Oktober 15, 2009

[CATATAN DARI UWRF 2009] SPIRIT LOKAL DAN SPIRIT INTERNASIONAL

Oleh Ahmad Muchlish Amrin

Rabu, 14 Oktober 2009 / Suara Karya Online

Beberapa waktu lalu, ada 15 pengarang Indonesia yang menghadiri Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2009, sebuah pesta sastra tahunan yang diadakan di Desa Ubud, Bali, 6-11 Oktober 2009.
Pesta yang berkapasitas internasional ini dihadiri oleh peserta dari berbagai negara di belahan dunia. Tentu saja di dalamnya diperbincangkan berbagai tema dan bedah karya sastra yang telah diantologikan.
Adapun sastrawan Indonesia yang diundang untuk menghadiri acara ini, misalnya, Zeffry J Alkatiri (Jakarta), Nelden Jakababa (Jakarta), Clara Ng (Jakarta), Yonathan Raharjo (Jakarta), Inggit Putria Marga (Lampung), Romi Zarman (Padang), Esha Tegar Putra (Sumbar), Nurhady Sirimorok (Makassar), M Aan Mansyur (Makassar), Tjahjono Widijanto (Jawa Timur), Ernest JK Wen (Jawa Timur), Dian Hartati (Jawa Barat), Anton Kurnia (Bandung), Doel CP Allisah (Aceh), dan Ahmad Muchlish Amrin (Yogyakarta).
Seperti tahun-tahun sebelumnya, dalam kesempatan (forum) tersebut penulis Indonesia berbicara dengan baik dan mampu memberikan gagasan inspiratif, perspektif baru dan cara ungkap yang segar di hadapan pengarang internasional.
Karya sastra kita mampu berbicara pada dunia, yakni mengakar pada tradisi dan kebudayaan, memiliki cara pandang yang unik, berpihak pada jeritan kemanusiaan. Imajinasi berlesatan tidak hanya untuk mengungkapkan kegelisahan personal, menghamburkan identitas menjadi liminal, yakni ambiguitas posisi yang tidak pasti karena tidak "di sini" dan tidak pula "di sana" (betwixt and between).
Kreativitas pengarang tetap dibutuhkan untuk mencari solusi terbaik melalui tema, idealitas, dan perspektif yang cerdas dan bermutu. Mereka mampu mengolah spirit lokal dengan baik: mengungkapkan kebahagiaan, keresahan, keletihan, dan kearifan yang muncul di mana mereka hidup. Dengan demikian, apa yang mereka tulis benar-benar menjadi ide sekaligus menjadi diri sendiri.
Untuk itulah ada beberapa spirit yang bisa dijadikan motivasi agar spirit lokal mampu menjadi inspirasi bagi spirit internasional. Pertama, memanfaatkan ideologi lokal yang sangat kental. Para pengarang bisa mengangkat ideologi lokal dengan baik, dengan bahasa yang menarik, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Umar Kayam lewat cerpen panjangnya yang berjudul "Sri Sumarah dan Bawuk" (Pustaka Jaya, 1975). Karya ini sarat dengan muatan ideologis perempuan Jawa.
Kedua, memanfaatkan spirit lokal sebagai teknik pengungkapan yang menarik dan sama sekali baru bagi ruang internasional, sebagaimana yang dilakukan oleh WS Rendra dalam Balada Orang-Orang Tercinta yang sarat dengan permainan anak-anak. Atau Ramadhan KH dalam Priangan Si Jelita yang memuat nyanyian Sunda. Atau, Sutardji Calzoum Bachri dalam O, Amuk Kapak yang banyak mengeksplorasi mantra.
Ketiga, spirit lokal sebagai inspirasi sebagaimana dalam karya Oka Rusmini yang berjudul "Tarian Bumi" yang mengungkapkan sisi lain Bali, terutama perempuan di tengah diskriminasi kasta dan kemiskinan. Atau, karya Ahmad Tohari dalam tetralogi Ronggeng Dukuh Paruk, yang mengeksplorasi perempuan Dukuh Paruk yang terdiskriminasi. Semuanya itu menyuarakan sesuatu yang pada mulanya tidak ada (nothing) menjadi ada (something).
Tentu saja tiga sandaran tersebut merupakan cara (metode) untuk mendongkrak kualitas sastra pengarang kita agar lebih maju dan lebih bermutu di pentas internasional. Dan, lokalitas kini tidak statis dan tidak bergantung pada sebuah ruang, sebagaimana yang dipahami banyak orang. Akan tetapi, spirit lokal dimaknai sebagai suguhan sebuah struktur sastra yang berupa nilai, atmosfer bahasa, dan filosofi yang unik.
Spirit lokal akan menjadi representasi yang jelas bagi peradaban global dan internasional. Manusia dapat membangun etos arif yang memperhatikan masa depan umat manusia, memperlancar perdamaian, toleransi terhadap manusia lain yang memiliki nalar berbeda.
Spirit lokal tidak menutup kemungkinan untuk menerima yang lain, menghindari trust claim yang berpihak pada sebuah ruang, kelompok atau lokal tertentu. Kini sudah saatnya manusia terbuka membangun citra kemanusiaan yang utuh, dengan cara mempertahankan kearifan lama yang segar dan mengakomodasi kearifan modern yang lebih bijaksana.
Spirit inilah yang mendominasi perkembangan sastra dunia hari ini, seperti yang terjadi di Inggris, Prancis, Amerika, dan negara-negara Eropa. Kisah rakyat lokal di Eropa pada abad ke-15 ditafsirkan ulang untuk mendapatkan spirit baru yang segar. Dengan demikian, memunculkan sebuah implikasi yang jelas, yakni Revolusi Industri di Prancis.
Karena itulah, 15 sastrawan kita yang hadir di UWRF 2009 ini, meminjam bahasa pengarang Ahmad Tohari, menjadi napas kita yang panjang.***

Penulis adalah penyair dan cerpenis, pengelola
Rumah Baca Poetika Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger