April 04, 2005

DOEL CP ALLISAH : MEWUJUDKAN PUSAT DOKUMENTASI SASTRA ACEH

Koran Tempo
3 April 2005


"apakah yang tersisa dari semua kenangan tentang kalian
selain airmata dan doa kami yang tak putus-putus ?"

Begitulah penyair ini memulai puisinya yang bertajuk Ingatan, sebuah puisi yang ditulis pada 31
Desember 2004, beberapa hari setelah bencana tsunami memorakporanda Aceh. Ada nada rela, semacam
penyerahan diri kepada Sang Khalik tentang korban-korban paling dahsyat sepanjang sejarah Indonesia
itu. Nada sedih begitu kentara dalam sajak ini.

Siapa pun tentu pedih melihat banyaknya korban. Doel C.P. Allisah dan keluarganya memang selamat.
Tapi empat adik, sebelas keponakan, juga seorang neneknya jadi korban. Bisa dibayangkan, betapa
perih hatinya. Ia menemukan tempat adiknya bermukim sudah rata dengan tanah.lumpur bercampur air
menggunung.
"Saya berjalan di atas lumpur setinggi pinggang, berusaha mencari adik-adik saya," ujar Doel.
Hasilnya nihil. Itu belum termasuk keluarga jauh. Selain keluarga, ia juga kehilangan harta tak
kalah berharga: sebagian puisi karyanya, terutama yang tersimpan di komputernya. Naskah puisi dalam bentuk ketikan atau print out komputer maupun tulisan tangan, ada yang selamat kendati basah dan kotor. "Untung tak
hanyut," tutur suami penulis cerpen Nani H.S. ini. Cerpen sang istri, yang disimpan di komputer kantornya, Serambi Indonesia, turut hanyut.

Di luar itu, sebagian dokumentasi karya-karya sastra dari berbagai sastrawan Aceh yang dikumpulkan
bertahun-tahun musnah pula. Memang, sekitar 80 persen selamat. Tapi kehilangan itu cukup memukul
juga. Doel memang bergiat mendokumentasikan karya-karya sastrawan Aceh lewat Aliansi Sastrawan Aceh
(ASA), sebuah lembaga yang didirikannya.

Keinginan mewujudkan pusat dokumentasi sastra Aceh yang lengkap sudah lama terpatri dalam dadanya.
"Tapi, bagaimana caranya," ia bertanya. Masalahnya, ia kurang mempunyai akses ke donatur atau sumber-sumber dana.
Selama ini ia membiayai sekaligus mengerjakan sendiri prosesi dokumentasi itu, termasuk membeli bahan-bahan dokumentasi yang diperlukan. Misalnya, menitip rekan yang pergi ke luar daerah untuk membeli karya-karya sastra terkait Aceh.

Memang tak hanya karya para sastrawan Aceh yang didokumentasikan. Karya-karya sastra yang berkaitan
dengan Aceh, walau karya penulis luar, juga dikumpulkan.
Resminya, mendokumentasikan karya lewat lembaga ASA itu baru dilakukan beberapa tahun lalu. Tapi
pekerjaan mengkliping dan mendokumentasikan sudah dilakukan jauh sebelumnya. Doel mengaku punya
karya-karya sastra para sastrawan Aceh sejak akhir 1970.

Doel memang sangat telaten dan teliti dalam urusan dokumentasi. Ia, misalnya, masih menyimpan karya-karyanya, mulai karya pertamanya hingga kini.
Ide membikin lembaga dokumentasi sastra bermula dari kegelisahan melihat sulitnya memperoleh
karya-karya pengarang Aceh. "Sastrawannya sendiri kadang tidak menyimpan karyanya," tutur dia. Dari
situlah ia melangkah.

Kini para sastrawan Aceh yang merasa tidak menyimpan karyanya sendiri banyak yang menoleh ke Doel
karena koleksinya tergolong komplet. Dengan alasan itu, ia menyusun sebuah buku kumpulan puisi para
penyair Aceh yang berbicara tentang tempat-tempat di Aceh yang terkena tsunami. "Merekam tempat-tempat di Aceh sebelum tsunami," katanya. Ia telah menitipkan naskah buku itu kepada seorang rekannya di Jakarta untuk diserahkan ke penerbit.
Gagasan menyusun buku puisi itu timbul ketika ia menyadari punya puisi tentang Meulaboh, Lhok Geuleumpang, dan sebagainya. Seperti diketahui, tempat itu cukup parah diterjang tsunami. Para penyair Aceh lain juga ada yang merekam Calang, Ulee Lheue, dan sebagainya. Maka terkumpulah lebih seratus puisi dari 35 penyair.

Selain itu, Doel sendiri punya sekitar 30 puisi yang merekam berbagai tempat di Aceh sebelum tsunami. Sebetulnya Doel ingin kembali ke tempat-tempat itu untuk merekam kondisi tempat tersebut pascatsunami. Tapi, karena berbagai keterbatasan, hingga saat ini keinginannya belum terlaksana.

Penyair yang lahir di Banda Aceh, 3 Mei 1961, ini mulai menulis sajak yang dia kirim ke berbagai media sejak 1979. Ia juga pernah bekerja di berbagai media di Aceh dan Medan, antara lain sebagai redaktur budaya harian Mimbar Swadaya dan Aceh Post. Sempat pula magang di harian Waspada Medan beberapa tahun. Lalu menjadi reporter Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) untuk Aceh. Selanjutnya Doel memilih jadi penulis lepas dan menulis syair.

Dalam dunia kepenyairan, mantan Wakil Ketua I Dewan Kesenian Aceh (DKA) ini telah melahirkan ratusan
puisi. Tapi ia baru punya satu buku antologi puisi tunggal, Nyanyian Angin. Maklum, cukup sulit mencari penerbit bagi sastrawan di daerah. Sebagian puisinya terkumpul dalam banyak buku antologi bersama, antara lain, Seulawah, Antologi Puisi Indonesia 1997, dan Mahaduka Aceh 2005).

Meski begitu, Doel terus berkarya. Mencatat dan merekam segala yang ada, termasuk merekam Aceh diterpa bencana.

apa yang tersisa dari semua kenangan tentang kalian
selain air mata dan doa kami yang tak putus-putusnya?
hanya doa,
hanya doa (dan kami pun yang hidup) semakin kecut
dengan kuasanya yang tak terbatas!

mustafa ismail

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger