Serambi Indonesia / Selasa 17 November 1992
Hari Minggu 15/11 kemarin, dua penyair muda wanita (Wina SWI dan Faridha) tampil membacakan puisi-puisinya dengan mengambil tempat di Aula RSJ Banda Aceh. Apakah dua wanita itu saja dari sedikit wanita yang berbakat menjadi penyair di Aceh?
Berbicara tentang penyair wanita di Aceh bersama sajak-sajak mereka, saat ini kita memang kesulitan untuk mengumpulkan data-datanya. Ini tak bisa kita lepaskan dari jarangnya penyair -penyair wanita muncul dan tampil kepermukaan. Dibanding dengan daerah-daerah lain di Indonesia, kita memang pantas untuk mengkaji lebih jauh penyebab langkanya penulis sastra dari kalangan wanita di Aceh, antara lain bisa saja penulis / sastrawan wanita disini masih merasa enggan untuk mempublikasikan hasil karyanya, atau memang wanita masih merasa “aneh” untuk jadi sastrawan?
Hingga sekarang sastrawan-sastrawan wanita di Aceh bisa kita hitung dengan jari, dan itupun yang benar-benar eksis cuma tak lebih beberapa orang saja. Untuk itu mungkin kita baru melihat pada satu sosok Rosni Idham, walau sebelumnya juga beberapa nama yang cukup berarti pernah aktif semisal, Ny Ramlah Wahab, Ny Zahara Pohan, Ny Z Cancer, Zuraini Zach dan lain-lain. Dan sesudah angkatan Rosni Idham kita baru jumpai beberapa nama penyair wanita yang punya harapan untuk terus eksis, antaranya bisa kita sebut nama-namanya: D Keumalawati, NH.Yatie, Wina SW1, Faridha, Ernita Kahar dan Fidziah. Itupun kita belum melihat kalau mereka akan terus bertahan.
Kenyataan diatas juga kita temui di bidang penulisan cerita pendek, sampai saat ini cerpenis wanitapun sangat sulit untuk diketengahkan. Begitupun kita tentu berharap beberapa cerpenis yang telah nampak kepermukaan seperti, Nani HS, Erismawati, Faridha dan Wina akan terus konsisten di bidangnya.
Penulis Muda:
Menelusuri kurun akhir tahun delapan puluhan sampai tahun sembilan puluhan ini, kita menemukan beberapa nama penulis sajak, baik itu yang dikirim ke radio-radio siaran di Aceh (tentu saja yang ada ruang budayanya) maupun ke beberapa surat kabar yang terbit di Aceh. Dari mereka itu belum terlihat nama-nama yang betul-betul mendalami bidangnya. Banyak dari nama-nama yang muncul tak lebih baru sampai pada taraf menulis untuk dikirim kepada sang kekasih dengan segala penggambaran emosi dan perasaan yang meluap-luap. Begitupun sebagai pemula yang baru melangkah didunia sastra, kitapun bisa maklum dan tentu saja kita berharap dari konsistennya mereka mempublikasikan karya-karyanya suatu saat akan lahir penyair-penyair wanita yang punya kwalitas.
Belakangan ini gairah dari kehadiran penyair-penyair wanita muda usia terlihat cukup marak dengan banyaknya nama-nama yang muncul, walaupun rata-rata secara kwalitas belum mampu untuk bicara lebih jauh, selain masih seputar bicara perasaan dan lingkungan terbatas saja. Gairah ini tak bisa kita lepaskan dengan tersedianya lahan (muara) bagi mereka disurat kabar-surat kabar yang ada di Aceh saat ini.
Beberapa sajak yang ditulis penyair muda wanita yang kita simak belakangan ini di beberapa media massa, walau masih banyak berbicara seputar diri sendiri, namun beberapa diantaranya mulai menemukan warnanya.
Secara keseluruhan, banyak kelemahan dari penyair muda wanita kita saat ini adalah pada tema dan makna yang hendak disampaikan. Kebanyakan dari mereka masih terlalu boros dengan kata-kata, disamping masih tetap melingkar-lingkar seputar perasaan dan gairah cinta remaja.
Harapan kita bagi rekan-rekan muda ini untuk perlu lebih banyak membaca karya-karya orang lain, disamping terus berusaha untuk lebih menyeleksi karya-karya yang hendak dipublikasikan. Dengan demikian karya-karya yang dihasilkan tidak cuma sebagai hasil dari pengumbaran perasaan semata. Bagi rekan-rekan, Siti fatimah, MI, Lia Purnama, Aisah Julimarlita, erismawaty, Fitriana Nasution, Ifah, Dek Cut, Tina Arida, Dwi Astuti, Nony dan lainnya, perlu lebih merenung lagi, bahwa puisi tidak hanya sekedar cetusan perasaan tapi puisi bisa jadi adalah suara batin terdalam yang merupakan hasil pengendapan pikir dan rasa. Ia menjadi suatu inti dari makna-makna yang mencakupi unsur filosofis, musikalitas dan estetika disampaikan kepada pembaca/penikmat. Begitupun menulislah terus karena “memulai” adalah awal dari langkah sukses berikutnya!
- Doel CP Allisah
Hari Minggu 15/11 kemarin, dua penyair muda wanita (Wina SWI dan Faridha) tampil membacakan puisi-puisinya dengan mengambil tempat di Aula RSJ Banda Aceh. Apakah dua wanita itu saja dari sedikit wanita yang berbakat menjadi penyair di Aceh?
Berbicara tentang penyair wanita di Aceh bersama sajak-sajak mereka, saat ini kita memang kesulitan untuk mengumpulkan data-datanya. Ini tak bisa kita lepaskan dari jarangnya penyair -penyair wanita muncul dan tampil kepermukaan. Dibanding dengan daerah-daerah lain di Indonesia, kita memang pantas untuk mengkaji lebih jauh penyebab langkanya penulis sastra dari kalangan wanita di Aceh, antara lain bisa saja penulis / sastrawan wanita disini masih merasa enggan untuk mempublikasikan hasil karyanya, atau memang wanita masih merasa “aneh” untuk jadi sastrawan?
Hingga sekarang sastrawan-sastrawan wanita di Aceh bisa kita hitung dengan jari, dan itupun yang benar-benar eksis cuma tak lebih beberapa orang saja. Untuk itu mungkin kita baru melihat pada satu sosok Rosni Idham, walau sebelumnya juga beberapa nama yang cukup berarti pernah aktif semisal, Ny Ramlah Wahab, Ny Zahara Pohan, Ny Z Cancer, Zuraini Zach dan lain-lain. Dan sesudah angkatan Rosni Idham kita baru jumpai beberapa nama penyair wanita yang punya harapan untuk terus eksis, antaranya bisa kita sebut nama-namanya: D Keumalawati, NH.Yatie, Wina SW1, Faridha, Ernita Kahar dan Fidziah. Itupun kita belum melihat kalau mereka akan terus bertahan.
Kenyataan diatas juga kita temui di bidang penulisan cerita pendek, sampai saat ini cerpenis wanitapun sangat sulit untuk diketengahkan. Begitupun kita tentu berharap beberapa cerpenis yang telah nampak kepermukaan seperti, Nani HS, Erismawati, Faridha dan Wina akan terus konsisten di bidangnya.
Penulis Muda:
Menelusuri kurun akhir tahun delapan puluhan sampai tahun sembilan puluhan ini, kita menemukan beberapa nama penulis sajak, baik itu yang dikirim ke radio-radio siaran di Aceh (tentu saja yang ada ruang budayanya) maupun ke beberapa surat kabar yang terbit di Aceh. Dari mereka itu belum terlihat nama-nama yang betul-betul mendalami bidangnya. Banyak dari nama-nama yang muncul tak lebih baru sampai pada taraf menulis untuk dikirim kepada sang kekasih dengan segala penggambaran emosi dan perasaan yang meluap-luap. Begitupun sebagai pemula yang baru melangkah didunia sastra, kitapun bisa maklum dan tentu saja kita berharap dari konsistennya mereka mempublikasikan karya-karyanya suatu saat akan lahir penyair-penyair wanita yang punya kwalitas.
Belakangan ini gairah dari kehadiran penyair-penyair wanita muda usia terlihat cukup marak dengan banyaknya nama-nama yang muncul, walaupun rata-rata secara kwalitas belum mampu untuk bicara lebih jauh, selain masih seputar bicara perasaan dan lingkungan terbatas saja. Gairah ini tak bisa kita lepaskan dengan tersedianya lahan (muara) bagi mereka disurat kabar-surat kabar yang ada di Aceh saat ini.
Beberapa sajak yang ditulis penyair muda wanita yang kita simak belakangan ini di beberapa media massa, walau masih banyak berbicara seputar diri sendiri, namun beberapa diantaranya mulai menemukan warnanya.
Secara keseluruhan, banyak kelemahan dari penyair muda wanita kita saat ini adalah pada tema dan makna yang hendak disampaikan. Kebanyakan dari mereka masih terlalu boros dengan kata-kata, disamping masih tetap melingkar-lingkar seputar perasaan dan gairah cinta remaja.
Harapan kita bagi rekan-rekan muda ini untuk perlu lebih banyak membaca karya-karya orang lain, disamping terus berusaha untuk lebih menyeleksi karya-karya yang hendak dipublikasikan. Dengan demikian karya-karya yang dihasilkan tidak cuma sebagai hasil dari pengumbaran perasaan semata. Bagi rekan-rekan, Siti fatimah, MI, Lia Purnama, Aisah Julimarlita, erismawaty, Fitriana Nasution, Ifah, Dek Cut, Tina Arida, Dwi Astuti, Nony dan lainnya, perlu lebih merenung lagi, bahwa puisi tidak hanya sekedar cetusan perasaan tapi puisi bisa jadi adalah suara batin terdalam yang merupakan hasil pengendapan pikir dan rasa. Ia menjadi suatu inti dari makna-makna yang mencakupi unsur filosofis, musikalitas dan estetika disampaikan kepada pembaca/penikmat. Begitupun menulislah terus karena “memulai” adalah awal dari langkah sukses berikutnya!
- Doel CP Allisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar