikan bahawa masyarakat Aceh terkenal dengan kekentalannya dan tidak mudah menyerah kalah. Apakah tsunami akan melenyapkan segala-gala?


Hakcipta © 2005 Utusan Malaysia (M) Berhad. Perpustakaan KUTKM is not responsible for any inappropriate use of information contained in this site.

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger