infosastra.com/PUISI / DEC. 26, 2012 / BY REDAKSI
Hari ini, delapan tahun lalu, 26 Desember 2004, gempa dahsyat yang diikuti tsunami menghantam Aceh. Ratusan ribu orang menjadi korban. Nah, untuk mengenang mereka yang pergi bersama tsunami, Info Sastra menurunkan serangkaian puisi-puisi tentang tsunami dari sejumlah penyair Indonesia. Puisi-puisi tersebut dikutip dari berbagai sumber, seperti buku Syair Tsunami (Editor LK Ara dan Mustafa Ismail), milis, blog, dan sebagainya. Hak cipta pada penyair masing-masing.
Azhari
IBUKU BERSAYAP MERAH
Ibu, Abah dan Dik Nong
setelah bala aku pulang ingin melihat
kalian dan kampung
kukira 26 desember cuma mimpi buruk
tapi tak kutemukan kalian di sana,
juga Arif kecil yang cerewet
seperti kalian, kampung kita ternyata sudah tiada
berubah menjadi laut yang raya
lihat Ibu ada bangau putih
berdiri dengan sebelah kaki di bekas kamarmu
bangau itu tak bersayap merah
seperti dulu pernah kauceritakan padaku
karena aku tahu bangau itu telah memberikan sayap
merahnya buatmu
agar kau peluk Abah dan Dik Nong ke dalamnya
Banda Aceh 2005
Wiratmadinata
ZIARAH SUNYI
(mengenang sahabat-sahabat di Serambi Indonesia,
yang pergi bersama tsunami, 26 Desember 2004)
Apakah makna sebuah pertemuan?
Sekilas cahaya di langit kelam.
Mengerlip sesaat sebelum gugur waktu.
Kita, seperti sebuah musim berputar.
Sejarah, dimanakah ia bisa bertahan?
Dalam sebaris puisi dan do,a lirih.
Atau sebuah prosa yang tak pernah selesai.
Juga kata, yang tak sempurna dituliskan.
Mengenangkanmu apakah nian maknanya?
bagiku, yang tersisa dari perjalanan masygul
saat ombak-badai membawamu pergi begitu saja.
Lautan, begitu dalam menyimpan rahasia Tuhan.
Di sudut rumah kita yang telah menjelma samudra
kita pernah bergumul dalam hidup yang sengit
sampai sejarah melemparkanku ke negeri asing
sementara engkau bertahan menuntaskan pertarungan.
Kini aku menyapamu lewat bait-bait syair kelu
sebagai do,a bagi ziarahku yang getir dan kelabu
semoga engkau mendengar gumam kalbuku
di atas kota kita yang menyimpan luka lautan.
Tak akan kucari lagi jejak sejarah kita yang indah
di atas puing, potret yang pecah dan reruntuhan kota
atau di atas lumpur yang tak berdaya menyimpan
kenangan.
Tak akan kucari lagi, karena engkau telah abadi dalam
do’a.
Jakarta, 8 Pebruari 2004
Mustafa Ismail
SURAT-SURAT
surat-suratmu telah hanyut
jauh sebelum sabtu pekat itu
menjadi gelombang yang menenggelamkan
huruf-huruf dan jejak tanganmu
aku hanya menemukan kertas kosong
terselip dalam lipatan arloji
menyembul saat malam larut
dan orang-orang nyenyak
cuma sketsa tipis, lamat-lamat
menyeruak lalu senyap
tanganku gemetar untuk menulis kembali
huruf-huruf itu
juga jejak tanganmu
Depok, Desember 2005
Ahmadun Yosi Herfanda
AIR MATA ACEH
Mendengar namamu saja
Sudah menitik air mata
Sebab, sepanjang sejarahmu adalah luka
Pada masa Cut Nya
Peluru Belanda mengharu birumu
Pada masa merdeka
Peluru GAM dan serdadu melukai dadamu
Pada tubuhmu yang lunglai
Orde baru menyedot sumsum tulangmu
Dan kini gempa dan tsunami
Meluluh-lantakkanmu
Mendengar namamu saja
Sudah menitik air mata
Kerena tiap tarikan nafasmu
adalah derita
Pada mayat-mayat yang berserakan
Kutorehkan sajak-sajak pedihku
Namun semilyar kata pun
Tak cukup mencatat tangismu
Jakarta, Januari 2005
Hari ini, delapan tahun lalu, 26 Desember 2004, gempa dahsyat yang diikuti tsunami menghantam Aceh. Ratusan ribu orang menjadi korban. Nah, untuk mengenang mereka yang pergi bersama tsunami, Info Sastra menurunkan serangkaian puisi-puisi tentang tsunami dari sejumlah penyair Indonesia. Puisi-puisi tersebut dikutip dari berbagai sumber, seperti buku Syair Tsunami (Editor LK Ara dan Mustafa Ismail), milis, blog, dan sebagainya. Hak cipta pada penyair masing-masing.
Azhari
IBUKU BERSAYAP MERAH
Ibu, Abah dan Dik Nong
setelah bala aku pulang ingin melihat
kalian dan kampung
kukira 26 desember cuma mimpi buruk
tapi tak kutemukan kalian di sana,
juga Arif kecil yang cerewet
seperti kalian, kampung kita ternyata sudah tiada
berubah menjadi laut yang raya
lihat Ibu ada bangau putih
berdiri dengan sebelah kaki di bekas kamarmu
bangau itu tak bersayap merah
seperti dulu pernah kauceritakan padaku
karena aku tahu bangau itu telah memberikan sayap
merahnya buatmu
agar kau peluk Abah dan Dik Nong ke dalamnya
Banda Aceh 2005
Wiratmadinata
ZIARAH SUNYI
(mengenang sahabat-sahabat di Serambi Indonesia,
yang pergi bersama tsunami, 26 Desember 2004)
Apakah makna sebuah pertemuan?
Sekilas cahaya di langit kelam.
Mengerlip sesaat sebelum gugur waktu.
Kita, seperti sebuah musim berputar.
Sejarah, dimanakah ia bisa bertahan?
Dalam sebaris puisi dan do,a lirih.
Atau sebuah prosa yang tak pernah selesai.
Juga kata, yang tak sempurna dituliskan.
Mengenangkanmu apakah nian maknanya?
bagiku, yang tersisa dari perjalanan masygul
saat ombak-badai membawamu pergi begitu saja.
Lautan, begitu dalam menyimpan rahasia Tuhan.
Di sudut rumah kita yang telah menjelma samudra
kita pernah bergumul dalam hidup yang sengit
sampai sejarah melemparkanku ke negeri asing
sementara engkau bertahan menuntaskan pertarungan.
Kini aku menyapamu lewat bait-bait syair kelu
sebagai do,a bagi ziarahku yang getir dan kelabu
semoga engkau mendengar gumam kalbuku
di atas kota kita yang menyimpan luka lautan.
Tak akan kucari lagi jejak sejarah kita yang indah
di atas puing, potret yang pecah dan reruntuhan kota
atau di atas lumpur yang tak berdaya menyimpan
kenangan.
Tak akan kucari lagi, karena engkau telah abadi dalam
do’a.
Jakarta, 8 Pebruari 2004
Mustafa Ismail
SURAT-SURAT
surat-suratmu telah hanyut
jauh sebelum sabtu pekat itu
menjadi gelombang yang menenggelamkan
huruf-huruf dan jejak tanganmu
aku hanya menemukan kertas kosong
terselip dalam lipatan arloji
menyembul saat malam larut
dan orang-orang nyenyak
cuma sketsa tipis, lamat-lamat
menyeruak lalu senyap
tanganku gemetar untuk menulis kembali
huruf-huruf itu
juga jejak tanganmu
Depok, Desember 2005
Ahmadun Yosi Herfanda
AIR MATA ACEH
Mendengar namamu saja
Sudah menitik air mata
Sebab, sepanjang sejarahmu adalah luka
Pada masa Cut Nya
Peluru Belanda mengharu birumu
Pada masa merdeka
Peluru GAM dan serdadu melukai dadamu
Pada tubuhmu yang lunglai
Orde baru menyedot sumsum tulangmu
Dan kini gempa dan tsunami
Meluluh-lantakkanmu
Mendengar namamu saja
Sudah menitik air mata
Kerena tiap tarikan nafasmu
adalah derita
Pada mayat-mayat yang berserakan
Kutorehkan sajak-sajak pedihku
Namun semilyar kata pun
Tak cukup mencatat tangismu
Jakarta, Januari 2005
D. Kemalawati
SAJAK UNTUK PELUKIS OMBAK
untuk: Virse Venny
apakah artinya sajakku ini
ketika ombak yang kau lukiskan di kanvas biru
tak lagi mendamaikan hatiku
buihnya tak putih lagi membelai tepian
ia telah murka
tubuhnya yang jenjang menyentuh langit
menerkam apa saja
apakah pagi itu engkau masih membedaki
punggung suamimu
yang lelah berbaring seharian
memandikan sikecilmu
sambil mencandai keningnya yang lucu
atau sedang menyisir rambut keriting gadismu
apakah artinya sajakku ini
ketika aku tak bisa menerka
di belantara manakah jasadmu kini
engkaukah yang masih terbaring
diantara tubuh legam, kaku dan kesepian
terjepit diantara puing-puing reruntuhan
engkaukah itu yang dibalut kantong-kantong hitam
ditumpuki dipinggir-pinggir jalan
tanpa air terakhir dan kain kafan
engkaukah itu yang hanya diantar relawan
ke liang-liang panjang pekuburan
tanpa kutemukan batu nisan
kepada siapa lagi kutawarkan sajakku
agar menjadi talenta dalam geliat warna
memaknai langkah kaki telanjang ini
aku lelah menyusuri lorong-lorong hampa
mencari tapak rumahmu
menemukan sisa-sisa lukisan di dindingnya
atau memungut kuas kecil
saat kau lukiskan ombak itu
aku kini hanya bisa memandang ombakku
dalam lukisanmu
dalam ikhlas zikirku ,tahlilku, tahmidku
kumohonkan pada Mu ya Allah
sucikan jasad saudara-saudaraku
yang pulang dalam gemuruh ombak-Mu.
Banda Aceh, 9-10 Januari 05
Deny Pasla
DZIKIR ANAK LAUT
aku dengar semalam suntuk derumu yang pilu menyeru anak laut berdzikir
Kepada daratan, kota-kota di dunia karena mereka tak pernah tidur dan lupa
Tak ubahnya seperti balita terpedaya oleh boneka
Ternyata laut juga punya kuasa
Aku dengar dari lantai empat ratus delapan puluh dua
Kau berteriak pada malam yang tak pernah dijamu kepasrahan tajajjud kota-kota yang angkuh
Sepuh sehingga pagi harus menanggung beban gelombang itu pun teramat santun
Aku dengar datatan kota-kota pagi itu tiba berdzikir
Anak-anak laut berteriak menjemput kematian dalam sujud mereka yang panjang
Menghempang maut dan terseret di pintu-pintu terbuka rahim ibu mereka di daratan
Yang pongah itu tak sanggup menghalangi langkah gaib tsunami kematian sebegitu dekat
Dengan nafas magma larva hitam
Tak ada jalan lain dari kematian yang menyeringai doa-doa
Kehilangan mukjizatnya
Takdir harus dipercaya hari itu karena telah mengunci setiap jiwa
Aroma kematian semakin mesra mendekapnya
Aku melihatmu ketika itu perahu berada tepat di ujung kakiku
Berdiri seperti seekor teri
Jaring-jaring api bergelombang dalam saf-saf maha panjang
Kengerian muncul di barisan belakang
Hasan Aspahani
TUAN NUH
akulah penumpang yang terjun dari kapalmu
terbuai landai pantai yang tiba-tiba surut
akulah penumpang karam pada bandang banjirmu
padahal amuk laut tak pernah minta disambut
Sam Haidy
INDONESIA MENANGIS
Tak akan sempat nisan terpahat;
ribuan nama memesan bersama-sama.
Sementara,
mayat-mayat yang belum berangkat,
terbaring berselimut puing-puing.
O, Tsunami,
airmu bermuara di mata kami!
Aan M Mansyur
KISAH SEORANG PENJUAL KAFAN
tak seperti di kiri dan di kanan
tokonya selalu sepi pelanggan
meski ia juga menjual kain
seperti toko-toko yang lain
kalau ada orang yang mati
apalagi penguasa yang suka korupsi
ia sungguh bersenang hati
sebab kainnya laku terbeli
begitulah dari jaman ke jaman
ia hanya berjualan kain kafan
agar hidupnya bisa terus berjalan
dan anak-istrinya bisa makan
semalam ia lihat dari tv disiarkan
di aceh sebuah musibah datang
di mana-mana mayat berserakan
mengiris hati, sungguh menyedihkan
ia menangis dan berucap pelan,
“sungguh, ini bukan doaku, Tuhan!”
12/2004
Nurdin F. Joes
AKU MASIH PANJANG UMUR
Atas segala kerelaan-Mu, Tuhanku
umurku masih panjang
tidak tenggelam dalam pecah tanah
gempa bumi
tidak juga digulung dalam gelombang raya
tsunami
dan tidak terlalu menderita pengungsi
bergerak ke sana ke mari
menuju tiga kota: Langsa, Lhokseumawe
dan Sigli
Panjang umur itu, Tuhanku
bukan berarti tidak akan mati
mungkin juga tak lama lagi
Engkau sengaja panjangkan umur
untuk menguji ketabahan
seberapa besar tersisa kesabaran
sebesar apa rasa cinta sesama
memahami penderitaan si miskin
merasakan pahit kaum papa
mendengar jerit tangis anak-anak
kehilangan ayah ibunya
mendengar tangis suami kehilangan anak-anak
dan istrinya
mendengar raungan keras ibu yang kehilangan
anak-anak dan suaminya
mendengar gemuruh huru-hara manusia
yang kehilangan harta bendanya
mereka lapar berhari-hari
turun tangisnya berhari-hari
sampai kemudian tangispun tak ada lagi
oleh sebab air mata yang tak ada lagi
Atas segala izin-Mu, Tuhanku
umurku masih panjang
dan bukan berarti tidak akan mati
matiku sudah tercatat di tangan-Mu
ketika benih cinta di tanam ayah-ibuku
Engkau tentu telah menulis
kapan akan mati
di mana rezeki
di mana pertemuan
dan di mana kekasih
Atas maha kasih-Mu, Tuhanku
umurku masih panjang
dan bukan berarti tidak akan mati
tapi dalam maha kasih-Mu itu
betapa aku masih sangat pincang
berjalan tertatih-tatih menuju rumah-Mu
betapa terbata-bata ku baca firman-Mu
betapa aku masih kurang paham
Menghadap kiblat-Mu
itu terlihat dari:
betapa banyak anak-anak manusia lapar
padahal aku adalah ayah-ibunya
betapa banyak kaum hawa menangis
padahal aku adalah pelindungnya
betapa banyak lelaki merintih
padahal aku adalah saudaranya
betapa banyak para miskin papa
padahal nasi yang kumakan adalah makanannya
betapa banyak anak-anak telanjang tak berbaju
padahal pakaianku adalah pakaiannya
betapa banyak bocah-bocah keras menangis
padahal tangis mereka adalah tangisku juga
betapa hanya mengasihi anak-anak sendiri
padahal anak-anak lain adalah juga anak-anakku sendiri
Atas segala maharahim dan maharahman-Mu
umurku masih panjang
telah benarlah Engkau maha pengasih
Engkau telah banyak memberi
terlalu banyak merela
terlalu banyak mengasih
terlalu banyak menjaga
tetapi aku yang terlalu banyak Kau beri
jarang memberi
Engkau yang terlalu banyak merela
terlalu jarang aku merela
Engkau yang terlalu banyak mengasih
terlalu jarang aku memberi kasih
Engkau yang terlalu banyak menjaga
terkadang aku tidak menjaga diri sendiri
Atas segalamahaakbar-Mu, Tuhanku
umurku masih panjang
dalam panjang umur itu
aku mohon maaf atas khilafku
luruskan jalanku untuk kembali
bila suatu saat Kau tentukan titik henti
Banda Aceh, 08 Februari 2005
Mohd. Harun Al Rasyid
AKU BERTANYA PADA-MU
(Bagi korban tsunami)
Tuhan
Kami adalah titik zarrah
Bertaburan di bumi-Mu
Yang berhiaskan kasih dan cinta
Kini menunduk dalam sunyi jiwa
Dengan wajah tanpa cahaya ruh
Setelah kasih dan cinta-Mu tercabut
Meski hanya sekejap
Wahai Tuhan Yang Maha Kudus
Aku bertanya pada-Mu
Mangapa kasih-Mu Kau cabut
Pada pagi ahad 26 Desember 2004
Kala surya melambai dalam damai
Kala bayiku sedang bercanda dengan ibunya
Kala putri kecilku sedang sarapan di beranda
Mengapa gempa dan tsunami
Menenggelamkan tangis puluhan ribu bayi
Menggoyang jantung puluhan ribu anak-anak
Menyirnakan ratapan pilu puluhan ribu ibu hamil
Dan menyusui, serta puluhan ribu orang tua renta
Wahai Khaliqurrahman
Aku bertanya pada-Mu
Mengapa Kau kirim buldozer-Mu
Dari dasar laut yang sunyi dan amis
Buldozer dengan rupa naga
Jemarinya angker meremas-remas alam
Lalu menelan bayi-bayi kami
Anak-anak kami
Istri-istri kami
Suami-suami kami
Ibu-ibu kami
Ayah-ayah kami
Adik-adik kami
Kakak-kakak kami
Saudara-saudara kami
Tanpa memilih dan memilah mangsa?
Tuhan
Sebagai ayah aku hanya ingin bertanya
Karena kutahu anakku yang belia
Belum tahu apa-apa dengan kemunafikan
Belum kenal aneka kemusyrikan
Belum tahu mengenai bibit-bibit dendam
Apalagi dengan nafsu angkara murka
O Tuhan Yang Maha Menjaga
Sebagai hamba aku sadar dalam iman
Aku adalah ciptaan-Mu
Sebagaimana anak-anak dan istriku
Yang telah kau panggil
Bersama lebih dua ratus lima puluh ribu jiwa
Di bawah singgasana-Mu
Perkenan aku memohon
Berilah mereka payung cinta-Mu
Abadi dalam rahmat
Dan aku yang masih bernafas
Sadarkanlah
Sadarkanlah
Sadarkanlah
Agar selalu mampu merangkai rasa sedih
Menjadi untaian tasbih
Merangkai gelisah menjadi sajadah
Tuhan Yang Maha Perencana
Aku bertanya pada-Mu
Karena aku sadar memiliki-Mu
Desember 2004 – Januari 2005
Sulaiman Tripa
ADA KHANDURI DI GAMPONG KAMI
ada khanduri di gampong kami
karena ada orang yang telah mati
tapi sebenarnya bukan khanduri
orang gampong harus mengingat Rabbi
banyak tamu yang datang
dari berbagai taman
lalu mereka melaksanakan khanduri
yang jauh dari mengingat Rabbi.
banda aceh, 2005-2006.
Fikar W.Eda
NYERI ACEH
Tanah Aceh, nyeri kami
nyeri daging dan tulang kami
nyeri darah dan tangis kami
nyeri gigil,
nyeri perih
nyeri kami
inilah nyeri kami.
nyeri laut menggulung pantai
lumatlah rumah,
remuklah pohon
dan tubuh kami, tubuh kami
bercecer dihimpitan pohon itu
hanyut bersama papan berlumut
mengapung di jembatan roboh
nyelinap di selokan
terdampar di trotoar basah
tersangkut pada ranting-ranting beku
Tanah Serambi Mekkah, nyeri kami
nyeri daging dan tulang kami
nyeri darah dan tangis kami
nyeri gigil
nyeri perih
nyeri kami
inilah nyeri kami
bocang bocah polos
berlari di pasir.
di belakangnya ibu dan bapak
menangkapi ikan-ikan terdampar
ketika laut surut
tapi tiba-tiba
gemuruh menerbangkan pasir
langit gelap
ombak membentuk lipatan
menerjang dari arah belakang
tubuh rapuh tersentak ke depan
membentur beton-beton
terdorong ribuan meter
bocah bocah itu
bagai kapas terlilit gulungan laut
terdampar di tanah datar
menghapus jejak-jejak di pasir
lenyaplah tawa
raiblah canda
Nestapa Aceh dalam nyeri dan perih kami
jangan kalian cari lagi Meulaboh
jangan kalian tanya di mana Banda Aceh
dimana Calang, Teunom, Lamno, Lhokseumawe,
Bireuen, atau Sigli
peta-peta telah koyak
terlipat dalam gulungan laut
Ya Allah
rebahkanlah mereka
bocah-bocah itu,
orang-orang tua itu
laki-laki dan perempuan itu
di atas permadani-Mu yang harum
tempatkanlah mereka pada
sisi-Mu yang maha mulia
dan kepada kami, ya Allah
berilah kekuatan
menanggungkan perih ini
menjadikannya cermin
tempat kami memungut hikmah.
2004
din saja
TSUNAMI DAN NYANYIAN SUNYI
sudahlah, tsunami ini bukan bencana,
hanya peringatan, bagi kita semua,
yang tak peduli dengan nasib orang-orang miskin
bersyukurlah, tsunami ini berkenan dating,
untuk mengingatkan kita tentang kekuasaan
bukan tujuan, bukan alat
untuk menindas orang-orang tak berdaya
tsunami datang
orang-orang dating
tsunami pergi
orang-orang pergi
tinggallah sepi berteman sunyi
yang pergi pergilah
yang tinggal mampuslah
Banda Aceh, 8 Januari 2005
Wina SW1
AKHIRMU
laut mengantar pinangan
tanpa jeunamee*) dan idang meulapeh*)
maka menikahlah engkau dengan keabadian
Kyoto, 12 Januari 2005
*) jeunamee adalah emas kawin
*) idang meulapeh adalah hidangan (makanan) special (utama) dalam acara perkawinan di Aceh, juga acara maulid nabi Muhammad SAW.
Doel CP Allisah
INGATAN. 2
: bagi yang pergi bersama tsunami
wajah-wajah kalian jelas sekali tergambar
begitu dekat, melekat
begitu manis, menawan
adik-adikku
anak-anakku, para ponakan kecil nakal
aku ingat kediaman dan kepatuhanmu terakhir, (pai) – cut nourah
aku ingat kegilaan nonton bolamu, (nova) – novi – dinda
aku ingat rengkuhan minta gendongmu. (lydia) – razi – abi – khalis
aku ingat ceriwismu, (oliv)
aku ingat semua, berwarna
kalianlah “perusuh abadi“ rumahku yang hening
kalianlah kembang harum di halamanku
yang mengirim tiap wangi ke dasar hati.
wajah-wajah kalian jelas sekali tergambar
dan aku tak ingin menghapusnya sepanjang masa
menjadi kenangan nikmat dalam renungku
menjadi alunan musik dalam nafasku
wajah kalian begitu jelas dalam airmataku
bergandengan tangan menuju surga!
Putra World Trade Centre,
Kuala Lumpur, Malaysia, 25 maret 2006
LK Ara
KAIN KAFAN
Masihkah sempat kain kafan
Yang kami kirimkan
Untuk membungkus tubuhmu saudaraku
Tubuhmu begitu cepat lunglai
Dan tak bernyawa lagi
Oleh badai tsunami
Masihkah sempat kain kafan
Yang kami kirimkan
Untuk membungkus tubuhmu saudaraku
Mengingat tempat kita
Kini berjauhan
Dipisahkan pulau
Dipisahkan lautan
Kain kafan yang kami kirimkan
Kain kafan putih
Bersih
Ingin membungkus tubuhmu
Penghabisan kali
Sebelum tubuhmu dibaringkan
DI rumahmu terakhir
Bila kain kafan
Yang kami kirimkan
Belum juga sampai
Oleh banyak hal
Termasuk kesulitan pengangkutan
Dan pendeknya waktu
Sedang tubuhmu
Harus segera
Mendiami rumah baru
Kami telah mengirim
Alfatihah lebih dahulu
Tenanglah tidur saudaraku
Nikmatilah pertemuan dengan Tuhanmu
Pangkalpinang, 28 Des 2004
SAJAK UNTUK PELUKIS OMBAK
untuk: Virse Venny
apakah artinya sajakku ini
ketika ombak yang kau lukiskan di kanvas biru
tak lagi mendamaikan hatiku
buihnya tak putih lagi membelai tepian
ia telah murka
tubuhnya yang jenjang menyentuh langit
menerkam apa saja
apakah pagi itu engkau masih membedaki
punggung suamimu
yang lelah berbaring seharian
memandikan sikecilmu
sambil mencandai keningnya yang lucu
atau sedang menyisir rambut keriting gadismu
apakah artinya sajakku ini
ketika aku tak bisa menerka
di belantara manakah jasadmu kini
engkaukah yang masih terbaring
diantara tubuh legam, kaku dan kesepian
terjepit diantara puing-puing reruntuhan
engkaukah itu yang dibalut kantong-kantong hitam
ditumpuki dipinggir-pinggir jalan
tanpa air terakhir dan kain kafan
engkaukah itu yang hanya diantar relawan
ke liang-liang panjang pekuburan
tanpa kutemukan batu nisan
kepada siapa lagi kutawarkan sajakku
agar menjadi talenta dalam geliat warna
memaknai langkah kaki telanjang ini
aku lelah menyusuri lorong-lorong hampa
mencari tapak rumahmu
menemukan sisa-sisa lukisan di dindingnya
atau memungut kuas kecil
saat kau lukiskan ombak itu
aku kini hanya bisa memandang ombakku
dalam lukisanmu
dalam ikhlas zikirku ,tahlilku, tahmidku
kumohonkan pada Mu ya Allah
sucikan jasad saudara-saudaraku
yang pulang dalam gemuruh ombak-Mu.
Banda Aceh, 9-10 Januari 05
Deny Pasla
DZIKIR ANAK LAUT
aku dengar semalam suntuk derumu yang pilu menyeru anak laut berdzikir
Kepada daratan, kota-kota di dunia karena mereka tak pernah tidur dan lupa
Tak ubahnya seperti balita terpedaya oleh boneka
Ternyata laut juga punya kuasa
Aku dengar dari lantai empat ratus delapan puluh dua
Kau berteriak pada malam yang tak pernah dijamu kepasrahan tajajjud kota-kota yang angkuh
Sepuh sehingga pagi harus menanggung beban gelombang itu pun teramat santun
Aku dengar datatan kota-kota pagi itu tiba berdzikir
Anak-anak laut berteriak menjemput kematian dalam sujud mereka yang panjang
Menghempang maut dan terseret di pintu-pintu terbuka rahim ibu mereka di daratan
Yang pongah itu tak sanggup menghalangi langkah gaib tsunami kematian sebegitu dekat
Dengan nafas magma larva hitam
Tak ada jalan lain dari kematian yang menyeringai doa-doa
Kehilangan mukjizatnya
Takdir harus dipercaya hari itu karena telah mengunci setiap jiwa
Aroma kematian semakin mesra mendekapnya
Aku melihatmu ketika itu perahu berada tepat di ujung kakiku
Berdiri seperti seekor teri
Jaring-jaring api bergelombang dalam saf-saf maha panjang
Kengerian muncul di barisan belakang
Hasan Aspahani
TUAN NUH
akulah penumpang yang terjun dari kapalmu
terbuai landai pantai yang tiba-tiba surut
akulah penumpang karam pada bandang banjirmu
padahal amuk laut tak pernah minta disambut
Sam Haidy
INDONESIA MENANGIS
Tak akan sempat nisan terpahat;
ribuan nama memesan bersama-sama.
Sementara,
mayat-mayat yang belum berangkat,
terbaring berselimut puing-puing.
O, Tsunami,
airmu bermuara di mata kami!
Aan M Mansyur
KISAH SEORANG PENJUAL KAFAN
tak seperti di kiri dan di kanan
tokonya selalu sepi pelanggan
meski ia juga menjual kain
seperti toko-toko yang lain
kalau ada orang yang mati
apalagi penguasa yang suka korupsi
ia sungguh bersenang hati
sebab kainnya laku terbeli
begitulah dari jaman ke jaman
ia hanya berjualan kain kafan
agar hidupnya bisa terus berjalan
dan anak-istrinya bisa makan
semalam ia lihat dari tv disiarkan
di aceh sebuah musibah datang
di mana-mana mayat berserakan
mengiris hati, sungguh menyedihkan
ia menangis dan berucap pelan,
“sungguh, ini bukan doaku, Tuhan!”
12/2004
Nurdin F. Joes
AKU MASIH PANJANG UMUR
Atas segala kerelaan-Mu, Tuhanku
umurku masih panjang
tidak tenggelam dalam pecah tanah
gempa bumi
tidak juga digulung dalam gelombang raya
tsunami
dan tidak terlalu menderita pengungsi
bergerak ke sana ke mari
menuju tiga kota: Langsa, Lhokseumawe
dan Sigli
Panjang umur itu, Tuhanku
bukan berarti tidak akan mati
mungkin juga tak lama lagi
Engkau sengaja panjangkan umur
untuk menguji ketabahan
seberapa besar tersisa kesabaran
sebesar apa rasa cinta sesama
memahami penderitaan si miskin
merasakan pahit kaum papa
mendengar jerit tangis anak-anak
kehilangan ayah ibunya
mendengar tangis suami kehilangan anak-anak
dan istrinya
mendengar raungan keras ibu yang kehilangan
anak-anak dan suaminya
mendengar gemuruh huru-hara manusia
yang kehilangan harta bendanya
mereka lapar berhari-hari
turun tangisnya berhari-hari
sampai kemudian tangispun tak ada lagi
oleh sebab air mata yang tak ada lagi
Atas segala izin-Mu, Tuhanku
umurku masih panjang
dan bukan berarti tidak akan mati
matiku sudah tercatat di tangan-Mu
ketika benih cinta di tanam ayah-ibuku
Engkau tentu telah menulis
kapan akan mati
di mana rezeki
di mana pertemuan
dan di mana kekasih
Atas maha kasih-Mu, Tuhanku
umurku masih panjang
dan bukan berarti tidak akan mati
tapi dalam maha kasih-Mu itu
betapa aku masih sangat pincang
berjalan tertatih-tatih menuju rumah-Mu
betapa terbata-bata ku baca firman-Mu
betapa aku masih kurang paham
Menghadap kiblat-Mu
itu terlihat dari:
betapa banyak anak-anak manusia lapar
padahal aku adalah ayah-ibunya
betapa banyak kaum hawa menangis
padahal aku adalah pelindungnya
betapa banyak lelaki merintih
padahal aku adalah saudaranya
betapa banyak para miskin papa
padahal nasi yang kumakan adalah makanannya
betapa banyak anak-anak telanjang tak berbaju
padahal pakaianku adalah pakaiannya
betapa banyak bocah-bocah keras menangis
padahal tangis mereka adalah tangisku juga
betapa hanya mengasihi anak-anak sendiri
padahal anak-anak lain adalah juga anak-anakku sendiri
Atas segala maharahim dan maharahman-Mu
umurku masih panjang
telah benarlah Engkau maha pengasih
Engkau telah banyak memberi
terlalu banyak merela
terlalu banyak mengasih
terlalu banyak menjaga
tetapi aku yang terlalu banyak Kau beri
jarang memberi
Engkau yang terlalu banyak merela
terlalu jarang aku merela
Engkau yang terlalu banyak mengasih
terlalu jarang aku memberi kasih
Engkau yang terlalu banyak menjaga
terkadang aku tidak menjaga diri sendiri
Atas segalamahaakbar-Mu, Tuhanku
umurku masih panjang
dalam panjang umur itu
aku mohon maaf atas khilafku
luruskan jalanku untuk kembali
bila suatu saat Kau tentukan titik henti
Banda Aceh, 08 Februari 2005
Mohd. Harun Al Rasyid
AKU BERTANYA PADA-MU
(Bagi korban tsunami)
Tuhan
Kami adalah titik zarrah
Bertaburan di bumi-Mu
Yang berhiaskan kasih dan cinta
Kini menunduk dalam sunyi jiwa
Dengan wajah tanpa cahaya ruh
Setelah kasih dan cinta-Mu tercabut
Meski hanya sekejap
Wahai Tuhan Yang Maha Kudus
Aku bertanya pada-Mu
Mangapa kasih-Mu Kau cabut
Pada pagi ahad 26 Desember 2004
Kala surya melambai dalam damai
Kala bayiku sedang bercanda dengan ibunya
Kala putri kecilku sedang sarapan di beranda
Mengapa gempa dan tsunami
Menenggelamkan tangis puluhan ribu bayi
Menggoyang jantung puluhan ribu anak-anak
Menyirnakan ratapan pilu puluhan ribu ibu hamil
Dan menyusui, serta puluhan ribu orang tua renta
Wahai Khaliqurrahman
Aku bertanya pada-Mu
Mengapa Kau kirim buldozer-Mu
Dari dasar laut yang sunyi dan amis
Buldozer dengan rupa naga
Jemarinya angker meremas-remas alam
Lalu menelan bayi-bayi kami
Anak-anak kami
Istri-istri kami
Suami-suami kami
Ibu-ibu kami
Ayah-ayah kami
Adik-adik kami
Kakak-kakak kami
Saudara-saudara kami
Tanpa memilih dan memilah mangsa?
Tuhan
Sebagai ayah aku hanya ingin bertanya
Karena kutahu anakku yang belia
Belum tahu apa-apa dengan kemunafikan
Belum kenal aneka kemusyrikan
Belum tahu mengenai bibit-bibit dendam
Apalagi dengan nafsu angkara murka
O Tuhan Yang Maha Menjaga
Sebagai hamba aku sadar dalam iman
Aku adalah ciptaan-Mu
Sebagaimana anak-anak dan istriku
Yang telah kau panggil
Bersama lebih dua ratus lima puluh ribu jiwa
Di bawah singgasana-Mu
Perkenan aku memohon
Berilah mereka payung cinta-Mu
Abadi dalam rahmat
Dan aku yang masih bernafas
Sadarkanlah
Sadarkanlah
Sadarkanlah
Agar selalu mampu merangkai rasa sedih
Menjadi untaian tasbih
Merangkai gelisah menjadi sajadah
Tuhan Yang Maha Perencana
Aku bertanya pada-Mu
Karena aku sadar memiliki-Mu
Desember 2004 – Januari 2005
Sulaiman Tripa
ADA KHANDURI DI GAMPONG KAMI
ada khanduri di gampong kami
karena ada orang yang telah mati
tapi sebenarnya bukan khanduri
orang gampong harus mengingat Rabbi
banyak tamu yang datang
dari berbagai taman
lalu mereka melaksanakan khanduri
yang jauh dari mengingat Rabbi.
banda aceh, 2005-2006.
Fikar W.Eda
NYERI ACEH
Tanah Aceh, nyeri kami
nyeri daging dan tulang kami
nyeri darah dan tangis kami
nyeri gigil,
nyeri perih
nyeri kami
inilah nyeri kami.
nyeri laut menggulung pantai
lumatlah rumah,
remuklah pohon
dan tubuh kami, tubuh kami
bercecer dihimpitan pohon itu
hanyut bersama papan berlumut
mengapung di jembatan roboh
nyelinap di selokan
terdampar di trotoar basah
tersangkut pada ranting-ranting beku
Tanah Serambi Mekkah, nyeri kami
nyeri daging dan tulang kami
nyeri darah dan tangis kami
nyeri gigil
nyeri perih
nyeri kami
inilah nyeri kami
bocang bocah polos
berlari di pasir.
di belakangnya ibu dan bapak
menangkapi ikan-ikan terdampar
ketika laut surut
tapi tiba-tiba
gemuruh menerbangkan pasir
langit gelap
ombak membentuk lipatan
menerjang dari arah belakang
tubuh rapuh tersentak ke depan
membentur beton-beton
terdorong ribuan meter
bocah bocah itu
bagai kapas terlilit gulungan laut
terdampar di tanah datar
menghapus jejak-jejak di pasir
lenyaplah tawa
raiblah canda
Nestapa Aceh dalam nyeri dan perih kami
jangan kalian cari lagi Meulaboh
jangan kalian tanya di mana Banda Aceh
dimana Calang, Teunom, Lamno, Lhokseumawe,
Bireuen, atau Sigli
peta-peta telah koyak
terlipat dalam gulungan laut
Ya Allah
rebahkanlah mereka
bocah-bocah itu,
orang-orang tua itu
laki-laki dan perempuan itu
di atas permadani-Mu yang harum
tempatkanlah mereka pada
sisi-Mu yang maha mulia
dan kepada kami, ya Allah
berilah kekuatan
menanggungkan perih ini
menjadikannya cermin
tempat kami memungut hikmah.
2004
din saja
TSUNAMI DAN NYANYIAN SUNYI
sudahlah, tsunami ini bukan bencana,
hanya peringatan, bagi kita semua,
yang tak peduli dengan nasib orang-orang miskin
bersyukurlah, tsunami ini berkenan dating,
untuk mengingatkan kita tentang kekuasaan
bukan tujuan, bukan alat
untuk menindas orang-orang tak berdaya
tsunami datang
orang-orang dating
tsunami pergi
orang-orang pergi
tinggallah sepi berteman sunyi
yang pergi pergilah
yang tinggal mampuslah
Banda Aceh, 8 Januari 2005
Wina SW1
AKHIRMU
laut mengantar pinangan
tanpa jeunamee*) dan idang meulapeh*)
maka menikahlah engkau dengan keabadian
Kyoto, 12 Januari 2005
*) jeunamee adalah emas kawin
*) idang meulapeh adalah hidangan (makanan) special (utama) dalam acara perkawinan di Aceh, juga acara maulid nabi Muhammad SAW.
Doel CP Allisah
INGATAN. 2
: bagi yang pergi bersama tsunami
wajah-wajah kalian jelas sekali tergambar
begitu dekat, melekat
begitu manis, menawan
adik-adikku
anak-anakku, para ponakan kecil nakal
aku ingat kediaman dan kepatuhanmu terakhir, (pai) – cut nourah
aku ingat kegilaan nonton bolamu, (nova) – novi – dinda
aku ingat rengkuhan minta gendongmu. (lydia) – razi – abi – khalis
aku ingat ceriwismu, (oliv)
aku ingat semua, berwarna
kalianlah “perusuh abadi“ rumahku yang hening
kalianlah kembang harum di halamanku
yang mengirim tiap wangi ke dasar hati.
wajah-wajah kalian jelas sekali tergambar
dan aku tak ingin menghapusnya sepanjang masa
menjadi kenangan nikmat dalam renungku
menjadi alunan musik dalam nafasku
wajah kalian begitu jelas dalam airmataku
bergandengan tangan menuju surga!
Putra World Trade Centre,
Kuala Lumpur, Malaysia, 25 maret 2006
LK Ara
KAIN KAFAN
Masihkah sempat kain kafan
Yang kami kirimkan
Untuk membungkus tubuhmu saudaraku
Tubuhmu begitu cepat lunglai
Dan tak bernyawa lagi
Oleh badai tsunami
Masihkah sempat kain kafan
Yang kami kirimkan
Untuk membungkus tubuhmu saudaraku
Mengingat tempat kita
Kini berjauhan
Dipisahkan pulau
Dipisahkan lautan
Kain kafan yang kami kirimkan
Kain kafan putih
Bersih
Ingin membungkus tubuhmu
Penghabisan kali
Sebelum tubuhmu dibaringkan
DI rumahmu terakhir
Bila kain kafan
Yang kami kirimkan
Belum juga sampai
Oleh banyak hal
Termasuk kesulitan pengangkutan
Dan pendeknya waktu
Sedang tubuhmu
Harus segera
Mendiami rumah baru
Kami telah mengirim
Alfatihah lebih dahulu
Tenanglah tidur saudaraku
Nikmatilah pertemuan dengan Tuhanmu
Pangkalpinang, 28 Des 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar