Harian Analisa / Minggu, 15 Juli 2007
Tinjauan Buku
Luka POMA; Maskirbi
Oleh : Ris Pasha
Judul : Luka POMA
Penerbit : Aliansi Sastrawan Aceh (ASA) – BRR NAD Sumut
Cetakan : I, 2007
Editor/Pengantar : Doel CP Allisah
Terbitan Pertama : 2007
Ukuran Buku : 13,5 x 20 cm
Tebal : v,97 halaman
SEORANG penyair Aceh yang sangat dikenal semasa hidupnya, bernama Maskirbi. Dia meninggal dunia beserta anak dan istrinya sekeluarga, ketika tsunami datang menerjang tiba-tiba dan memporakporandakan Banda Aceh. Tragis memang.
Semasa hidupnya Maskirbi, banyak mengirimkan puisi-puisinya dan cerpennya ke berbagai harian yang terbit di Medan.
Untuk mengenang penyair yang pernah dibanggakan oleh –ketika itu- Daerah Istimewa Aceh Maskiribi, Aliansi Sastrawan Aceh (ASA) bekerjasama dengan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Sumut-NAD, menerbitkan tentang karya-karya Maskirbi.
Banyak seniman Aceh yang meninggal dunia, ketika tsunami melanda Aceh khususnya Banda Aceh. Salah seorang diantaranya Maskirbi, nama aslinya Mazhar.
Dilahirkan di Tarutung Tapanuli Utara (Sumatera Utara, persis 9 Oktober 1952, lebih muda hanya 4 hari dari penulis.
Dalam buku Luka POMA Maskirbi, termuat sebuah naskah drama yang boleh dikatakan sangat populer kala itu berjudul POMA (Luka Ibu Kita) yang berdurasi 1 jam lebih bercerita tentang heroisme dan nilai-nilai perjuangan dan kejuangan.
Dalam buku ini, termuat pula 33 buah puisinya yang terbagi dalam tiga bagian. Bagian pertama Puisi-puisi Maskirbi (AHK) terdiri dari 17 puisi dan bagian kedua Puisi-puisi Maskirbi (Ananda) terdiri dari 16 puisi. Ditambah 3 buah puisi terakhirnya pernah dimuat di Koran ditemukan kemudian, berjudul Keliru, Gagap, Wahai.
Jauh sebelum tsunami dating menghancurkan Aceh, Maskirbi sudah menulis sebuah puisi yang menceritakan betapa dahsyatnya sebuah bencana. Puisi itu ditulis pada 09 Oktober 1984. Ketika usianya persis 32 tahun.
Kita kutipkan selengkapnya puisi yang ditulisnya jauh sebelum bencana tsunami itu dating sebagai berikut;
Yang Tergenggam dan Yang Hilang.
09 Oktober 1984
Telah lepas berbagai kata
Menyapa matahari
Telah bermanik kata
Menatap cakrawala
Yang tergenggam Cuma bara
Yang terlihat Cuma bencana
Melihat keseharian Maskirbi dia memang seorang yang bersahaja, tidak neko-neko dan selalu taat pada shalat menghadap Tuhannya. Dia memang selalu mengagungkan kebesaran sang Khalik. Ini dapat dilihat dari puisi yang ditulisnya berjudul; Aku Cuma Titik Di LingkarMu.
Agustus 1985
Mata nanar tatap
Jalan tak lurus
Jarak tujuMu
Aku Cuma titik di lingkarMu
Gapai tak sampai
Lelah tak lepas
Oh, jarak yang jauh
Kun
Maka jadi pasti
Aku ada
Aku fana
Denga kun
Ulur belai
Dekap aku diraibMu
Sujudku dengan KunMu
Aku cuma titik
DilingkarMu
Pada bait terakhir dari puisinya, terbaca jelas yang tersirat dalam qalbu Maskirbi. Dekap aku di raibMu/Sujud dengan KunMu/Aku cuma titik/Di lingkarMu//
Betapa Maskirbi merendah diri dihadapan sang penciptanya dan betapa Maskirbi mengagungkan sang Pencipta. Karena dia hanya titik dihadapanNya, Maskirbi demikian pasrah apa yang kelak akan terjadi atas dirinya.
Maskirbi menulis lagi tentang bencana yang mengancam. Ketika itu mungkin bencana, betapa alam akan murka terutama gunung, mungkin kayu-kayunya diambil sembarangan tanpa memikirkan akibatnya.
Puisinya berjudul; Dan Gunung-Gunung Jadi Murka.
Juga ada di hati kita
Namun Cuma bisa jadi saksi
Dan gunung-gunung jadi murka
Memuntahkan isi perutnya
Langit gelap mata jadi gelap
Bumi bergetar hati kalap
Oh…kehendak tak terelakkan
Dan gunung-gunung jadi murka
Sebuah pertanda bagi manusia
Yang tak pernah mengucapkan terimakasih
Terkadang manusia lebih ganas dari
gelegar gunung api.
Keperdulian Maskirbi atas lingkungan begitu tinggi. Itu dapat kita simak pula dalam puisinya berjudul; Bumi Mulai Bengkak-bengkak.
Penulis buku kumpulan puisi tunggalnya berjudul; Mataharikah Matanya, yang diterbitkan tahun 1990 ini juga seorang yang aktif di Teater Mata.
Buku kenangan terhadap Maskirbi anak Aceh yang lahir di tanah Batak ini bersama almarhum Hasyim KS, almarhum Nurgani Asyik, Nani HS dan Doel CP Allisah memprakarsai lahirnya Lembaga Penyair Aceh (LEMPA). Dalam konteks budaya dia juga pernah beberapa kali ke Malaysia. Tahun 1995-2000 dia menjadi sekretaris umum Dewan Kesenian Aceh (DKA).
Maskirbi seorang PNS di Taman Budaya Banda Aceh ini, telah mengisi banyak hal positif bagi perkembangan kesenian di Aceh. Untuk itu lah ASA dan BRR Sumut-NAD menerbitkan buku ini agar pembaca tak melupakan seorang penyair dan pekerja teater di Aceh ini tak hilang dari kenangan kita.
Satu yang tak bisa dilupakan dari Maskirbi, kesederhanaannya, sikapnya yang sangat bersahabat terhadap siapa saja dan sangat akomodatif terhadap pendapat temannya.
Tinjauan Buku
Luka POMA; Maskirbi
Oleh : Ris Pasha
Judul : Luka POMA
Penerbit : Aliansi Sastrawan Aceh (ASA) – BRR NAD Sumut
Cetakan : I, 2007
Editor/Pengantar : Doel CP Allisah
Terbitan Pertama : 2007
Ukuran Buku : 13,5 x 20 cm
Tebal : v,97 halaman
SEORANG penyair Aceh yang sangat dikenal semasa hidupnya, bernama Maskirbi. Dia meninggal dunia beserta anak dan istrinya sekeluarga, ketika tsunami datang menerjang tiba-tiba dan memporakporandakan Banda Aceh. Tragis memang.
Semasa hidupnya Maskirbi, banyak mengirimkan puisi-puisinya dan cerpennya ke berbagai harian yang terbit di Medan.
Untuk mengenang penyair yang pernah dibanggakan oleh –ketika itu- Daerah Istimewa Aceh Maskiribi, Aliansi Sastrawan Aceh (ASA) bekerjasama dengan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Sumut-NAD, menerbitkan tentang karya-karya Maskirbi.
Banyak seniman Aceh yang meninggal dunia, ketika tsunami melanda Aceh khususnya Banda Aceh. Salah seorang diantaranya Maskirbi, nama aslinya Mazhar.
Dilahirkan di Tarutung Tapanuli Utara (Sumatera Utara, persis 9 Oktober 1952, lebih muda hanya 4 hari dari penulis.
Dalam buku Luka POMA Maskirbi, termuat sebuah naskah drama yang boleh dikatakan sangat populer kala itu berjudul POMA (Luka Ibu Kita) yang berdurasi 1 jam lebih bercerita tentang heroisme dan nilai-nilai perjuangan dan kejuangan.
Dalam buku ini, termuat pula 33 buah puisinya yang terbagi dalam tiga bagian. Bagian pertama Puisi-puisi Maskirbi (AHK) terdiri dari 17 puisi dan bagian kedua Puisi-puisi Maskirbi (Ananda) terdiri dari 16 puisi. Ditambah 3 buah puisi terakhirnya pernah dimuat di Koran ditemukan kemudian, berjudul Keliru, Gagap, Wahai.
Jauh sebelum tsunami dating menghancurkan Aceh, Maskirbi sudah menulis sebuah puisi yang menceritakan betapa dahsyatnya sebuah bencana. Puisi itu ditulis pada 09 Oktober 1984. Ketika usianya persis 32 tahun.
Kita kutipkan selengkapnya puisi yang ditulisnya jauh sebelum bencana tsunami itu dating sebagai berikut;
Yang Tergenggam dan Yang Hilang.
09 Oktober 1984
Telah lepas berbagai kata
Menyapa matahari
Telah bermanik kata
Menatap cakrawala
Yang tergenggam Cuma bara
Yang terlihat Cuma bencana
Melihat keseharian Maskirbi dia memang seorang yang bersahaja, tidak neko-neko dan selalu taat pada shalat menghadap Tuhannya. Dia memang selalu mengagungkan kebesaran sang Khalik. Ini dapat dilihat dari puisi yang ditulisnya berjudul; Aku Cuma Titik Di LingkarMu.
Agustus 1985
Mata nanar tatap
Jalan tak lurus
Jarak tujuMu
Aku Cuma titik di lingkarMu
Gapai tak sampai
Lelah tak lepas
Oh, jarak yang jauh
Kun
Maka jadi pasti
Aku ada
Aku fana
Denga kun
Ulur belai
Dekap aku diraibMu
Sujudku dengan KunMu
Aku cuma titik
DilingkarMu
Pada bait terakhir dari puisinya, terbaca jelas yang tersirat dalam qalbu Maskirbi. Dekap aku di raibMu/Sujud dengan KunMu/Aku cuma titik/Di lingkarMu//
Betapa Maskirbi merendah diri dihadapan sang penciptanya dan betapa Maskirbi mengagungkan sang Pencipta. Karena dia hanya titik dihadapanNya, Maskirbi demikian pasrah apa yang kelak akan terjadi atas dirinya.
Maskirbi menulis lagi tentang bencana yang mengancam. Ketika itu mungkin bencana, betapa alam akan murka terutama gunung, mungkin kayu-kayunya diambil sembarangan tanpa memikirkan akibatnya.
Puisinya berjudul; Dan Gunung-Gunung Jadi Murka.
Juga ada di hati kita
Namun Cuma bisa jadi saksi
Dan gunung-gunung jadi murka
Memuntahkan isi perutnya
Langit gelap mata jadi gelap
Bumi bergetar hati kalap
Oh…kehendak tak terelakkan
Dan gunung-gunung jadi murka
Sebuah pertanda bagi manusia
Yang tak pernah mengucapkan terimakasih
Terkadang manusia lebih ganas dari
gelegar gunung api.
Keperdulian Maskirbi atas lingkungan begitu tinggi. Itu dapat kita simak pula dalam puisinya berjudul; Bumi Mulai Bengkak-bengkak.
Penulis buku kumpulan puisi tunggalnya berjudul; Mataharikah Matanya, yang diterbitkan tahun 1990 ini juga seorang yang aktif di Teater Mata.
Buku kenangan terhadap Maskirbi anak Aceh yang lahir di tanah Batak ini bersama almarhum Hasyim KS, almarhum Nurgani Asyik, Nani HS dan Doel CP Allisah memprakarsai lahirnya Lembaga Penyair Aceh (LEMPA). Dalam konteks budaya dia juga pernah beberapa kali ke Malaysia. Tahun 1995-2000 dia menjadi sekretaris umum Dewan Kesenian Aceh (DKA).
Maskirbi seorang PNS di Taman Budaya Banda Aceh ini, telah mengisi banyak hal positif bagi perkembangan kesenian di Aceh. Untuk itu lah ASA dan BRR Sumut-NAD menerbitkan buku ini agar pembaca tak melupakan seorang penyair dan pekerja teater di Aceh ini tak hilang dari kenangan kita.
Satu yang tak bisa dilupakan dari Maskirbi, kesederhanaannya, sikapnya yang sangat bersahabat terhadap siapa saja dan sangat akomodatif terhadap pendapat temannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar