Harian Waspada / 19 September 1999
Oleh : As.Atmadi SP
Lama juga saya tidak ke Banda Aceh. Hampir duapuluh tahun. Padahal tahun-tahun sebelum ini saya menamatkan pendidikan sekolah dasar di kota yang dinamis, Banda Aceh itu. Selebihnya tahun tujuhpuluhan mengunjungi Aceh ketika naskah drama saya Ach-Ach dipentaskan oleh Teater Kuala Banda Aceh dengan sutradara Kardi Syaid, saya ke Aceh ketika itu bersama Chokienk Susilo Sakeh (sekarang Wapemred Radar Medan). Teater Kuala ketika itu adalah kelompok anak muda yang dianggap motor untuk teater modern dengan aliran kontemporer.
Senimannya dikenal Barlian AW,Syamsul Kahar, Hasyim KS, Hasbi Burman, Maskirbi, Nurdin F Joes, Nurgani Asyik, Sujiman A Musa. Seterusnya saya datang bersama rombongan Teater Propesi Medan mementaskan naskah Aristophanes “Lysistrata”. Baru pekan lalu saya datang lagi ke Aceh mengikuti acara Dialog Pers. Saya sempatkan berkumpul dengan teman-teman yang sedang ada pergolakan (seperti reuni). Seniman tidak bicara banyak tentang pergolakan yang berbuah tuntutan rakyat Aceh referendum dam merdeka. Mereka simpan perasaan di lubuk hati paling dalam. Wajah teman-teman seniman banyak berubah.
Barlian AW, rambutnya yang kribo seperti Ahmad Albar itu sudah putih semua. Tetapi gayanya kelihatan lebih intelek dan eksklusif. Hasyim KS (redaktur Serambi Indonesia) kurus kering dengan rambut dan janggutnya putih semua. “Alah hai,..aku sudah gawat sekarang. Bukan soal rambut tapi sudah kena reumatik! Celaka, reumatik hinggap di tempat yang sangat vital,”katanya dengan dialog Aceh yang kental dan menyakinkan. Hasyim memang kocak dan gemar berseloro. Sang penyair Hasbi Burman jalannya terseok-seok, kakinya bengkak, “Aku sudah kupak-kapik, mungkin akan menyusul Hj. Ani Idrus,” kata Hasbi yang membuat puisi ketika Pemimpin Umum/ Pemimpin Redaksi Waspada berpulang. Doel CP Allisah,puisinya sedang diterjemahkan ke bahasa Prancis.
Perubahan, tidak sekadar menyelubungi fisik teman dan saudara-saudara saya di Aceh, Perubahan menyelimuti juga kehidupan kesenian di daerah potensial. Fasilitas gedung Taman Budaya Banda Aceh yang begitu megah, dilengkapi sarana standar hotel berbintang dengan puluhan kamar pakai AC seakan tidak memacu berkesenian yang baik. Ketika berlangsung dialog di Taman Budaya Aceh itu, semuanya muncul. Semua seniman yang hadir bercerita tidak saja tentang masa depan kesenian Aceh, tetapi masa depan budaya Aceh umumnya yang sedang dalam pergolakan, seperti tahun-tahun ketika Belanda mau menjajah Aceh.
“Pandangan hidup kita sebaiknya tidak bergantung lagi, tidak hanya merengek-rengek dan menunggu fasilitas pemerintah yang dengan vocal Barllian AW mencontohkan bentuk-bentuk feodal masih berlaku di era reformasi ini.” Pemerintah bisanya hanya mendikte kreativitas seniman melalui proyek kesenian,”kata Hasyim KS. Disambut kawan-kawan seniman lain yang menyadari selama ini masuk kedalam tindak kekeliruan, berkesenian sangat tergantung dengan pemerintah. Padahal niat pemerintah dengan polanya yang lama tidak memberi kemerdekaan berkreasi bagi seniman. Itulah pola orde baru, tidak hanya seniman, pers pun diharuskan tiarap. Lantas dalam dialog budaya di Taman Budaya yang penuh humor dan sekali-sekali nampak tegang, bagaimana masa datang kehidupan kesenian dan kebudayaan Aceh?
Seudati sudah menjadi barang pajangan dan kehilangan nilai-nilai luhurnya. Dimana-mana ada anak sekolah membaca puisi pada Hut Proklamasi, ada pertunjukan keyboard pada setiap pesta perkawinan,”apakah itu kesenian?,Hasyim bertanya, sungguh membicarakan kesenian dan kebudayaan di tengah suasana di Aceh secara keseluruhan sangat mencekam itu, tidak gampang. Rekan Syamsul Kahar (sekarang Pemred Serambi Indonesia) tidak dapat dijumpai di Banda Aceh setelah mobil dan rumahnya dibom molotov oleh orang tak dikenal. Banda Aceh kelihatan sepi, tidak seperti tahun-tahun sebelum reformasi.
Berkali-kali ke telinga saya dibisikkan, kondisi Aceh sudah lain,”anda harus pandai-pandai meniti buih,”itu peringantan untuk saya tinggal di Aceh lima hari lamanya. Kendati Banda Ach masih terbilang Aman, namun tetap diingatkan untuk berhati-hati. Orang Aceh cukup baik, cukup ramah dalam menerima tamu. Menghormati orang yang bisa menghargai orang lain, terutama menyangkut kemanusiaan dan norma-norma. Namun ketika sekali Aceh tersinggung, seumur hidup berjuang membela kehormatannya. Udep saree mate syahid (hidup bersama mati syahid) itu semboyan. Untuk menghargai orang (tamu) benih padi diserahkan apabila baik. Sebaliknya nasi sisa lebih baik dibuang daripada diserahkan kepada orang tidak disukai. Lihat pesawat terbang Seulawah.
Aceh yang sampai sekarang masih bagian dari kesatuan Indonesia merasa diperlakukan tidak demokratis. Kehidupan budaya Aceh dibalut pembunuhan dan penyiksaan serta perkosaan. Etnis Aceh yang pantang menyerah dan getol berjuang menjadi marah. Dialog budaya di Banda Aceh itu pekan ini persis sedang bercerita dihadapan sekelompok manusia yang diam tapi sudah tersinggung dalam sekali. Dimana-mana tertulis referendum. Apakah saya akan berpisah dengan seluruh teman-teman dan juga saudara saya itu? Entahlah, hanya waktu yang akan mampu menjawabnya. Kalaupun ‘ya’ hati ini sudah terlanjur tinggal di sana. Pesan saya jangan lupa berkesenian dan tetap menjadi manusia berbudaya.
Oleh : As.Atmadi SP
Lama juga saya tidak ke Banda Aceh. Hampir duapuluh tahun. Padahal tahun-tahun sebelum ini saya menamatkan pendidikan sekolah dasar di kota yang dinamis, Banda Aceh itu. Selebihnya tahun tujuhpuluhan mengunjungi Aceh ketika naskah drama saya Ach-Ach dipentaskan oleh Teater Kuala Banda Aceh dengan sutradara Kardi Syaid, saya ke Aceh ketika itu bersama Chokienk Susilo Sakeh (sekarang Wapemred Radar Medan). Teater Kuala ketika itu adalah kelompok anak muda yang dianggap motor untuk teater modern dengan aliran kontemporer.
Senimannya dikenal Barlian AW,Syamsul Kahar, Hasyim KS, Hasbi Burman, Maskirbi, Nurdin F Joes, Nurgani Asyik, Sujiman A Musa. Seterusnya saya datang bersama rombongan Teater Propesi Medan mementaskan naskah Aristophanes “Lysistrata”. Baru pekan lalu saya datang lagi ke Aceh mengikuti acara Dialog Pers. Saya sempatkan berkumpul dengan teman-teman yang sedang ada pergolakan (seperti reuni). Seniman tidak bicara banyak tentang pergolakan yang berbuah tuntutan rakyat Aceh referendum dam merdeka. Mereka simpan perasaan di lubuk hati paling dalam. Wajah teman-teman seniman banyak berubah.
Barlian AW, rambutnya yang kribo seperti Ahmad Albar itu sudah putih semua. Tetapi gayanya kelihatan lebih intelek dan eksklusif. Hasyim KS (redaktur Serambi Indonesia) kurus kering dengan rambut dan janggutnya putih semua. “Alah hai,..aku sudah gawat sekarang. Bukan soal rambut tapi sudah kena reumatik! Celaka, reumatik hinggap di tempat yang sangat vital,”katanya dengan dialog Aceh yang kental dan menyakinkan. Hasyim memang kocak dan gemar berseloro. Sang penyair Hasbi Burman jalannya terseok-seok, kakinya bengkak, “Aku sudah kupak-kapik, mungkin akan menyusul Hj. Ani Idrus,” kata Hasbi yang membuat puisi ketika Pemimpin Umum/ Pemimpin Redaksi Waspada berpulang. Doel CP Allisah,puisinya sedang diterjemahkan ke bahasa Prancis.
Perubahan, tidak sekadar menyelubungi fisik teman dan saudara-saudara saya di Aceh, Perubahan menyelimuti juga kehidupan kesenian di daerah potensial. Fasilitas gedung Taman Budaya Banda Aceh yang begitu megah, dilengkapi sarana standar hotel berbintang dengan puluhan kamar pakai AC seakan tidak memacu berkesenian yang baik. Ketika berlangsung dialog di Taman Budaya Aceh itu, semuanya muncul. Semua seniman yang hadir bercerita tidak saja tentang masa depan kesenian Aceh, tetapi masa depan budaya Aceh umumnya yang sedang dalam pergolakan, seperti tahun-tahun ketika Belanda mau menjajah Aceh.
“Pandangan hidup kita sebaiknya tidak bergantung lagi, tidak hanya merengek-rengek dan menunggu fasilitas pemerintah yang dengan vocal Barllian AW mencontohkan bentuk-bentuk feodal masih berlaku di era reformasi ini.” Pemerintah bisanya hanya mendikte kreativitas seniman melalui proyek kesenian,”kata Hasyim KS. Disambut kawan-kawan seniman lain yang menyadari selama ini masuk kedalam tindak kekeliruan, berkesenian sangat tergantung dengan pemerintah. Padahal niat pemerintah dengan polanya yang lama tidak memberi kemerdekaan berkreasi bagi seniman. Itulah pola orde baru, tidak hanya seniman, pers pun diharuskan tiarap. Lantas dalam dialog budaya di Taman Budaya yang penuh humor dan sekali-sekali nampak tegang, bagaimana masa datang kehidupan kesenian dan kebudayaan Aceh?
Seudati sudah menjadi barang pajangan dan kehilangan nilai-nilai luhurnya. Dimana-mana ada anak sekolah membaca puisi pada Hut Proklamasi, ada pertunjukan keyboard pada setiap pesta perkawinan,”apakah itu kesenian?,Hasyim bertanya, sungguh membicarakan kesenian dan kebudayaan di tengah suasana di Aceh secara keseluruhan sangat mencekam itu, tidak gampang. Rekan Syamsul Kahar (sekarang Pemred Serambi Indonesia) tidak dapat dijumpai di Banda Aceh setelah mobil dan rumahnya dibom molotov oleh orang tak dikenal. Banda Aceh kelihatan sepi, tidak seperti tahun-tahun sebelum reformasi.
Berkali-kali ke telinga saya dibisikkan, kondisi Aceh sudah lain,”anda harus pandai-pandai meniti buih,”itu peringantan untuk saya tinggal di Aceh lima hari lamanya. Kendati Banda Ach masih terbilang Aman, namun tetap diingatkan untuk berhati-hati. Orang Aceh cukup baik, cukup ramah dalam menerima tamu. Menghormati orang yang bisa menghargai orang lain, terutama menyangkut kemanusiaan dan norma-norma. Namun ketika sekali Aceh tersinggung, seumur hidup berjuang membela kehormatannya. Udep saree mate syahid (hidup bersama mati syahid) itu semboyan. Untuk menghargai orang (tamu) benih padi diserahkan apabila baik. Sebaliknya nasi sisa lebih baik dibuang daripada diserahkan kepada orang tidak disukai. Lihat pesawat terbang Seulawah.
Aceh yang sampai sekarang masih bagian dari kesatuan Indonesia merasa diperlakukan tidak demokratis. Kehidupan budaya Aceh dibalut pembunuhan dan penyiksaan serta perkosaan. Etnis Aceh yang pantang menyerah dan getol berjuang menjadi marah. Dialog budaya di Banda Aceh itu pekan ini persis sedang bercerita dihadapan sekelompok manusia yang diam tapi sudah tersinggung dalam sekali. Dimana-mana tertulis referendum. Apakah saya akan berpisah dengan seluruh teman-teman dan juga saudara saya itu? Entahlah, hanya waktu yang akan mampu menjawabnya. Kalaupun ‘ya’ hati ini sudah terlanjur tinggal di sana. Pesan saya jangan lupa berkesenian dan tetap menjadi manusia berbudaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar