November 24, 2008

MENSOSIALISASIKAN SASTRA KITA

Serambi Indonesia : 23/11/2008 09:22 WIB

[ penulis: L.K. Ara | kategori: Headline ]

SATU cara memperkenalkan sastra Indonesia ke dunia lua, seperti kata Dr Budi Darma, dengan menterjemahkan karya sastra itu ke dalam bahasa Inggeris. Penyair Aceh sudah lebih maju, misalnya, penyair Doel CP Alissah yang telah menerbitkan puisinya “Nyanyian Miris” (The Sadness Song) dalam bahasa Indonesia dan Inggeris. Juga penyair D. Kemalawati lewat antologi puisi “Surat dari Negeri Tak Bertuan” (Letter from a No Man‘s Land). Namun apakah itu sudah cukup?

Itu belum cukup, karena menurut John McGlynn, dketika member pressentasi dalam Kongres Bahasa Indonesia, beberapa waktu lalu, bahwa sangat banyak hambatan memperkenalkan Indonesia ke dunia luar melalui sastra terjemahan itu. Menueur John, empat hal yang harus dilakukan, mencakup : kwalitas karya, ongkos penerbitan, visi pemerintah,” dan sikap xenofobis. Baik sendiri-sendiri maupun ber-sama-sama keempat hambatan ini menciptakan iklim yang sulit bagi penerbit untuk memperkenalkan Indonesia di luar negeri melalui terjemahan.

John MacGlynn juga menyinggung penghidupan sastrawan itu sendiri. Sudah menjadi pengetahun umum bahwa kalau mau cari nafkah yang layak, sebaiknya jangan mengikuti hasrat menjadi pengarang. Rumahtangga bisa berantakan, istri akan meninggalkan Anda; anak menjadi terlantar; tak ada asap yang mengepul di dapur dan sebagainya. Pokoknya, para pengarang yang ikut memegang peranan kunci dalam sektor kreatif dan mempunyai andil untuk mengembangkan warisan kekayaaan intelektual negara ini, tidak bisa hidup dari imbalan yang diterima dari penyebarluasan atau penjualan ciptaan mereka. Dengan demikian, banyak pengarang yang berbakat memilih berhenti bekerja atau sangat membatasi pekerjaan mereka di bidang kreatif daripada hidup bersusah-payah. Sebagai akibat dari keadaan itulah maka jumlah karya yang diciptakan seorang pengarang relatif kecil dan proses pengembangan bakat-yang dapat dilihat dalam penambahan karya yang benar-benar “mature”-menjadi terhambat.

Menerbitkan karya sastra, kata John, sering tidak menguntungkan terutama editor buku. Begitu juga nasib buruk yang dihadapi penyunting buku karena perlakuan kebanyakan penerbit di Indonesia seperti budak abjad dan tidak diberikan waktu yang cukup untuk bekerjasama pengarang supaya menghasilkan karya yang bukan saja bebas dari kesalahan ketik tapi lebih mantap dari segi perwujudan tokoh dan lebih menarik dari segi pengembangan alur cerita dan sebagainya. Itu sebabnya, banyak karya sastra yang diterbitkan di Indonesia mengalami cacad. Ini jadi masalah besar bagi penerjemah jika mengalihbahasakan karya-karya tersebut. Sebab seorang penerjemah tidak memiliki hak untuk mengubah karya itu.

Menurut John, sebenarnya sastra Indonesia tidak lahir tiba-tiba. Jika digabungkan dengan sastra Melayu kuno, sama tuanya dengan sastra Barat. Sastra kita merupakan penjelmaan dari tradisi tulis Melayu yang mendahulinya. “Yang baru” adalah bentuk-bentuk tulisan dalam sastra Indonesia-seperti novel, cerpen, yang berasal dari tradisi tulis di Eropa dan baru mulai masuk ke Nusantara pada akhir abad 19. Namun, lepas dari masalah tanggal atau tahun kelahiran sastra Indonesia, sejak sastra Indonesia mulai dikenal dengan istilah baru itu 80 tahun lalu, perkembangan sastra Indonesia ditandai oleh pemunculan berbagai bentuk variasi dan kekuatan sastra yang luar biasa. Sayangnya, kata John pengetahuan di luar negeri mengenai tradisi tulis di Indonesia, baik yang lama maupun yang kontemporer, tidak begitu diketahui secara luas. Di luar bidang akademik, informasi yang dapat diperoleh di luar negeri mengenai Indonesia pada umumnya terbatas pada artikel berita yang muncul di koran atau acara berita yang ditayangkan di televisi yang nota bene hampir seluruhnya dibuat oleh orang luar juga.

*) L.K.Ara adalah penyair di Banda Aceh



Tidak ada komentar:

Powered By Blogger