Juli 09, 2009

TSUNAMI DAN PERDAMAIAN DALAM REKAMAN PUISI

Rabu, 08 Juli 2009
Oleh Hamdani, S.Pd.

1. Tsunami dalam Rekaman Puisi

“ Tsunami Begitu Elok Namamu “, demikianlah sebuah puisi yang berjudul begitu apik, namun tak seelok namanya, tsunami mengerikan. Sebuah puisi yang ditulis oleh Damiri Mahmud bercerita tentang tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 yang terkumpul dalam antologi puisi Lagu Kelu, diterbitkan oleh ASA, tahun 2005. Puisi selain bagian dari genre sastra ternyata juga menjadi rekaman dokumenter sejarah peradaban manusia. Penyair mencatat dan menuangkan berbagai tragedi yang memalukan dan memilukan dalam puisinya. Lalu, puisi jadilah barang antik dan classic yang menjadi bahan referensi bagi para penulis dan penikmat sejarah dalam sastra.

Selain Damiri Mahmud adalah Herman RN penyair asal Aceh Selatan yang mencatat tsunami lewat puisi yang berjudul Laut berzikir, (Harian Aceh dan milis Gemasastrin, 2009 ). Dengan puisi tersebut Herman berpesan bahwa tsunami merupakan suatu teguran dan peringatan buat para korban tsunami, berarti Allah masih sangat menyayangi hamba-Nya. Bagi yang masih hidup, tentunya masih paham dengan istilah “ Tsunami membawa berkah “. Lain dari itu, Arafat Nur penyair dan novelis yang berdomisili di Lhokseumawe ini, merekam tsunami lewat puisi yang bertajuk “ Perahu Nuh Itu Masih Ada “ ,(Lagu Kelu, 2009). Sementara itu penyair nasional asal dataran tinggi, Gayo, Fikar W. Eda menulis sajak dengan judul Nyeri Aceh, (dalam antologi Rencong : 2008), seperti terbaca pada larik-larik berikut : Tanah Aceh, nyeri kami/Nyeri daging dan tulang kami/Nyeri darah dan tangis kami… Nyeri laut menggulung pantai/lumatlah rumah/remuklah pohon…

Masih dalam ikon sastra nasional, penyair sekaligus pendiri komonitas Aliansi Sastrawan Aceh (ASA) Doel CP Allisah menuangkan tragedi kemanusian yang menggugah hati nurani masyarakat dunia ini lewat puisi berlavel “ Ingatan ”, (puisi wajib lomba, Porseni Depag 2006 di Banda Aceh dan dalam Lagu Kelu) yang khusus didedikasikan kepada korban tsunami Aceh. Kisah tsunami dipaparkan Doel Cp lewat larik-larik berikut : Apa yang tersisa dari semua kenangan tentang kalian/selain air mata dan doa kami yang tak putus-putus ?

2. Perdamaian dalam Rekaman Puisi

Selain tsunami yang tak seelok namanya. Para penyair juga berkampanye tentang damai lewat puisi. Lalu puisi menjadi laksana mata air, embun pagi, penyejuk bagi yang kegerahan akan “ damai bersulam bahagia, kita semua rindu, rindu kasih rindu damai ”, demikian tentang damai Hamdani Mulya menulis lewat puisi Adakah Kedamaian ?, (Waspada, 2001), dan “ Keluh Kesah “ (Dalam Beku waktu : 2002). Selain itu, Rosni Idham penyair asal Aceh Barat sekaligus aktivis gender perempuan merindukan damai lewat ukiran manisnya “ Doa Anak Bangsa “, (majalah Tingkap, 2001) terukir dengan metafora yang menggugah perasaan pada larik-larik bait terakhir berikut : Tuhan rindu kami/pada sejuk semilir yang pernah engkau alir/ Pada bening damai yang pernah engkau semai/ Pada sinar kasih sayang dalam alunan irama tembang/ Pada canda cinta sesama.

Fikar W. Eda sebagai seorang penyair yang sangat sensitif terhadap masalah-masalah sosial, religius, sejarah, dan budaya mencoba mengkampanyekan perdamaian yang dirindukan oleh semua orang di seluruh belahan dunia. Fikar W Eda berbicara tentang damai lewat cerobong puisi berjudul “ Salam Damai “, (Rencong, 2008).
Pada bagian akhir tulisan ini sebuah puisi yang sangat indah. Goresan apik Nurdin F.Joes penulis kutip dari antologi Podium karya M. Gade alias Soels J. Said Oesy atau dengan nama pena Ade Ibrahim. Kumpulan puisi ini diberikan oleh penyair secara tidak sengaja kepada penulis. Dalam sebuah acara diklat guru Bahasa Indonesia di Medan pada Maret 2009. Antologi foto kopi puisi Podium ternyata sangat berguna bagi penulis sebagai referensi tulisan ini. Berikut adalah puisi Nurdin F.Joes berbicara tentang damai yang tertera pada sampul antologi Podium. “ Rindu adalah tapak-tapak penyair. Melintasi padang yang tak terbatas. Melewati jutaan malam kelam tanpa peta dan alamat serta, menapaki segala peperangan, persengketaan lewat pertempuran-pertempuran. Para penyair, berangkatlah dengan rindu, cinta adalah peperangan : cinta adalah perdamaian.

Demikianlah ulasan singkat ini kiranya bermanfaat bagi pecinta dan penikmat sastra. Berhubung terbatasnya referensi dalam menulis tulisan ini, maka penulis berharap semoga akan lahir seribu pujangga lainnya untuk mencatat sejarah dan perdamaian dalam bingkai puisi. Untuk pengembangan sastra dalam kancah sastra tanah air. Penulis berharap nantinya akan muncul genre esai maupun puisi katagori sastra sejarah atau puisi sejarah dan bukan sejarah sastra yang hanya membicarakan sejarah perkembangan sastra tanah air. Melainkan sastra yang mencatat sejarah-sejarah.
Artinya dalam sastra sejarah adalah sastra yang berkisah tentang sejarah nasional, sejarah daerah, dan sejarah dunia. Dalam tanda kutip “Sastra yang mencatat sejarah apapun”, sejarah yang bermanfaat bagi pembaca. Sastra model ini akan membantu para siswa dan mahasiswa dalam proses pembelajaran sejarah. Misalnya sastra sejarah yang ditulis oleh Taufiq Ismail dalam antologi puisi Tirani dan Benteng bercerita tentang sejarah Orde Baru. Atau seperti Lagu Kelu yang sebagian besar puisi yang terkumpul di dalamnya bertema Tsunami. Mungkin juga seperti karya Fikar W.Eda berjudul Rencong.
Itulah yang dimaksud sebagai sastra sejarah.

Selamat berkarya. Semoga harapan berubah menjadi kenyataan. Jangan hanya pintar bicara dan “ menyanyi “ saja, tetapi juga harus pintar membaca dan menulis.

Penulis :
Hamdani, S.Pd. adalah peneliti bahasa dan sastra.

HAMDANI MULYA.blogspot.com




Tidak ada komentar:

Powered By Blogger