April 27th, 2007 by seuramoe
Oleh : Mukhlis A.Hamid,MS
[Dosen Prodi Bahasa FKIP Unsyiah]
Pengantar
Para ahli sastra bersepakat bahwa karya sastra, apapun bentuknya, diciptakan oleh penulisnya untuk mengkomunikasikan ide, perasaan, harapan, pengalaman hidup, hasil pengamatan, harapan, bahkan hasil pengembaraan batinnya kepada pembaca. Untuk itu, setiap karya yang dihasilkan diharapkan (oleh penulisnya) untuk dapat dipahami oleh pembaca sehingga pembaca sewmakin bertambah pengetahuannya, wawasannya, pengalamannya, dan pada akhirnya semakin peka batinnya dalam mengartikan segala peristiwa yang terjadi di sekitarnya.
Oleh : Mukhlis A.Hamid,MS
[Dosen Prodi Bahasa FKIP Unsyiah]
Pengantar
Para ahli sastra bersepakat bahwa karya sastra, apapun bentuknya, diciptakan oleh penulisnya untuk mengkomunikasikan ide, perasaan, harapan, pengalaman hidup, hasil pengamatan, harapan, bahkan hasil pengembaraan batinnya kepada pembaca. Untuk itu, setiap karya yang dihasilkan diharapkan (oleh penulisnya) untuk dapat dipahami oleh pembaca sehingga pembaca sewmakin bertambah pengetahuannya, wawasannya, pengalamannya, dan pada akhirnya semakin peka batinnya dalam mengartikan segala peristiwa yang terjadi di sekitarnya.
Dengan demikian, karya sastra mau tak mau harus dianggap sebagai salah satu sarana komunikasi, salah satu unsur semiotika, dalam kehidupan manusia berbudaya dengan segala konvensi dan keunikannya. Puisi sebagai salah satu genre sastra idealnya juga harus diperlakukan sebagai salah satu sarana semiotika oleh penulis (dan pembacanya). Karena itu, sejak awal penulis harus menyadari betul bahwa karya yang akan diciptakan itu dalam bentuk lisan atau tulisan harus dapat berbicara dengan pembacanya sehingga ciptaan tersebut tidak sia-sia dan menjadi bahan pajangan di rak/lemari penulisnya. Memang tiap penulis punya
gaya selingkung (style) sendiri dalam menata pikiran, harapan, dan pengalamannya melalui puisi sehingga selingkung tersebut menjadi ciri khas dan hak paten penulis tersebut sepanjang waktu.
Chairil Anwar, Rendra, Sutardji, Maskirbi, M Nur Gani Asyik, Din Saja, dan penyair-penyair lain punya karakter dan keunikan tersendiri sehingga pembaca (yang akrab dengan karya karya mereka) akan tahu langsung puisi siapa yang dibaca/didengarnya, meski nama penulis tidak disebut dalam karya tersebut. Keunikan ini antara lain terlihat dalam kecenderungan memilih bentuk ungkap (lirik, epik, naratif, dsb), diksi (pilihan kata), sistem pemetaan di atas kertas (tipografi), pemilihan tema, dan lain-lain. Namun, terlepas dari berbagai kepersonalan ragam dan pola ungkap seorang penyair, sebuah puisi khususnya puisi lirik memiliki tiga konvensi dasar (meminjam istilah Culler), yaitu theme dan Epiphany (tema dan perwujudannnya), distance & deixis (jarak dan deiksis), dan organic whole (keseluruhan yang organic).
Tema dan perwujudannya dimaknakan sebagai sebuah kesadaran penulis dan pembaca bahwa puisi lirik yang pada hakikatnya personal dan cenderung insidental harus diberi makna universal dan manusiawi. Kecenderungan penyair mempermasalahkan dirinya sendiri sebagai manusia modern yang problematik, terasing, dan kehilangan pegangan harus diberi makna umum, universal dan mungkin juga dialami oleh pembaca atau orang lain di bumi Allah ini. Jarak dan deiksis harus dipahami sebagai adanya konvensi pada penulis lirik untuk menggunakan kata ganti orang dan keterangan lain aku, kau, di sini, kemarin, dsb, yang harus dibaca dan dipahami sesuai dengan konteks referensi yang lain, konteks dan referensi yang dibangun oleh pembaca, karena itu, aku dalam puisi lirik belum tentu aku penyair. Aku itu bisa berarti siapa saja, termasuk pembacanya.
Selanjutnya, konsep keseluruhan yang organic dimaknakan sebagai ide penyair dalam puisi lirik idealnya ditulis/diungkapkan dalam satu kesatuan yang utuh, saling sambung (koheren), tidak meloncat-loncat, sehingga pembaca benar-benar larut dalam menyelami pemikiran dan pengalaman personal penyair sejak ia memulai hingga akhir pembacaan karya tersebut. Ketiga konvensi ini idealnya dimiliki dan benar-benar harus di perhitungkan oleh penulis (dan pembaca), sehingga apa yang terpikir oleh penulis saat menulis benar-benar dapat dipahami oleh pembava saat membaca sesuai dengan berbagai kondisi yang melingkupinya pada saat menulis ataupun membaca karya tersebut.
Nyanyian Miris: Sebuah Tanggapan Pembaca Awam.
Ada sebuah kemirisan (meminjam istilah Doel) saat penulis diminta membuat sebuah ulasan kritis terhadap puisi-puisi dalam kumpulan puisi Nyanyian Miris-nya Doel CP Alisah. Kemirisan itu didasari pada keterbatasan pengetahuan,pengalaman dan keakraban penulis dengan karya-karya Doel. Di samping itu, penulis pun khawatir kalau nantinya ulasan kritis ini dinilai terlalu akademis dan cenderung seperti kuliah mimbar. Pada kesempatan ini, secara kebetulan, penulis diminta menganalisis puisi-puisi dalam kumpulan ini dari sudut pendekatan semiotika, sedangkan dua rekan lain, M Nurgani Asyik dan Din Saja, diminta mengulas masalah proses kreatif dan landasan filosofinya.
Beranjak dari berbagai keterbatasan dan kenisbian selaku pemula, penulis mencoba mengulas apa yang terpikir dan terpahami dari pmbacaa yang panjang terhadap puisi-puisi Doel. Kemungkinan munculnya tafsiran yang agak berbeda dengan para hadirin yang terhormat, yang sebagian besar sangat berpengalaman dalam hal membuat puisi (beserta kritiknya), adalah hal yang sangat wajar. Toh dari dulu pun puisi (Khususnya puisi lirik, seperti puisi-puisi Doel dalam kumpulan ini) ditafsirkan beda oleh pembaca, sesuai dengan latar social budaya, tingkat pendidikan, tingkat keakraban dengan karya, pemahaman konvensi bahasa/sastra, nilai-nilai yang dianut, rentang waktu pembacaan, dan berbagai hal lain yang berpengaruh dalam interpretasi karya tersebut. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya kekaburan dan kambiguan (ketaksamaknaan) simbol-simbol dan kata tertentu dalam puisi yang dianalisis sehingga kemungkinan munculnya hal itu terasa wajar dan manusia sekali.
Membaca yang tersurat pada judul kumpulan dan puisi-puisi yang terkumpul di dalamnya (selama rentang waktu 1985-1995) penulis melihat adanya kemirisan, kecemasan, kewas-wasan, dan kerisauan aku lirik dalam kumpulan ini terhadap berbagai problema kehidupan sehari-hari. Hal ini diwujudkan dalam berbagai subtema, yaitu :
(1) kesepian dan kerinduan kepada adik/keluarga (dalam “Nyanyian Malam Lebaran”,1985)
,(2) keprihatinan terhadap kehidupan diri sendiri dan kolega (dalam “Biarkan Jalanan Jadi Rumah”,1986,
(3) kekhawatiran terhadap punahnya warisan budaya dan generasi (dalan “Teunom” 1987; “Landskap Sabang”,1986; “Tangse” 1991; “Miwah River” , 1995; “Banda Aceh Pagi Ini”,1995),
(4) kepasrahan hidup (dalam sajak “Buat Bapak”,1985)
(5) kerinduan,kegetiran dan kepasrahan cinta kekasih/istri (dalam “Nyanyian Lelaki Muda”,1979; “Landskap Lagu Sedih Wanitaku” , 1986; “Pulang”,1990; “Ciputat”, 1992; “Di Rotterdam Ketika Mimpi”; “Nyanyian Miris”,1994; “Trauma”,1994; dan “Sajak Perpisahan”,1995)
(6) Penyerahan diri pada Tuhan (dalam “Transe”, 1993; “Engkau IV”, 1994), dan
(7) Kerisauan terhadap diri sendiri (dalam “Dalam Ruang Tak Terbatas”, 1986; “Lagu Birahi”, 1993; dan “Kepada Doel”, 1995).
Dari segi pola penyampaian/pengungkapan tema, Doel terlihat berhasil dalam beberapa puisi yang dipilih dalam kumpulan ini. Keberhasilan itu secara khusus terlihat dalam puisi-puisi yang cenderung naratif dan prismatis, seperti “Nyanyian Lelaki Muda” (1979) “Nyanyian Malam Lebaran” (1985) “Sajak Buat Bapak” (1985), “Dalam Ruang Tak Terbatas” (1986), “Landskap Sabang” (1986), “Teunom” (1987), “Pulang” (1990), “Di Rotterdam Ketika Mimpi” (1993), “Miwah River” (1995), “Banda Aceh Pagi Ini” (1995), dan “Kepada Doel” (1995). Dalam puisi-puisi di atas penyair berusaha memilih diksi yang lugas dan pelambang yang cenderung konkret sehingga timbul imaji-imaji (citraan) pada pembaca baik imaji visual, audio, ataupun imaji taktil. Penumbuhan imaji tersebut secara tidak langsung berpengaruh pada tumbuhnya kemampuan pembaca dalam memahami dan menyalami pemikiran/pengalaman penyair dalam puisi tersebut.
Dari segi pola penyampaian/pengungkapan tema, Doel terlihat berhasil dalam beberapa puisi yang dipilih dalam kumpulan ini. Keberhasilan itu secara khusus terlihat dalam puisi-puisi yang cenderung naratif dan prismatis, seperti “Nyanyian Lelaki Muda” (1979) “Nyanyian Malam Lebaran” (1985) “Sajak Buat Bapak” (1985), “Dalam Ruang Tak Terbatas” (1986), “Landskap Sabang” (1986), “Teunom” (1987), “Pulang” (1990), “Di Rotterdam Ketika Mimpi” (1993), “Miwah River” (1995), “Banda Aceh Pagi Ini” (1995), dan “Kepada Doel” (1995). Dalam puisi-puisi di atas penyair berusaha memilih diksi yang lugas dan pelambang yang cenderung konkret sehingga timbul imaji-imaji (citraan) pada pembaca baik imaji visual, audio, ataupun imaji taktil. Penumbuhan imaji tersebut secara tidak langsung berpengaruh pada tumbuhnya kemampuan pembaca dalam memahami dan menyalami pemikiran/pengalaman penyair dalam puisi tersebut.
Dalam “Nyanyian Malam Lebaran”, misalnya, aku lirik bercerita tentang kesepian dan kerinduannya pada kemeriahan dan kesyahduan bermalam lebaran dengan keluarga setelah berpuasa selama sebulan.Ada kegetiran memang, saat gemuruh takbir bergema, keinginan untuk bersama,keinginan untuk larut dalam tradisi,keinginan untuk kembali ke masa lalu di kampong, kian mengental sehingga membuat aku merasa sepi di tengah-tengah keramaian kota besar, kesepian dan keperihan itu semakin menjadi-jadi saat barisan takbir menghilang dan aku berjalan sendiri sambil menyusut air mata yang tak lagi bisa di bendung. Sepintas puisi ini terasa cengeng dan mengada-ada. Tapi bila kita kaji lebih dalam, keterkaitan kita dengan tradisi yang menahun mau tak mau menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan hidup kita dari waktu kewaktu, apalagi saat kita berada jauh dari alam yang melahirkan tradisi itu.
Pemakaian diksi yang cenderung denotatif dan pelambang yang konkret membuat puisi ini mampu berkomunikasi dengan pembacanya. Pembaca seakan barisan orang-orang yang bertakbir, mendengar gemuruh takbiran bersahut-sahutan,merasakan kesedihan aku lirik, melihat aku lirik larut dalam keramaian, melihat “dekki” kecil bermain lilin di teras rumah, dan membayangkan aku lirik berjalan sendiri sambil terpekur dan menghapus air mata kesedihannya. Hal ini diperkuat lagi dengan usaha penyair untuk merangkai penggalan-penggalan peristiwa dalam puisi ini secara kompak dan mengalir ke satu klimaks. Pembaca secara tidak sadar digiring untuyk mengikuti perkembangan emosi aku lirik hingga sampai ke satu titik jenuh, kesendirian dan kepasrahan penyair dalam menerima kenyataan di negeri orang.
Hal sama juga di jumpai dalam puisi-puisi lain dalam kelompok ini. Pemakaian kata dan frase rakit, airmatamu, angin, melepaskan gaun, seekor laba-laba, lampu, bayangan, senja hari, laut, cahaya merah, langit, terpekur, gadis-gadis menenteng dagangan, dan sebagainya mampu menimbulkan berbagai imaji pada pembaca. Beberapa puisi dalam kelompok ini memang terasa simbolik dan penuh teka-teki. “Sajak Buat Bapak”, “Teunom”, “Nyanyian Lelaki Muda”, “Dalam Ruang Tak Terbatas”, “Miwah River” termasuk dalam kelompok puisi naratif simbolik ini.
Dalam membaca puisi-puisi seperti ini pembaca harus berusaha menerjemahkan simbol-simbol itu terlebih dahulu sesuai dengan konvensi yang lazim dalam masyarakatnya. Sebaliknya, dalam puisi-puisi yang lain, pemilihan dan pengungkapan tema yang dilakukan oleh Doel terlihat sangat gelap dan melompat-lompat. Puisi-puisi yang termasuk kedalam kelompok ini adalah “Biarkan Jalanan Jadi Rumah” (1986), “Landskap Lagu Sedih Wanitaku” (1986), ”Tangse” (1991), “Ciputat” (1992), “Transe” (1993), “Lagu Birahi” (1993), “Nyanyian Miris” (1994), “Trauma” (1994), “Engkau-IV” (1994), dan “Sajak Perpisahan” (1995).
Keambiguan dan kegelapan itu terjadi karena pemakaian deiksis (khususnya kau, maunya, kita) dalam puisi-puisi genre ini terlihat tidak ajeg dan tidak sesuai dengan konvensi bahasa (bahasa Indonesia) yang selama ini dipahami pembaca. Pengabaian kaidah kapitalisasi dalam penulisan deiksis menyebabkan kata tersebut dapat ditafsirkan macam-macam; kekasih, istri, orang tua, daerah, orang asing, dan Tuhan. Hal itu misalnya, terlihat dalam Engkau IV. Lihatlah bagaimana pembaca akan memaknakan lirik tertentu dalam puisi ini, seperti../apakah yang bisa membatasi cintaku padamu/rumah kecil dan seluruh kepahitan/atau kesadaran yang terlambat/…atau,./…/nikmat terdekap di ujung waktu yang kau takdirkan/tak jua, tiada yang dapat menunda pertemuan ini/engkau dalam dekapku/danaku kerdil dalam kesempurnaanmu/….atau,/ apakah yang bisa membatasi cintaku kepadamu/engkau dengan kepastian selalu/…atau,/apakah yang bisa membatasi cintaku padamu/ tak satupun ya Allah/ kecuali lalai dan mengingkari kebenaranMu/.
Di samping itu, Doel pun cenderung bermain-main dengan kata sehingga apa yang ingin disampaikan menjadi kabur sekali dan majemuk. Keinginan ini menyebabkan puisi-puisi tersebut sarat ide dan terasa melompat-lompat dari satu ide ke ide yang lain. Pengulangan Larik /biarkan jalanan jadi rumah/dan malam sebagai temannya/dikejauhan/ketika subuh basah berembun/ dalam BJJR, misalnya, terasa mengganggu kelancaran pemahaman tiga larik berikut yang menjadi inti bait ini.
Demikian juga penyelipan larik /bercerita pada dahan-dahan, pada gerimis/mengikuti usungan jenazah dan lorong-lorong/yang tertinggal dalam kegembiraan bocah-bocah/ (Landskap); atau/ bulan yang turun di ilalang Jantho/dalam basah embun bau jerami/sedang nafasmu tetap teratur/bagai akur gelap sunyi rimba Geumpang/…(Tangse) terasa sangat mengganggu kepaduan (koherensi) antar larik dan pemahaman makna totalitas dalam puisi-puisi tersebut. Dalam “Ciputat”, malah, koherensi antara judul dengan larik dan larik dengan larik boleh dikatakan tidak ada sama sekali. Kalau ada pembaca yang menganggap puisi ini termasuk yang mahajelek dalam kumpulan ini bila ditinjau dari sudut itu, maka anggapan itu tampaknya sah-sah saja dan cukup beralasan.
Hal lain yang juga terasa mengganggu kelangsungan pemahaman puisi dalam kumpulan ini adalah ketidakajegan peletakan/penulisan kata depan di/ke dan tanda tanya. Dalam bahasa Indonesia, kata depan di dan ke secara konvensional ditulis terpisah dengan kata yang mengikutinya (lazimnya kata benda dan keterangan tempat). Dalam kumpulan puisi ini kata depan ini kadang ditulis bersambung dan kadang-kadang dirangkaikan dengan tanda hubung (-). Hal ini, misalnya terlihat dalam penulisan kata dirumah, diteras, dipundak, ditangan (“Nyanyian Malam Lebaran”); diselangkangan, dimana, dipulo geupeuweh, dipelabuhan (“Landskap Sabang”); diselat, kebelakang, kerumah, dimana (“Pulang”). Ketidakajegan pemakaian kata tersebut tampaknya terjadi dalam semua puisi yang terkumpul dalam kumpulan ini. Ketidakajegan penempatan tanda tanya antara lain terlihat dalam “Landskap Sabang”, khususnya dalam larik /ah, betapa gairah aku kenang/ gadis-gadis menenteng dagangan/dari duui, kemana bersembunyi?/blue jeans dan entah apa lagi /pasaran luar negri/…/ dimana bersembunyi kesibukan panjang/gerombolan orang-orang datang?/ (dipulo geupeuweh)/. Tanda Tanya dalam larik ini (kalau mau dipakai) sebaiknya diletakkan di akhir larik. Atau, biarkan larik tanyaan itu terbuka, seperti dalam “Sajak Perpisahan” ,…/ tahukah kau, keramaian dan orang-orang yang bergegas/ menarikmu kedalam riuh pungkur/.
Satu hal lagi yang tampaknya sangat personal dalam kumpulan puisi ini adalah kecenderungan penyair menggunakan kata yang sudah kurang umum terpakai dalam bahasa Indonesia dewasa ini. Kata-kata tersebut umumnya berupa kata pungutan dari bahasa Jawa, seperti miris (cemas, was-was, risau), kelindapan (keredupan/kesamaran), laguna (danau), pungkur (punggung, belakang, buritan). Dua kata, gebalau dan mendiri malah tak dijumpai dalam kamus umum bahasa Indonesia edisi terbaru. Pemakaian kata-kata seperti ini pada satu sisi dinilai positif dalam rangka pemerkayaan bahasa dan penonjolan identitas diri penyair. Namun hal inipun bisa jadi menyulitkan pembaca dalam memahami secara langsunga konsep yang ingin ditawarkan oleh karena pembaca harus membuka kembali kamus untuk mencari makna kata tersebut sebelum ia memaknakan secara keseluruhan larik/puisi yang dibacanya.
Karena itu kalau Doel masih mau bertahan dengan kecenderungan ini, pada halaman terakhir buku perlu dibuat daftar kata yang dianggap khas beserta makna umumnya sebagai langkah mengatasi kebingungasn pembaca, Hal ini tampaknya mulai disadari oleh beberapa penyair yang bereksperimen dengan bahasa daerah, Linus Suryadi AG dalam Pengakuan Pariyem, misalnya.
Penutup dan Beberapa Saran
Demikianlah ulasan sepintas tentang kelebihan dan kekurangan “Nyanyian Miris” ditinjau dari berbagai konvensi yang lazim. Penulis menyadari benar bahwa banyak hal yang belum tersorot secara tuntas dan dangkal. Keterbatasan kemampuan, waktu, dan sebagainya merupakan kendala utama dalam hal ini. Sebagai simpulan barangkali kita bersepakat bahwa beberapa puisi dalam kumpulan ini (puisi dalam kelompok I) dalam bahasan di atas sudah cukup baik untuk diketengahkan. Sebaliknya, beberapa puisi (puisi Dalam kelompok II) tampaknya masih perlu dibaca ulang, diubah di sana-sini, dan kalau perlu dipending dulu untuk dipublikasikan.
Akhirnya, sebagai seorang pembaca awam, penulis menawarkan (itupun kalau boleh) agar sobat Doel bertahan saja dengan pola ungkap lirik naratif. Soal diksi mana yang digunakan: yang prismatis (tembus pandang) atau yang diafan (pelambang) tentu saja sangat bergantung pada pertimbangan-pertimbangan tertentu. Toh, kadang-kadang kita harus menggunakan filsafat hidup “bahkeu tameh sarang sareng, nyang peunteng puteng jilob lam bara”, nelongso, dan pasrah dengan berbagai kemirisan.
Terimakasih.
Cempaka 31, Mibo, Juli 1996 Disampaikan pada Pengadilan Puisi Doel CP Alisah Di DKA Banda Aceh, 7 Juli 1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar