Serambi Indonesia / Minggu 19 April 1992
Seorang yang sentimentil agaknya lebih suka memillih “nyanyian” untuk mencurahkan ide dan rasa “pemberontakannya”. Sedangkan seseorang yang emosional, mungkin lebih suka memilih “pemberontakan” itu sendiri dalam menyatakan hal yang sama. Maka, ketika seorang Doel CP Allisah, penyair kelahiran Banda Aceh, 3 Mei 1961, menerbitkan kumpulan puisi “Nyanyian Angin”, kita pun seakan telah sepakat, dia adalah sosok penyair yang sentimentil.
Sentimentalitas seorang penyair memang tidak hanya dalam soal-soal percintaan semata. Tapi banyak di antara penyair-penyair kita yang meletakkan peristiwa-peristiwa sentimentil dalam kaitannya dengan percintaan, sebagai titik tumpu karyanya. Lewat buku perdana Doel CP Allisah yang diterbitkan DCP Production 1992, apa yang kita tangkap ternyata lebih kurang memang sama dengan kebanyakan penyair yang kita sebutkan terakhir tadi.
Lelaki bertubuh besar, sudah beristri, hitam manis, berkumis tebal namun berhati lembut ini memang sangat romantis. Bahkan dalam menyatakan sikapnya yang paling prinsipil sebagai manusiapun, sanggup ia tuturkan dalam bahasa yang mesra. Simak puisinya yang ditempatkan di urutan pertama bukunya itu;Biarkan Jalanan Jadi Rumah: //Biarkan jalanan jadi rumah/dan malam sebagai tamannya/dalam semua itu/hidup kami petualang waktu/memberi makna pada tiada/menjadi gumpalan do’a//.//Biarkan jalanan jadi rumah/dan malam sebagai tamannya/dikejauhan/ketika subuh basah berembun/jangan ikat hati kami/agar tak terhalang/mengalirkan pengertian//.//Biarkan tegar mandiri /mengarungi semua ruang/sepanjang malam, sepanjang jalan//.//Biarkan jalanan jadi rumah /dan malam sebagai tamannya/kami akan ada dalam tiada//memberimu pengertiaan/untuk anak-anak masa depan//.
Sajak yang ditulisnya tahun 1986 itu, merupakan suara “pemberontakan” yang tumbuh dari suatu keterikatan. Doel menyatakan hasratnya untuk keluar dari keterikatan itu tanpa harus berteriak-teriak atau memaki-maki. Cukup disapanya dengan lembut. Dan memang di sinilah kelebihan bahasa Doel sebagai penyair. Menyusup tanpa terasa, tetapi ada.
Justru karena sikapnya yang tidak meledak-ledak itu, Doel memiliki ketenangan dan kejernihan bahasa tersendiri. Gejolak dan peperangan didalam dirinya mampu diredam, diperas, menjadi serpihan-serpihan pengertian. Ia rela mengalah, tidak ngotot, Ia tidak mau terjadi peperangan baik di luar atau di dalam dirinya, meskipun toh peristiwa demi peristiwa, gemuruh dan gejolak-gejolak, tak juga mau berhenti. Ia juga tidak merasa perlu memaksakan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam dirinya, seperti tercermin dalam sajak-Engkau yang ditulisnya tahun 1990.
//Kasihmukah yang menyelinap dalam kamarku?/ketika angin mati dalam do’a panjang/begitu dekat di hati/bagai pantulan dan bayangan/entahlah/sampai kapan pun aku terus mencari/atau kita tak pernah bertemu!//. Sikap senada juga tercermin dalam Sajak Buat Bapak yang ditulisnya 1985.
Lebih jauh lagi, dalam satu keadaan yang paling menekanpun, dimana Doel merasa ia perlu berteriak atau bahkan memaki, toh tetap saja yang terlahir adalah bahasa-bahasa yang lembut. Tetap saja ia sentimentil. Pada bait terakhir dari empat bait sajak Dan Kau pun Sampailah di Tujuan ia berujar…..//Dan kau pun sampailah ditujuan/tersenyum bersama mimpi/menutup semua pintu/tinggal aku sendiri di luar/kembali kemalam sambil memaki tanpa tujuan//. Didalam sajak tersebut Doel ingin memaki namun yang terlahir tetap “nyanyian”.
Tema yang bervariasi didalam kumpulan “Nyanyian Angin”, memberikan keragaman warna ditengah suasana sentimentil yang ditampilkan Doel CP Allisah. Tetapi, penyair ini tampaknya lebih cenderung membicarakan peristiwa batin ketimbang peristiwa sosial. Akibatnya, ia memang terkesan subjektif. Begitu pun, kalau ia suatu ketika harus bicara tentang kenyataan sosial, hanya sepintas. Itu pun terkesan malas. Sepertinya ia orang yang tidak suka “keributan”.
Subjektivitas di dalam sajak-sajaknya juga merupakan konsekwensi dari sikap sentimentilnya. Karena dia tidak membicarakan peristiwa manusia secara komunal, tetapi antar individu. Dia juga tampak lebih sebagai seorang pencinta yang kesepian, atau pengembara yang “tersandung”.
Akibat dari sikap-sikapnya itu, Doel merasa menjadi seorang yang tercampak dan membuatnya kesepian. Kesepian ini pula yang menjadi teman akrab di tengah kegelisahannya sebagai manusia. Setiap sajaknya kental dengan roh kesepian. Dan dia tidak pernah bisa keluar dari lingkaran itu. Akhirya, di dalam kesepiannya itu pula ia sering menemukan ketenangan-ketenangan tertentu. Ia semakin jernih berpikir tentang masa-masa yang dilewatinya, keberadaan dirinya dan tentang Tuhan. Kita baca sajaknya yang sangat kental, berjudul Ketika Senja Turun di Pelukan Laut Adik, Aku Kembali ke Sepi diri;
Ketika senja turun di pelukan laut adik,/aku kembali ke sepi diri/seiring kulik elang kian lirih/bayang mengejar halaman/rumah kita hening//. //Ketika malam diam dipintu/aku tengah menembangkan lagu/buat emak di beranda/tangannya gemetar mencatat waktu/bakti kita/jadilah sumbangsih di senja umurnya//. //Aduh, dik, ini kabar kakak kirimkan/ lewat nelayan pergi ke laut/pada buruh mengayuh hidup/sementara harga mereka acuhkan, buat apa/Kita tak perlu menangis/karena air mata tak menghapuskan gelisah rakyat/ sedangkan emak pasrah merajut gelagah/buat oleh-oleh adik kembali/kami sama tersenyum/ ketika rentangan tanganmu/merekah pesona/nostalgia masa//. //Ketika senja turun di pelukan laut, adik/aku kembali ke sepi diri/bayanganmu kian menjauh/kecil sekali/menyucuk-nyucuk relung hati// Ketika senja turun di pelukan laut, adik/kita tinggal dalam impian/kembali kesepi diri//….Untuk saat-saat selanjutnya, Doel menganggap bahwa sepi menjadi “baik” kepadanya dan mereka semakin akrab seperti yang tercuat dari sajak Lagu Sepi Batinku, ditulis 1987.
Empat puluh sajak dalam “Nyanyian Angin”, tak pelak merupakan catatan kesepian yang sentimentil dari seseorang Doel CP Allisah, syair-syair yang tenang dalam kemasan buku saku yang pengantarnya ditulis Walikota Madya Banda Aceh Drs. Baharoeddin Yahya ini, mengetengahkan berbagai bahan perenungan yang sederhana, namun menyiratkan nilai-nilai kejiwaan dengan bahasa mesra.
Bagi Doel, yang juga wartawan, ini adalah buku perdananya. Namun sebelumnya, sajak-sajaknya telah diterbitkan dalam berbagai antologi “keroyokan”, seperti “Malam Perempuan Malam” (Hr Waspada, Medan 1984), “Duri (Majalah Dunia wanita, 1985), “Ranub” (Lempa, 1985), “Antologi Puisi Penyair Aceh” (karya Prima Jakarta,1986), “Antologi Puisi KSA” (Pan/TBA, 1990). Dengan terbitnya kumpulan puisi “Nyanyian Angin “ maka bertambahlah koleksi buku sastra di Aceh, yang memang sangat minim.
[wiratmadinata]
Seorang yang sentimentil agaknya lebih suka memillih “nyanyian” untuk mencurahkan ide dan rasa “pemberontakannya”. Sedangkan seseorang yang emosional, mungkin lebih suka memilih “pemberontakan” itu sendiri dalam menyatakan hal yang sama. Maka, ketika seorang Doel CP Allisah, penyair kelahiran Banda Aceh, 3 Mei 1961, menerbitkan kumpulan puisi “Nyanyian Angin”, kita pun seakan telah sepakat, dia adalah sosok penyair yang sentimentil.
Sentimentalitas seorang penyair memang tidak hanya dalam soal-soal percintaan semata. Tapi banyak di antara penyair-penyair kita yang meletakkan peristiwa-peristiwa sentimentil dalam kaitannya dengan percintaan, sebagai titik tumpu karyanya. Lewat buku perdana Doel CP Allisah yang diterbitkan DCP Production 1992, apa yang kita tangkap ternyata lebih kurang memang sama dengan kebanyakan penyair yang kita sebutkan terakhir tadi.
Lelaki bertubuh besar, sudah beristri, hitam manis, berkumis tebal namun berhati lembut ini memang sangat romantis. Bahkan dalam menyatakan sikapnya yang paling prinsipil sebagai manusiapun, sanggup ia tuturkan dalam bahasa yang mesra. Simak puisinya yang ditempatkan di urutan pertama bukunya itu;Biarkan Jalanan Jadi Rumah: //Biarkan jalanan jadi rumah/dan malam sebagai tamannya/dalam semua itu/hidup kami petualang waktu/memberi makna pada tiada/menjadi gumpalan do’a//.//Biarkan jalanan jadi rumah/dan malam sebagai tamannya/dikejauhan/ketika subuh basah berembun/jangan ikat hati kami/agar tak terhalang/mengalirkan pengertian//.//Biarkan tegar mandiri /mengarungi semua ruang/sepanjang malam, sepanjang jalan//.//Biarkan jalanan jadi rumah /dan malam sebagai tamannya/kami akan ada dalam tiada//memberimu pengertiaan/untuk anak-anak masa depan//.
Sajak yang ditulisnya tahun 1986 itu, merupakan suara “pemberontakan” yang tumbuh dari suatu keterikatan. Doel menyatakan hasratnya untuk keluar dari keterikatan itu tanpa harus berteriak-teriak atau memaki-maki. Cukup disapanya dengan lembut. Dan memang di sinilah kelebihan bahasa Doel sebagai penyair. Menyusup tanpa terasa, tetapi ada.
Justru karena sikapnya yang tidak meledak-ledak itu, Doel memiliki ketenangan dan kejernihan bahasa tersendiri. Gejolak dan peperangan didalam dirinya mampu diredam, diperas, menjadi serpihan-serpihan pengertian. Ia rela mengalah, tidak ngotot, Ia tidak mau terjadi peperangan baik di luar atau di dalam dirinya, meskipun toh peristiwa demi peristiwa, gemuruh dan gejolak-gejolak, tak juga mau berhenti. Ia juga tidak merasa perlu memaksakan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam dirinya, seperti tercermin dalam sajak-Engkau yang ditulisnya tahun 1990.
//Kasihmukah yang menyelinap dalam kamarku?/ketika angin mati dalam do’a panjang/begitu dekat di hati/bagai pantulan dan bayangan/entahlah/sampai kapan pun aku terus mencari/atau kita tak pernah bertemu!//. Sikap senada juga tercermin dalam Sajak Buat Bapak yang ditulisnya 1985.
Lebih jauh lagi, dalam satu keadaan yang paling menekanpun, dimana Doel merasa ia perlu berteriak atau bahkan memaki, toh tetap saja yang terlahir adalah bahasa-bahasa yang lembut. Tetap saja ia sentimentil. Pada bait terakhir dari empat bait sajak Dan Kau pun Sampailah di Tujuan ia berujar…..//Dan kau pun sampailah ditujuan/tersenyum bersama mimpi/menutup semua pintu/tinggal aku sendiri di luar/kembali kemalam sambil memaki tanpa tujuan//. Didalam sajak tersebut Doel ingin memaki namun yang terlahir tetap “nyanyian”.
Tema yang bervariasi didalam kumpulan “Nyanyian Angin”, memberikan keragaman warna ditengah suasana sentimentil yang ditampilkan Doel CP Allisah. Tetapi, penyair ini tampaknya lebih cenderung membicarakan peristiwa batin ketimbang peristiwa sosial. Akibatnya, ia memang terkesan subjektif. Begitu pun, kalau ia suatu ketika harus bicara tentang kenyataan sosial, hanya sepintas. Itu pun terkesan malas. Sepertinya ia orang yang tidak suka “keributan”.
Subjektivitas di dalam sajak-sajaknya juga merupakan konsekwensi dari sikap sentimentilnya. Karena dia tidak membicarakan peristiwa manusia secara komunal, tetapi antar individu. Dia juga tampak lebih sebagai seorang pencinta yang kesepian, atau pengembara yang “tersandung”.
Akibat dari sikap-sikapnya itu, Doel merasa menjadi seorang yang tercampak dan membuatnya kesepian. Kesepian ini pula yang menjadi teman akrab di tengah kegelisahannya sebagai manusia. Setiap sajaknya kental dengan roh kesepian. Dan dia tidak pernah bisa keluar dari lingkaran itu. Akhirya, di dalam kesepiannya itu pula ia sering menemukan ketenangan-ketenangan tertentu. Ia semakin jernih berpikir tentang masa-masa yang dilewatinya, keberadaan dirinya dan tentang Tuhan. Kita baca sajaknya yang sangat kental, berjudul Ketika Senja Turun di Pelukan Laut Adik, Aku Kembali ke Sepi diri;
Ketika senja turun di pelukan laut adik,/aku kembali ke sepi diri/seiring kulik elang kian lirih/bayang mengejar halaman/rumah kita hening//. //Ketika malam diam dipintu/aku tengah menembangkan lagu/buat emak di beranda/tangannya gemetar mencatat waktu/bakti kita/jadilah sumbangsih di senja umurnya//. //Aduh, dik, ini kabar kakak kirimkan/ lewat nelayan pergi ke laut/pada buruh mengayuh hidup/sementara harga mereka acuhkan, buat apa/Kita tak perlu menangis/karena air mata tak menghapuskan gelisah rakyat/ sedangkan emak pasrah merajut gelagah/buat oleh-oleh adik kembali/kami sama tersenyum/ ketika rentangan tanganmu/merekah pesona/nostalgia masa//. //Ketika senja turun di pelukan laut, adik/aku kembali ke sepi diri/bayanganmu kian menjauh/kecil sekali/menyucuk-nyucuk relung hati// Ketika senja turun di pelukan laut, adik/kita tinggal dalam impian/kembali kesepi diri//….Untuk saat-saat selanjutnya, Doel menganggap bahwa sepi menjadi “baik” kepadanya dan mereka semakin akrab seperti yang tercuat dari sajak Lagu Sepi Batinku, ditulis 1987.
Empat puluh sajak dalam “Nyanyian Angin”, tak pelak merupakan catatan kesepian yang sentimentil dari seseorang Doel CP Allisah, syair-syair yang tenang dalam kemasan buku saku yang pengantarnya ditulis Walikota Madya Banda Aceh Drs. Baharoeddin Yahya ini, mengetengahkan berbagai bahan perenungan yang sederhana, namun menyiratkan nilai-nilai kejiwaan dengan bahasa mesra.
Bagi Doel, yang juga wartawan, ini adalah buku perdananya. Namun sebelumnya, sajak-sajaknya telah diterbitkan dalam berbagai antologi “keroyokan”, seperti “Malam Perempuan Malam” (Hr Waspada, Medan 1984), “Duri (Majalah Dunia wanita, 1985), “Ranub” (Lempa, 1985), “Antologi Puisi Penyair Aceh” (karya Prima Jakarta,1986), “Antologi Puisi KSA” (Pan/TBA, 1990). Dengan terbitnya kumpulan puisi “Nyanyian Angin “ maka bertambahlah koleksi buku sastra di Aceh, yang memang sangat minim.
[wiratmadinata]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar