Serambi Indonesia / 2005
Oleh Nab Bahany As
Kenangan apa yang akan kusematkan padamu
Seuntai puisi yang tak bergema
Pada mayat-mayat tanpa kubur
Atau pengungsi yang terusir dari rumah
Atau harta benda yang porak poranda
Dalam maraknya resah di mulut senjata
Begitu penggalan lirik syair dalam sebuah puisi berjudul “Aceh” yang ditulis Penyair Ridwan Amran sebagai puisi pembuka dari buku Antologi Puisi “Lagu Kelu” yang diterbitkan Aliansi Sastrawan Aceh dalam menyambut setahun tsunami di Provinsi Nanggoe Aceh Darussalam pada 26 Desember 2005 ini.
Buku hasil editor Doel CP Allisah dan Nani HS ini, di dalamnya memuat lebih dari 100 puisi hasil karya 40 Penyair Aceh yang sebagian besar puisi-puisi itu menceritakan kekeluan Aceh dari bencana besar gempa dan tsunami yang melanda Aceh setahun yang silam. Itu sebabnya, buku ini pun diberi judul “Lagu Kelu” Kumpulan Puisi Penyair Aceh, yang judul tersebut diangkat dari salah satu judul puisi karya Doel CP Allisah yang ikut terkumpul dalam buku ini.
Maka ketika kita membaca sejumlah puisi yang terkumpul dalam “Lagu Kelu” ini, meski sekilas terkesan sederhana dan mudah dicerna apa yang disampaikan oleh sang penyair. Namun ada nuansa lain yang mendalam, yang membuat kita tenggelam dalam sebuah suasana ketidakmenentuan kehidupan yang dirasakan manusia. Di sana ada kesedihan, ada kelukaan, dan ada kehilangan kasih sayang yang luar biasa. .
Buku yang akan ditranslite ke dalam dua bahasa lain di dunia—setelah edisi bahsa Indonesia ini, yaitu dalam bahasa Jepang dan bahasa Inggeris menurut editornya, tepat tanggal 26 Desember 2005 ini, buku tersebut selain akan diluncurkan di Aceh, juga akan diluncurkan di Jepang dalam peringatan renungan setahun musibah tsunami. Mengapa dilurcurkan di Jepang, karena terbitnya buku “Lagu Kelu” ini juga atas bantuan Japan Aceh Net (JAN) dari Tokyo.
Para apresiator sastra memang sering memberi pengertian bahwa puisi adalah kata hati sang penyair. Atau bisa juga, puisi adalah ujud dari ekspresi penyair terhadap suatu kondisi yang dirasakan. Pengetian ini memang tepat,karena hampir keseluruhan puisi yang terkumpul dalam buku ini menceritakan kondisi tentang Aceh yang dirasakan penyairnya.
Maskipun senandung keacehan yang dilagukan dalam buku ini kental dengan syair-syair kekeluan akibat bencana. Namun tak sedikit keburaman wajah Aceh yang disedihkan sang penyair yang terhimpun dalam “Lagu Kelu” ini. Artinya, jauh sebelum lidah ombak setinggi hampir 30 meter itu menelan ratusan ribu jiwa manusia di Aceh, lebih dulu Aceh telah mengalami penderitaan demi penderitaan yang memilukan.
Semua itu dapat dirasakan dari puisi-puisi yang ditulis penyair sebelum tsunami yang juga ikut menghiasi beberapa halaman buku ini. Namun yang paling terasa dari sejumlah puisi yang disajikan dalam “Lagu Kelu” ini adalah aspek geografis Aceh yang tak lagi seindah dulu. Akibat bencana tsunami banyak sekali senandung hidup yang lagunya tak lagi bertalu-talu seperti aktifitas masyarakat sebelumnya. Seperti yang disenandungkan Sulaiman Tripa dalam puisi “Panteraja Suatu Pagi”:
Boat-boat itu telah kehilangan jalan
Kuala tempat mendarat bagaikan wajan
Kuah keruh labu berlabuh
Bibir itu terlihat angkuh, tak berlipstik
Apalagi berbedak wangi di tubuh
Panteraja suatu pagi
Adalah pabrik yang kehilangan kuli
Tak ada lagi cerita tentang megahnya
Teri kering hasil produksinya
Itulah gambaran sebuah perkampungan nelayan di Kabupeten Pidie, Sigli (Panteraja) yang dilukiskan sang penyair setelah wilayah itu diterjang badai tsunami. Masih banyak lagi para penyair dalam buku ini yang menembangkan syair-syairnya tentang kehancuran wilayah Aceh yang tak lagi seindah dulu. Dalam puisi “Menggambar Peta Pantai Barat” karya D. Kemalawati, misalnya :
Kata orang Lamno terpenggal
Kuala Unga, Lambeusoe, Patek dan Ringah
Tak jelas dalam amuk
Camp Daut Jerman di Raneu
Sesudah Lhok Geulumpang
Telah lama tertimbun pasir
Karena awan menurunkan badainya
Menutup jendela-jendela terbuka
Dapat dibayangkan betapa berjerawatnya wajah Aceh setelah mengalami pucak kesakitan akibat gelembungan yang ditimbulkan gelombang stunami yang menyerang Aceh hampir sekujur tubuhnya. Makanya, dengan membaca buku “Lagu Kelu” ini kita juga menemukan sejumlah informasi nama-nama daerah atau nama-nama tempat terkenal di Aceh yang wajahnya kini tak lagi secantik dulu. Malah tempat-tempat itu ada yang sudah tinggal namanya saja.
Selain itu, akibat bencana yang menimpa Aceh telah menimbulkan semacan kesadaran religius untuk merenung kembali apa sebenanya makna yang terkandung di balik bencana yang berpusat di Aceh. Para penyair mencoba mengungkapkan nilai-nilai kesadaran itu melalui puisinya dalam buku ini. Din Saja, misalnya, dalam puisi yang sangat sederhana berjudul “Aku Tsunami Aceh” mengungkapkan :
Badai tsunami itu telah menghempasku
Dalam kedalaman makna
Yang tak mampu kuterjemahkan
…
Dipusaran arus yang teramat dahsyat
Aku berkaca pada diriku
…
Dari terpaan tsunami yang dahsyat
Kutemukan kesadaranku yang hilang
Demikian pula dalam puisi “Tuhan” yang ditulis Rosni Idham, penyair wanita yang menetap di Meulaboh sebagai daerah paling terhancuri dari bencana, Rosni sepeti tak habis-habisnya bersyukur kepada Tuhan, mungkin atas keselamatannya dalam bencana tsunami:
Tuhan
Mestinya sedalam apa teriak haruku
Kau memberi lebih dari yang ku mau
Deras kasih tak tersungkur
Membimbing derap sepanjang umur
Syukur tak terbatas
Melampaui doaku Engkau membalas
Itulah penggalan-penggalan dari apa yang dirasakan penyair terhadap apa yang menimpa Aceh pada setahun yang lalu. Di mana cobaan itu telah merasuk ke dalam diri sang penyair untuk mengungkapkan kepada kita dalam bahasa-bahasa yang lebih menyentuh untuk dapat dijadikan kesadaran baru dalam memaknai arti dari sebuah musibah yang terjadi di Aceh.
Buku setebal 280 halaman ini, dari segi isinya memang sangat mudah dicerna, karena sebagain besar puisi-puisi yang tersaji di buku ini dapat langsung difahami maknanya. Apalagi dalam buku puisi ini ada sebuah format baru yang disajikan yang selama ini ajak jarang ditemukan dalam buku-buku puisi lainnya. Yaitu penjelasan kata atau kalimat—kalau tidak dikatakan fout not—nama-nama tempat, daerah atau istilah dalam bahasa lokal (Aceh) ikut diberikan di kaki halamannya. Sehingga semakin memudahkan pembaca memahami tentang Aceh.
Penulis, pemerhati sosial-budaya, tinggal di Banda Aceh
Oleh Nab Bahany As
Kenangan apa yang akan kusematkan padamu
Seuntai puisi yang tak bergema
Pada mayat-mayat tanpa kubur
Atau pengungsi yang terusir dari rumah
Atau harta benda yang porak poranda
Dalam maraknya resah di mulut senjata
Begitu penggalan lirik syair dalam sebuah puisi berjudul “Aceh” yang ditulis Penyair Ridwan Amran sebagai puisi pembuka dari buku Antologi Puisi “Lagu Kelu” yang diterbitkan Aliansi Sastrawan Aceh dalam menyambut setahun tsunami di Provinsi Nanggoe Aceh Darussalam pada 26 Desember 2005 ini.
Buku hasil editor Doel CP Allisah dan Nani HS ini, di dalamnya memuat lebih dari 100 puisi hasil karya 40 Penyair Aceh yang sebagian besar puisi-puisi itu menceritakan kekeluan Aceh dari bencana besar gempa dan tsunami yang melanda Aceh setahun yang silam. Itu sebabnya, buku ini pun diberi judul “Lagu Kelu” Kumpulan Puisi Penyair Aceh, yang judul tersebut diangkat dari salah satu judul puisi karya Doel CP Allisah yang ikut terkumpul dalam buku ini.
Maka ketika kita membaca sejumlah puisi yang terkumpul dalam “Lagu Kelu” ini, meski sekilas terkesan sederhana dan mudah dicerna apa yang disampaikan oleh sang penyair. Namun ada nuansa lain yang mendalam, yang membuat kita tenggelam dalam sebuah suasana ketidakmenentuan kehidupan yang dirasakan manusia. Di sana ada kesedihan, ada kelukaan, dan ada kehilangan kasih sayang yang luar biasa. .
Buku yang akan ditranslite ke dalam dua bahasa lain di dunia—setelah edisi bahsa Indonesia ini, yaitu dalam bahasa Jepang dan bahasa Inggeris menurut editornya, tepat tanggal 26 Desember 2005 ini, buku tersebut selain akan diluncurkan di Aceh, juga akan diluncurkan di Jepang dalam peringatan renungan setahun musibah tsunami. Mengapa dilurcurkan di Jepang, karena terbitnya buku “Lagu Kelu” ini juga atas bantuan Japan Aceh Net (JAN) dari Tokyo.
Para apresiator sastra memang sering memberi pengertian bahwa puisi adalah kata hati sang penyair. Atau bisa juga, puisi adalah ujud dari ekspresi penyair terhadap suatu kondisi yang dirasakan. Pengetian ini memang tepat,karena hampir keseluruhan puisi yang terkumpul dalam buku ini menceritakan kondisi tentang Aceh yang dirasakan penyairnya.
Maskipun senandung keacehan yang dilagukan dalam buku ini kental dengan syair-syair kekeluan akibat bencana. Namun tak sedikit keburaman wajah Aceh yang disedihkan sang penyair yang terhimpun dalam “Lagu Kelu” ini. Artinya, jauh sebelum lidah ombak setinggi hampir 30 meter itu menelan ratusan ribu jiwa manusia di Aceh, lebih dulu Aceh telah mengalami penderitaan demi penderitaan yang memilukan.
Semua itu dapat dirasakan dari puisi-puisi yang ditulis penyair sebelum tsunami yang juga ikut menghiasi beberapa halaman buku ini. Namun yang paling terasa dari sejumlah puisi yang disajikan dalam “Lagu Kelu” ini adalah aspek geografis Aceh yang tak lagi seindah dulu. Akibat bencana tsunami banyak sekali senandung hidup yang lagunya tak lagi bertalu-talu seperti aktifitas masyarakat sebelumnya. Seperti yang disenandungkan Sulaiman Tripa dalam puisi “Panteraja Suatu Pagi”:
Boat-boat itu telah kehilangan jalan
Kuala tempat mendarat bagaikan wajan
Kuah keruh labu berlabuh
Bibir itu terlihat angkuh, tak berlipstik
Apalagi berbedak wangi di tubuh
Panteraja suatu pagi
Adalah pabrik yang kehilangan kuli
Tak ada lagi cerita tentang megahnya
Teri kering hasil produksinya
Itulah gambaran sebuah perkampungan nelayan di Kabupeten Pidie, Sigli (Panteraja) yang dilukiskan sang penyair setelah wilayah itu diterjang badai tsunami. Masih banyak lagi para penyair dalam buku ini yang menembangkan syair-syairnya tentang kehancuran wilayah Aceh yang tak lagi seindah dulu. Dalam puisi “Menggambar Peta Pantai Barat” karya D. Kemalawati, misalnya :
Kata orang Lamno terpenggal
Kuala Unga, Lambeusoe, Patek dan Ringah
Tak jelas dalam amuk
Camp Daut Jerman di Raneu
Sesudah Lhok Geulumpang
Telah lama tertimbun pasir
Karena awan menurunkan badainya
Menutup jendela-jendela terbuka
Dapat dibayangkan betapa berjerawatnya wajah Aceh setelah mengalami pucak kesakitan akibat gelembungan yang ditimbulkan gelombang stunami yang menyerang Aceh hampir sekujur tubuhnya. Makanya, dengan membaca buku “Lagu Kelu” ini kita juga menemukan sejumlah informasi nama-nama daerah atau nama-nama tempat terkenal di Aceh yang wajahnya kini tak lagi secantik dulu. Malah tempat-tempat itu ada yang sudah tinggal namanya saja.
Selain itu, akibat bencana yang menimpa Aceh telah menimbulkan semacan kesadaran religius untuk merenung kembali apa sebenanya makna yang terkandung di balik bencana yang berpusat di Aceh. Para penyair mencoba mengungkapkan nilai-nilai kesadaran itu melalui puisinya dalam buku ini. Din Saja, misalnya, dalam puisi yang sangat sederhana berjudul “Aku Tsunami Aceh” mengungkapkan :
Badai tsunami itu telah menghempasku
Dalam kedalaman makna
Yang tak mampu kuterjemahkan
…
Dipusaran arus yang teramat dahsyat
Aku berkaca pada diriku
…
Dari terpaan tsunami yang dahsyat
Kutemukan kesadaranku yang hilang
Demikian pula dalam puisi “Tuhan” yang ditulis Rosni Idham, penyair wanita yang menetap di Meulaboh sebagai daerah paling terhancuri dari bencana, Rosni sepeti tak habis-habisnya bersyukur kepada Tuhan, mungkin atas keselamatannya dalam bencana tsunami:
Tuhan
Mestinya sedalam apa teriak haruku
Kau memberi lebih dari yang ku mau
Deras kasih tak tersungkur
Membimbing derap sepanjang umur
Syukur tak terbatas
Melampaui doaku Engkau membalas
Itulah penggalan-penggalan dari apa yang dirasakan penyair terhadap apa yang menimpa Aceh pada setahun yang lalu. Di mana cobaan itu telah merasuk ke dalam diri sang penyair untuk mengungkapkan kepada kita dalam bahasa-bahasa yang lebih menyentuh untuk dapat dijadikan kesadaran baru dalam memaknai arti dari sebuah musibah yang terjadi di Aceh.
Buku setebal 280 halaman ini, dari segi isinya memang sangat mudah dicerna, karena sebagain besar puisi-puisi yang tersaji di buku ini dapat langsung difahami maknanya. Apalagi dalam buku puisi ini ada sebuah format baru yang disajikan yang selama ini ajak jarang ditemukan dalam buku-buku puisi lainnya. Yaitu penjelasan kata atau kalimat—kalau tidak dikatakan fout not—nama-nama tempat, daerah atau istilah dalam bahasa lokal (Aceh) ikut diberikan di kaki halamannya. Sehingga semakin memudahkan pembaca memahami tentang Aceh.
Penulis, pemerhati sosial-budaya, tinggal di Banda Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar