Gemasastrin PBSID Unsyiah / Nopember 22, 2008
Oleh Medri Osno
Suatu ketika saya dengan beberapa orang teman bertandang ke rumah Bang Doel CP Allisah di Lamnyong, Banda Aceh. Pertama maksud hati hanya ingin sekadar meminjam guntingan koran karya sastra yang pernah dimuat di berbagai media massa cetak. Ternyata yang didapat lebih dari yang kami mau, dengan kerendahan hati Bang Doel—sapaan akrab, menghibahkan beberapa buku terbitan ASA untuk perpustakaan Balai Bahasa Banda Aceh. Ditengah perbincangan terbetik kegalauan hatinya—galaumu, galauku, mungkinkah galau kita bersama? “Abang lihat kelahiran karya sastra di Aceh khususnya pasca tsunami sungguh mengagumkan.” Lalu ia mengisap rokok dan melanjutkan pembicaraannya, “namun nasip kelahiran itu memprihatinkan, ia ibarat intan dalam lumpur yang belum disepuh.
Sangat jarang ada tangan kreatif untuk mengasahnya hingga berkilau.” Saya jadi tertegun mendengarkan ucapan Bang Doel—ternyata kebahagiaan terbungkus oleh kesedihan. Memang selama ini kita hanya bisa berbangga dengan angka kelahiran tersebut. Kita lupa untuk menyambung (menjembatani) sebuah karya dengan khlayak (pembaca) dibutuhkan seorang kritikus. Di tangan kritikus ada lampu yang bisa menerangi sisi gelap hingga maksud dan tujuan yang ingin disampaikan pengarang dalam karya kreatif tersebut bisa dipahami khalayak. Dan akhirnya khalayak bisa menentukan bacaan yang bermutu dan bermoral—Pengarang harus sadar, setelah karyanya diterbitkan, Karyanya itu tidak lagi sebatas diri pengarang, tetapi sudah berbicara terhadap khalayak (pembaca). Maka, kalau karya itu tak dapat dinikmati dan dipahami oleh khalayak, sungguh suatu pemakaian tenaga yang sia-sia. Lebih daripada itu, karangan atau karya itu seyogyanya mendorong pembacanya agar punya martabat, bukan menggiring mereka kepada budaya egois, hedonis, materialistik bahkan munafik. Sebab, berdiri di atas budaya materialistik-munafik, bagaikan berdiri di atas lumpur. Makin banyak berbuat (berkarya) makin jauh terpuruk ke dalam lembah kehinaan.
Bersabit dengan maksud di atas, saya mencoba membuat catatan sederhana Kumpulan Puisi Penyair Aceh, Lagu Kelu yang dieditori oleh Bang Doel dan Kak Nani HS. Dikatakan sederhana karena tidak semua karya dapat diulas. Sementara yang diulas belum dapat memadai, karena keterbatasan waktu membacanya dengan teliti, apalagi sampai memperbandingkan karya-karya tersebut—sementara saya hanyalah seorang penikmat sastra pemula. Dengan keterbatasan ini saya akan membuat catatan yang berpedoman hanya pada tiga pokok bahasan saja, yakni judul, muatan isi dan bahasa. Hemat saya, ketiga pokok bahasan ini dapat mempengaruhi dan menarik minat khalayak untuk membaca—terutama para kritikus untuk membahasnya lebih mendalam.
Dalam buku Leksikon Sastra Aceh, buku kumpulan puisi setebal 280 halaman ini memuat puisi 40 penyair, baik yang berdomisili di Aceh maupun di luar Aceh. Menjadi penting memperhatikan judul karya kreatif seperti puisi, cerpen dan novel karena ia seperti pintu pada sebuah rumah. Secara alami jika pintu (judul) tersebut indah orang tertarik untuk memasukinya (membaca) dan timbul rasa penasaran ada apa sesungguhnya dalam rumah (karya) tersebut—kesan pertama begitu menggoda. Yang terpenting tentu saja muatan isi karangan karena di sinilah muara (penampung) dari segala konsep, ide, gagasan, serta pesan-pesan yang diaduk oleh pengarang. Susunan muatan isi dalam bentuk alur atau pola baris juga patut diperhatikan. Sebab keindahan isi juga diperlihatkan oleh bentuk susunan karya (tipografi), yang ditampilkan oleh pengarang. Selanjutnya Bahasa menjadi penting karena ia adalah bahan baku yang diolah pengarang, diubah-suai, dibongkar-pasang sehingga menentukan dan membentuk estetika sebuah karya sastra.
Setidaknya dari kumpulan puisi ini ada 4 kategori judul, yakni indah, menarik, gelap (membingungkan) dan biasa. Judul dikatakan indah apabila ditulis dengan rangkai kata yang bagus atau disusun metafora yang indah. Dikatakan menarik apabila judul dirangkai dengan kata yang unik, jarang terdengar, dalam pemakaian bahasa sehari-hari. Seakan-akan ia menemukan metafora yang baru. Dikatakan gelap apabila judul dirangkai dengan kata yang aneh, sulit dipahami (membingungkan) khalayak dan sulit dicari artinya. Terakhir kategori biasa, apabila judul dirangkai dengan bahasa yang lazim dipakai dalam pergaulan sehari-hari. Dengan 4 kategori tersebut dapat dilukiskan judul dalam Kumpulan Puisi Penyair Aceh, Lagu Kelu sebagai berikut;
judul indah; “Seandainya Waktu Lebih Panjang” karya Maskirbi, “Bunga Merah Kembang Nila” karya A.R. Nasution, dan “Berkaca Di Bening Embun” karya Basri Emka.
Judul menarik; “Raungan Bisu” karya Ayi Jufridar, “Seandainya Boleh Ku Tawar” karya Wina SW1, “Bulan Sabit Di Kampung Pie” karya D.Keumalawati, “Coba Katakan Di Mana Aku Harus Menunggu” karya Hasyim Ks, “Nostalgia Di Ruang Sempit” Karya Mohd. Harun al Rasyid, “Talqin Panjang Di Negeri Gelombang” karya A. Rahim Qahhar, “Surat Ombak Hitam” karya Fozan Santa, dan “Lagu Kelu” karya Doel CP Allisah.
Judul biasa; sebanyak 151 judul
Judul gelap; “Tentang T” karya Wina SW1, “Tsunama Tsunami” karya Salman Yoga S, “Nonlis Dalam Sajakku” karya Doel CP Allisah, “Kenyataan Tak Terungkap Tak Terjawab dan Aceh Humam Tsunami” karya Din Saja.
Dengan kategori di atas, dapat menuntun kita untuk memberikan penilaian. Jadi judul kategori biasa mendominasi buku kumpulan puisi ini. Pada dasarnya judul bukanlah sesuatu yang mutlak yang tidak dapat diubah-suai atau diganti. Memang hampir tak mungkin seorang pengarang berangkat tanpa judul dalam proses menulis karangannya. Namun, ketika karangan sudah selesai ditulis, kemudian dibaca ulang oleh pengarang, bisa timbul pikiran untuk mempertajam bahkan memperindah judul yang sudah ada. Perhatikanlah misalnya, judul “Bulan Sabit di Kampung Pie.” Judul akan terasa indah jika dihilangkan kata depan “di” sebab kata ini sudah menunjukkan tempat. Sedangkan tempat akan digambarkan oleh isi karangan—kasus yang sama “Nostalgia di ruang sempit” dan “Talqin panjang di negeri gelombang.” Sedangkan “Coba katakan di mana aku harus menunggu” judul ini terlalu panjang sehingga mengurangi keindahannya. Keindahan akan lebih terasa jika diubah menjadi, “Aku Menunggu.” Jadi kata “Coba katakan di mana” tidak perlu lagi, sebab tempat akan digambarkan oleh isi karangan.
Sejalan dengan itu judul yang agak gelap sebenarnya bisa diubah menjadi judul yang lebih bagus. Perhatikan judul “Tentang T” hanya pengarang sendiri yang tahu “T” itu apa dan siapa? Jika “T” itu diubah menjadi “Aku” atau apa saja yang mempunyai makna tentunya akan lebih indah. Sedangkan “Tsunama” tidak mempunyai arti—dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak ditemukan kata tersebut—hal yang sama “Nonlis dalam sajakku” dan “Aceh humam tsunami” . Kalau dipaksakan menjadi kata ulang (setara, bertingkat, majemuk) pun tidak bersesuain. Sedangkan judul “Kenyataan Tak Terungkap Tak Terjawab” menjadi redup karena terlalu bertele-tele. Secara rasional sesuatu yang belum terungkap tentunya belum mempunyai jawaban.
Selanjutnya muatan isi terkesan kurang pendalaman. Sebagian karya terlalu didominasi oleh faktor inprovisasi. Bahkan terkesan bersifat insidental sehingga hasilnya mungkin kurang dibaca ulang, apalagi direnungkan. Suatu karangan akan bermutu bagus apabila dibaca berulang-ulang, diendapkan beberapa hari, dan yang terpenting adalah pengarang harus merenungkan kenyataan hidup yang hakiki, peristiwa hidup yang sarat nilai-nilai. Kesemuanya di bawah kekuasaan Allah swt. Sekali lagi pengarang harus sadar bahwa karangannya akan dibaca khalayak, jangan hanya menampilkan sarana hiburan semata, yang hanya memenuhi hawa nafsu duniawi. Sebuah hasil karangan harus mampu menggiring khalayaknya untuk berbuat ke arah yang lebik baik. Hanya karangan seperti inilah yang mampu bertahan sepanjang masa.
Mengenai pemakaian lambang (metefora) dalam beberapa sajak terkesan hanya asal-asalan saja, tidak tentu ke mana arahnya. Hal ini tentu saja mengurangi nilai estetikanya. Sejalan dengan itu, aspek rasional (kewajaran) juga harus diperhatikan. Mari kita lihat puisi “Percakapan.” Membaca puisi ini tentu akan membingungkan kita, sebab tidak mungkin manusia bisa berbicara dengan Tuhan seperti berbicara antar sesama manusia. Pada tingkat ini pengarang seharusnya mendalami bagaimana sesungguhnya hakikat makhluk dan hakikat Tuhan. Kekuasaan Tuhan mutlak dan di atas segalanya. Kalau pun dikatakan berdoa tentunya kita akan menghiba dengan kerendahan hati, bukan malah memprotes. /seperti juga pembicaraan kita tempo hari, Tuhan/tidak ada salahnya kalau aku memulai/karena toh kau memang lebih suka diam/membiarkan aku terus mengobral kata/dan mengadilinya diam-diam//…
Sejalan dengan itu, puisi “Ingin Kutulis Riwayat Itu” pada tingkat awam akan membingungkan bahkan mungkin juga salah tafsir. Mungkin pengarang ingin mengisahkan peristiwa yang pernah dialaminya. Pembaca mungkin membayangkan percintaan yang erotis dan imajiner /menari-nari dalam kelam yang genit/. Kemudian kita akan menjadi heran, mungkinkah percintaan primitif manusia purba seperti ini yang disampaikan pengarang pada khalayak? Dan pengarang ingin semua dunia /paham/ mengenai hal tersebut.
Akhir kalam pada catatan sederhana ini, semoga karya-karya yang telah tersaji dalam buku ini dapat dinikmati khalayak. Dan yang terpenting dapat menggiring kita ke jalan yang diridhoi Allah swt. Amin.
- Pengamat budaya dan pekerja di Balai Bahasa Banda Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar