Desember 04, 2007

Doel CP Allisah : DKA RENDAH DI MATA SENIMAN

Koran Aceh Kita / Edisi 029/Th ke-3, 28-04 Desember 2007

Doel CP Allisah, salah satu nama yang sudah akrab ditelinga para seniman dan rekan-rekan wartawan, barangkali juga bagi masyarakat. Ia pernah kuliah di Fakultas Bahasa Universitas Syiah Kuala (1983).
Penyair yang dikenal dengan puisinya ”Nyanyian Miris” menjadi judul buku puisi karyanya dalam dua bahasa, Inggris dan Indonesia, diterbitkan oleh ’ASA’ bersama Dewan Kesenian Banda Aceh.

Karya-karya Doel CP Allisah dimuat pada media-media di Indonesia dan Malaysia, juga turut mengisi beberapa antologi puisi, antaranya ”Malam Perempuan Malam” (hr. Waspada/majalah dunia wanita Medan, 1984), ”Duri” (majalah dunia wanita, 1985), ”Ranub” (Lembaga Penulis Aceh, 1985), ”Antologi Penyair Aceh 86” (pt. Karya prima, Jakarta 1986), ”Kemah Seniman Aceh 3” (pan/Taman Budaya Aceh, 1990, sebagai ketua tim editor), ”Sosok” (din/hasbi 1993), ”Nafas Tanah Rencong” (Dewan Kesenian Aceh/DKA, 1993). Dan masih ada beberapa judul buku yang diterbitkannya bersama ’ASA’.

Doel melihat dan berbicara tentang sastra di Aceh pasca tsunami malah semakin berkembang dan membanggakan.

”Perkembangan sastra di Aceh setelah tsunami luar biasa, dari segi penerbitan buku, karya sastrawan, karya anak-anak Aceh mulai tampil di pentas nasional, jadi banyak perubahan setelah tsunami. Di kalangan anak muda geliat sastra juga lebih banyak berkembang seperti anak-anak muda di FLP”, ungkapnya.

Menilik karya-karya pujangga Aceh masa lalu, seperti Hamzah Fansuri, Chik Pante Kulu, adalah karya yang monumental bahkan mendunia, menjadi sumber inspirasi bagi penyair-penyair nasional. Hal ini akan menjadi motivator bagi sastrawan Aceh ke depan lebih bisa berkiprah di nasional bahkan internasional.

”Saya melihat sastra Aceh saat ini lebih banyak bergerak ke modern, dan meninggalkan sastra lama yang berjaya pada zamannya. Soal konsep sastra Aceh ke depan, Aceh sebagai tempat lahir hikayat dan berbagai karya sastra lama, seharusnya para sastrawan sekarang harus lebih kreatif, seperti memasukan sastra tradisi Aceh ke dalam karya modern kita” ujar mantan wartawan banyak media ini.

Saat ini ’ASA’ punya dokumen sastra sejak tahun 70an. Tapi kesulitan tenaga ahli untuk mempublis, juga kekurangan dana untuk pengdokumentasian. Sejauh ini masih pakai biaya pribadi. Belum ada sumbangan dari pemerintah.

Seharusnya pemerintah menggali sastra lama, Dinas Kebudayaan selama ini tidak mendokumentasi karya-karya lama. Mereka Cuma mendokumentasikan karay-karya yang ada di Leiden, padahal karya-karya Aceh banyak bertebaran di kampung-kampung. Banyak sastra tutur dan lainnya yang ada di kampung” urainya.

Doel melihat peran Dewan Kesenian Aceh yang merupakan lembaga independen, seharusnya mengurus kesenian dan tempat para seniman bernaung, seperti berjalan sendiri, para pelaku seni tergusur dari ”rumahnya” sendiri. Kontribusi terhadap pelaku seni bisa dikatakan tidak begitu signifikan.

”Soal peran Dewan Kesenian Aceh selama ini, kontribusi pada seniman tidak ada. Karena lebih banyak program dikerjakan untuk diri sendiri. Kecuali antar lembaga kesenian. Jadi, program untuk Dewan Kesenian Aceh dan anggotanya saja. Kita bisa lihat, mereka bekerja mengikuti selera pengurusnya saja, bukan hasil aspirasi para seniman. Seharusnya Dewan Kesenian Aceh menampung atau memberi porsi pada masing-masing bidang kesenian. Kalau perlu anggaran di bagi sesuai bidang-bidang seni, tidak di swakelola oleh DKA” ungkapnya miris.

Sepulang dari Kuala Lumpur, Malaysia, untuk mengikuti Konggres Sebudaya Serumpun minggu lalu. Tercipta pemikiran baru. Berfikir untuk mencoba mempersatukan bangsa serumpun, melalui seni dan budaya.

Keinginan untuk bersama-sama membangun kesenian Aceh, bukanlah sekedar harapan. Kearifan dari para seniman yang lebih senior terhadap yang muda, adalah kekuatan kesenian itu sendiri. Ikatan emosional antara kaum tua dan muda, hingga bisa memberi sumbangsih bagi Aceh ke depan, Aceh yang lebih indah.

“Harapan saya pada Dinas Kebudayaan, jangan terkesan menghindari seniman. Cobalah merangkul kembali, turun ke lapangan, adakan dialog guna memperbaiki hubungan antara DKA dengan seniman. Selama tiga periode, saya tidak merasakan DKA serendah ini di mata Seniman” demikian ungkapan Doel.

ŸZoel



Tidak ada komentar:

Powered By Blogger