Harian Analisa, 13 april 2008.
Oleh Salman Yoga S
Mengikuti setiap acara pembacaan karya oleh sejumlah seniman, sesi pementasan teater dan diskusi terbuka dalam Temu Sastrawan Sumatera (TSS) dan Rumahitam Andalas Arts Forum (RAAF), tanggal 31 Maret-7 April 2008 di Sekupang Batam adalah sebuah ruang yang sangat terbuka bagi siapa saja. Bagaimana tidak, acara yang dikemas sedemikian rupa sebagai even kesenian dan kebudayaan tidak saja mampu menghadirkan sejumlah pejabat birokrasi, gubernur, walikota, wakil bupati, seniman dan sastrawan dari seluruh penjuru pulau Sumatera juga masyarakat biasa, buruh pabrik, pelajar dan guru-guru sekolah menengah umum. Semua yang hadir saling membaur dan bertukar informasi antar satu dengan lainnya.
Mengikuti setiap acara pembacaan karya oleh sejumlah seniman, sesi pementasan teater dan diskusi terbuka dalam Temu Sastrawan Sumatera (TSS) dan Rumahitam Andalas Arts Forum (RAAF), tanggal 31 Maret-7 April 2008 di Sekupang Batam adalah sebuah ruang yang sangat terbuka bagi siapa saja. Bagaimana tidak, acara yang dikemas sedemikian rupa sebagai even kesenian dan kebudayaan tidak saja mampu menghadirkan sejumlah pejabat birokrasi, gubernur, walikota, wakil bupati, seniman dan sastrawan dari seluruh penjuru pulau Sumatera juga masyarakat biasa, buruh pabrik, pelajar dan guru-guru sekolah menengah umum. Semua yang hadir saling membaur dan bertukar informasi antar satu dengan lainnya.
Lapangan terbuka Rumahitam seluas 600 meter persegi itu sejak pagi hingga malam hari tidak pernah sepi oleh kegiatan berkesenian. Bukan saja karena di lokasi itu terdapat sebuah perpustakaan mini dan warung jajanan dengan segala menu khasnya, tetapi juga tersedia dua panggung terbuka sebagai tempat para seniman berekspresi. Secara sepintas Komunitas Seni Rumahitam pimpinan Tarmizi itu tidak kalah dengan Warung Apresiasi (Wapres) Bulungan Jakarta Selatan. Setiap pengunjung dapat menikmati pesanan minuman atau makanan sekaligus berapresiasi dan berinteraksi langsung dengan para penggiat seni. Di tempat tersebut penulis menemukan sebuah titik temu antara teori komunikasi antar budaya dengan nilai komunikatifnya sebuah kesenian dalam kehidupan nyata. Kesenian tidak hanya dapat dinikmati melalui kata-kata, gerak atau bebunyian sebagai sumber estetik, tetapi dapat juga dinikmati melalui tingkah polah senimannya.
Kesenian benar-benar telah mengejewantah sebagai pemersatu bangsa, berbeda dengan dunia politik yang kerap membuat sekat dan terkotak-kotak sehingga mengakibatkan perbedaan dan perpecahan. Tempat tersebut juga sungguh telah menghantarkan penulis dalam planet kesenian yang hiruk, dinamis dan penuh warna. Bagaimana tidak, mulai dari sastrawan yang hadir dari seluruh provinsi di Sumatera sampai pemetasan teater, lomba baca puisi, musikalisasi puisi, tari tradisional dan kontemporer, festival kompang, diskusi kesenian hingga ke pembacaan karya oleh para sastrawan. Bukan saja karena dapat bersosialisasi dengan sejumlah sastrawan dan seniman, juga saling berapresiasi dengan kesenian moderen dan tradisional.
Meskipun secara formal acara Temu Sastrawan Sumatera (TSS) berlangsung tidak dalam ruang dengan agenda tersendiri, tetapi seluruh kegiatan terpusat dalam satu tempat telah menjadikan acara tersebut sebagai ajang silaturrahmi antar sastrawan, seniman dan masyarakat umum. Pelaksanaan Rumahitam Andalas Arts Forum (RAAF) dengan sejumlah agenda kesenian tradisional yang difestivalkan dan Temu Sastrawan Sumatera (TSS) berlangsung pada tempat dan waktu yang bersamaan. Sehingga secara keseluruhan tidak dapat dibedakan mana acara RAAF dan mana acara TSS. Hal tersebut menurut sebagian besar sastrawan yang hadir membuat acara itu sendiri tidak fokus, dan tidak monumental. Bagaimana bisa fokus bila pementasan teater dengan segala perangkat artistiknya harus buyar karena didampingkan dengan festival kompang (rebana), kata salah seorang seniman asal kota Padang. Hal ini bukan saja mengganggu pertunjukan, tetapi juga sangat menngurangi konsentrasi pemain, tambahnya. Hal senada diakui pula oleh Tarmizi selaku ketua pelaksana, yang diungkapkannya dalam diskusi intens antar sastrawan yang dilangsungkan di gedung Graha Pena Batam.
Meskipun antara RAAF dan TSS dilangsungkan pada tempat yang sama, selayaknya masing-masing agenda acara dan waktu dapat dipisahkan. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, hal ini membuat para sastrawan dan beberapa kelompok teater serta group musikalaisasi puisi harus kecewa. Terlepas dari kelemahan dalam pengorganisiran agenda acara, secara keseluruhan pelaksanaan TSS terbilang sukses. Sukses karena mampu menghadirkan sejumlah sastrawan dan seniman dari seluruh provinsi yang ada di Sumatera, melibatkan unsur pemerintah baik dalam penanggulangan pendanaan serta sebagai bagian dari acara. Antara pemerintah daerah dengan senimannnya tidak ada jarak sama sekali, pembangunan fisik dan mental melalui kesenian terbina demikian baiknya. Hal tersebut yang membedakannya dengan berbagai even dan moment kesenian yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, dimana senimannya selalu diposisikan sebagai pengemis dan pemerintah daerahnya sebagai donatur yang pelit dan jauh dari nilai estetik secara kultur.
Acara RAAF dan TSS berlangsung dengan baik, sejak malam pembukaan tanggal 31/3 hingga tanggal 6/4 telah tampil sejumlah sastrawan seperti Aida Ismeth Abdullah istri gubernur Kepulauan Riau (Kepri), Dra. Hj. Suryatati A. Manan walikota Tanjung Pinang dengan sejumlah puisi terbarunya. Pembacaan cerpen yang berjudul ”Lagu Dalam Bis” oleh Hamsad Rangkuti. Sejumlah sastrawan dan seniman lainnya yang berkesempatan hadir dan membacakan/mementaskan karyanya dari Nanggroe Aceh Darussalam, Ibrahim Kadir bersama sanggar Nenggeri Antara melalui tarian Guel-nya, Fikar W Eda lewat sajaknya ”Garepo”, Salman Yoga S dengan puisinya ”Renggali”, Doel CP Alisah dengan argumen berkeseniannya yang heroik dan Zulfikar Sawang dengan sejumlah puisin-puisiya. Idris Pasaribu dari Sumatera Utara tampil hikmat dengan cerpennya yang berjudul ”Hamsat Mencuri Jambu Klutuk” serta Thompson HS dan rombongan yang menampilkan Ketoprak Batak. Dari Lampung tampil sastrawan Edi Esa dan Panji Utama melalui puisinya ”Kabut di Negeri Malin Kundang” dan ”Hanyutlah Sriwijaya”.
Sementara itu dari Pekan Baru tampil penyair Hang Kafrawi melalui sajaknya ”Anakku dan Bulang yang Hilang”, dari Padang Sumatera Barat tampil Iyut Fitra dengan sejumlah puisi dan group musikalisasi puisinya yang dramatis serta Yusrizal dengan kelompok teater Hitam-putihnya yang membius penonton dengan naskah ”Kematian Hari”. Dari Bengkulu Choirul Muslim, Sanggar Tari Laksmana dan Kelompok Seni Akademi Kesenian dari Riau, penyair Jefri Al Malay dan Hang Kafrawi. Dari Batam sendiri tampil sejumlah seniman dan sastrawan yang sudah lama bergelut dalam kesenian, sebut saja Tarmizi Rumahitam, Ilyas Mauharta, Yeyen, Toni dengan kelompok dan naskah teaternya ”Kepompong”, Taufikurrahman dari Komunitas Perkusi Melayu). Selain itu tampil juga Hasan Aspahani dengan persentasi slaidnya tentang sastra syber. Sastrawan lainnya dari luar sumatera adalah Khairil Anwar dari Kediri Jawa Timur, yang hadir sebagai peninjau sekaligus mensosialisasikan pertemuan Sastrawan Nusantara pada bulan Juni-Juli mendatang di Kediri.
Diskusi yang berlangsung baik secara gerilya maupun melalui forum oleh sejumlah sastarawan mengevaluasi sejumlah kelebihan dan kekurangan pelaksanaan TSS sebagai lanjutan dari TSS yang dilangsungkan di kota Medan tahun lalu. Diskusi yang difasilitasi oleh Hasan Aspahani itu juga kemudian memutuskan pertemuan Sastrawan Sumatera tahun 2009 akan dilaksanakan di Padang Sumatera Barat, dengan pelaksana Iyut Fitra dan Komunitas Seni Intro Paya Kumbuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar