Djamaluddin Husita / www.husita.net
Kompasiana
OPINI | 14 June 2011 | 17:42
Dulu sewaktu kuliah saya seringkali menulis puisi, dan waktu itu antara tahun 1995 s.d 1998, puisi-puisi saya sering dimuat di sebuah Harian Lokal di Aceh yang sampai saat ini masih eksis yaitu harian Serambi Indonesia. Namun sayang semua puisi-puisi saya termasuk yang pernah dimuat itu hilang dibawa arus gelombang Tsunami.
Dalam sebuah essey budaya saat itu (saya lupa judul dan penulisnya) nama saya pernah tercantum sebagai salah satu penulis puisi aktif di Aceh. Saat itu, di harian lokal itu setiap hari minggu memang ada satu halaman budaya. Setelah tsunami, kolom itu sempat tidak ada lagi. Namun, saya melihat beberapa bulan terakhir ini, sudah ada halaman budaya tersebut. Hal yang sangat berkesan saat itu, pernah dimuat empat puisi saya sekaligus, dengan tajuk Sajak-Sajak Djamaluddin Husita.
Bahkan saat itu, pada bulan Agustus 1999 tiba-tiba mendapat sebuah surat yang ditujukan kepada saya yang isinya meminta saya menghadiri pertemuan sastra di Medan mewakili Aceh. Kalau tidak salah surat itu ditandantangi Hasyim KS (Alm), kalau tidak salah juga, beliau redaktur budaya serambi indonesia saat itu. Namun sayang, pada saat yang hampir bersamaan juga, datang undangan kuliah ke salah satu Universitas di Bandung. Mungkin karena sibuk kuliah, takut kehabisan beasiswa, kebiasaan menulis puisi hilang.
Saya ingin sampaikan pengalaman saya bagaimana awal mulanya saya menulis puisi. Sejak SMA saya sudah sering sekali membaca buku puisi. Setiap kali selesai membaca, selalu ada keinginan dalam hati untuk menulis puisi. Tetapi, setiap kali saya selesai menulis puisi selalu membuat saya tidak puas dengan apa yang telah saya tulis itu. Memang, beberapa saat selesai menulis saya merasa apa yang saya tulis itu bagus. Namun, selang beberapa hari kemudian terasa puisi itu tidak tidak ada apa-apanya. Lalu keinginan puisi hilang begitu saja.
Pada saat saya kuliah, meskipun saya bukan kuliah di jurusan sastra, tiba-tiba muncul keinginan saya untuk kembali menulis puisi. Hal itu karena saya membaca sebuah antologi puisi penyair Aceh. Beberapa nama penyair yang sangat terkenal di Aceh menulis puisinya di sana. Nama-nama yang sangat mempengaruhi saya, sebut saja Alm. Hasyim KS, Hasbi Burman (oleh harian kompas disebut presiden rex), Doel CP Alisah dan termasuk generasi muda saat itu yang saat ini masih sangat eksis adalah D’Kemalawati, WinaSw1, serta teman kuliah seangkatan saya Budi Arianto (Budi Art), serta masih ada beberapa yang lain.
Membaca puisi-puisi mereka itu yang memang sering menghiasi koran Serambi Indonesia keinginan saya menulis puisi muncul lagi. Terus terang saya begitu penasaran saat itu. Kenapa orang itu bisa. Karena penasaran, lalu saya baca berulang semua puisi mereka. Saya pelajari kata perkata sampai akhirnya saya bisa memahaminya. Lalu kerena itu kemudian muncul inspirasi untuk menulis puisi.
Kemudian, seingat saya, sekitar pertengahan/akhir tahun1995 puisi pertama saya dimuat di Serambi Indonesia. Terus terang saya betul-betul tidak ingat apa judul puisi pertama yang dimuat itu. Sebab, semua dokumen puisi itu termasuk komputer lenyap dibawa arus tsunami. (saya tidak tahu, apakah puisi saya yang pernah di muat si serambi masih ada tersimpan di harian serambi indonesia). Tetapi satu hal yang saya rasakan saat itu adalah perasaan senang.
Hanya ada satu-satunya puisi masa lalu saya yang tersisa, yang masih disimpan seseorang. Beberapa hari yang lalu diperlihatkan kembali pada saya. Puisi itu belum ada editan apapun. Saat itu saya tulis begitu saja. Judulnya: Menangislah Adinda.
Menanggislah adinda
(sebuah catatan)
Ketika kulihat rinai hujan membasahi kelopak matamu
rinai itu menyentuh perasaanku
lalu beribu-ribu syair ingin kutuliskan untukmu
adinda (bila tiba-tiba aku memanggilmu begitu)
bukan semata aku ingin menyelami telaga biru
mengajakmu menyaksikan ikan-ikan bekejaran di sana
lalu kita larut dalam kenisbian waktu
adinda (kalau boleh aku menyebutmu begitu)
ada yang ingin kusampaikan,
lebih dari sekedar cinta dan kasih sayang
sebuah ketulusan
…………………….
bila kini kutegur keinginanmu berterus terang
bukan karena sesuatu alasan, sekedar menutupi kelemahan
lalu menawarkan bermacam dalih
karena ku tahu,
aku bukanlah Ibrahim yang mampu mengulas pengertian
tapi aku bukan juga Ismail yang begitu pasrah
aku tahu, kau juga tahu aku ini bukan Nuh
(tak mampu membuat perahu,
dimana kau harus ada dan bersungguh-sungguh,
tidak pula agar kau segera serta
karena kepercayaan tidak bisa dipaksakan)
saat kulihat rinai hujan membasahi kelopak matamu itu
ada yang harus kau tahu
aku juga ingin sepertiimu
menangis di atas ridhanya
meskipun aku tidak punya lagi air mata
maka menangislah adinda
Tuhan masih membimbingMU
menjaga kemurnian lautan hati
banda aceh, Mei 1997
(DJ. H. Woyla)
Mungkin, pengalaman saya ini bisa menjadi pengalaman bagi anak-anak muda yang ingin menulis, terutama menulis puisi. Mudah-mudahan bermanfaat (DJH).
Kompasiana
OPINI | 14 June 2011 | 17:42
Dulu sewaktu kuliah saya seringkali menulis puisi, dan waktu itu antara tahun 1995 s.d 1998, puisi-puisi saya sering dimuat di sebuah Harian Lokal di Aceh yang sampai saat ini masih eksis yaitu harian Serambi Indonesia. Namun sayang semua puisi-puisi saya termasuk yang pernah dimuat itu hilang dibawa arus gelombang Tsunami.
Dalam sebuah essey budaya saat itu (saya lupa judul dan penulisnya) nama saya pernah tercantum sebagai salah satu penulis puisi aktif di Aceh. Saat itu, di harian lokal itu setiap hari minggu memang ada satu halaman budaya. Setelah tsunami, kolom itu sempat tidak ada lagi. Namun, saya melihat beberapa bulan terakhir ini, sudah ada halaman budaya tersebut. Hal yang sangat berkesan saat itu, pernah dimuat empat puisi saya sekaligus, dengan tajuk Sajak-Sajak Djamaluddin Husita.
Bahkan saat itu, pada bulan Agustus 1999 tiba-tiba mendapat sebuah surat yang ditujukan kepada saya yang isinya meminta saya menghadiri pertemuan sastra di Medan mewakili Aceh. Kalau tidak salah surat itu ditandantangi Hasyim KS (Alm), kalau tidak salah juga, beliau redaktur budaya serambi indonesia saat itu. Namun sayang, pada saat yang hampir bersamaan juga, datang undangan kuliah ke salah satu Universitas di Bandung. Mungkin karena sibuk kuliah, takut kehabisan beasiswa, kebiasaan menulis puisi hilang.
Saya ingin sampaikan pengalaman saya bagaimana awal mulanya saya menulis puisi. Sejak SMA saya sudah sering sekali membaca buku puisi. Setiap kali selesai membaca, selalu ada keinginan dalam hati untuk menulis puisi. Tetapi, setiap kali saya selesai menulis puisi selalu membuat saya tidak puas dengan apa yang telah saya tulis itu. Memang, beberapa saat selesai menulis saya merasa apa yang saya tulis itu bagus. Namun, selang beberapa hari kemudian terasa puisi itu tidak tidak ada apa-apanya. Lalu keinginan puisi hilang begitu saja.
Pada saat saya kuliah, meskipun saya bukan kuliah di jurusan sastra, tiba-tiba muncul keinginan saya untuk kembali menulis puisi. Hal itu karena saya membaca sebuah antologi puisi penyair Aceh. Beberapa nama penyair yang sangat terkenal di Aceh menulis puisinya di sana. Nama-nama yang sangat mempengaruhi saya, sebut saja Alm. Hasyim KS, Hasbi Burman (oleh harian kompas disebut presiden rex), Doel CP Alisah dan termasuk generasi muda saat itu yang saat ini masih sangat eksis adalah D’Kemalawati, WinaSw1, serta teman kuliah seangkatan saya Budi Arianto (Budi Art), serta masih ada beberapa yang lain.
Membaca puisi-puisi mereka itu yang memang sering menghiasi koran Serambi Indonesia keinginan saya menulis puisi muncul lagi. Terus terang saya begitu penasaran saat itu. Kenapa orang itu bisa. Karena penasaran, lalu saya baca berulang semua puisi mereka. Saya pelajari kata perkata sampai akhirnya saya bisa memahaminya. Lalu kerena itu kemudian muncul inspirasi untuk menulis puisi.
Kemudian, seingat saya, sekitar pertengahan/akhir tahun1995 puisi pertama saya dimuat di Serambi Indonesia. Terus terang saya betul-betul tidak ingat apa judul puisi pertama yang dimuat itu. Sebab, semua dokumen puisi itu termasuk komputer lenyap dibawa arus tsunami. (saya tidak tahu, apakah puisi saya yang pernah di muat si serambi masih ada tersimpan di harian serambi indonesia). Tetapi satu hal yang saya rasakan saat itu adalah perasaan senang.
Hanya ada satu-satunya puisi masa lalu saya yang tersisa, yang masih disimpan seseorang. Beberapa hari yang lalu diperlihatkan kembali pada saya. Puisi itu belum ada editan apapun. Saat itu saya tulis begitu saja. Judulnya: Menangislah Adinda.
Menanggislah adinda
(sebuah catatan)
Ketika kulihat rinai hujan membasahi kelopak matamu
rinai itu menyentuh perasaanku
lalu beribu-ribu syair ingin kutuliskan untukmu
adinda (bila tiba-tiba aku memanggilmu begitu)
bukan semata aku ingin menyelami telaga biru
mengajakmu menyaksikan ikan-ikan bekejaran di sana
lalu kita larut dalam kenisbian waktu
adinda (kalau boleh aku menyebutmu begitu)
ada yang ingin kusampaikan,
lebih dari sekedar cinta dan kasih sayang
sebuah ketulusan
…………………….
bila kini kutegur keinginanmu berterus terang
bukan karena sesuatu alasan, sekedar menutupi kelemahan
lalu menawarkan bermacam dalih
karena ku tahu,
aku bukanlah Ibrahim yang mampu mengulas pengertian
tapi aku bukan juga Ismail yang begitu pasrah
aku tahu, kau juga tahu aku ini bukan Nuh
(tak mampu membuat perahu,
dimana kau harus ada dan bersungguh-sungguh,
tidak pula agar kau segera serta
karena kepercayaan tidak bisa dipaksakan)
saat kulihat rinai hujan membasahi kelopak matamu itu
ada yang harus kau tahu
aku juga ingin sepertiimu
menangis di atas ridhanya
meskipun aku tidak punya lagi air mata
maka menangislah adinda
Tuhan masih membimbingMU
menjaga kemurnian lautan hati
banda aceh, Mei 1997
(DJ. H. Woyla)
Mungkin, pengalaman saya ini bisa menjadi pengalaman bagi anak-anak muda yang ingin menulis, terutama menulis puisi. Mudah-mudahan bermanfaat (DJH).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar